Kehilangan Eksistensi Diri

Kehilangan Eksistensi Diri

Foto Dok Ilustrasi

Assalamu’alaikum wr wb.

Ibu Emmy yth., saya (29 tahun) ibu rumah tangga dari seorang balita. Sudah dua tahun ini saya mengikuti suami yang tugas di pulau seberang. Pendidikan saya S1, dulu saya bekerja dengan gaji yang lumayan. Seandainya saya tidak keluar dari tempat pekerjaan, saya dipromosikan untuk melanjutkan S2.

Suami saya seorang PNS. Berbeda dengan kantor di tempat tinggal kami berasal, keadaan kantor yang sekarang “mengharuskan” istri-istri mengikuti kegiatan organisasi wanita istri PNS. Ada saja kegiatan yang dibuat ibu-ibu. Mending kalau kegiatannya bermanfaat, kadang waktu ketemuan, kami hanya ngobrol seputar dapur, shopping, perhiasan, pakaian dan yang tidak saya suka bergunjing. Yang terakhir ini sempat membuat saya shock, karena di kantor yang dulu, saya jarang bergaul dengan ibu-ibu karena bekerja. Saya memutuskan keluar karena suami pindah tugas, juga ingin fokus mendampingi anak.

Beruntung, suami tidak pernah memaksa untuk terus-terusan mengikuti kegiatan yang tidak saya suka. Meski berakibat ia ditegur atasannya. Selama di kota ini, saya sering mengalami sakit, kata dokter penyebabnya psikis. 

Seiring dengan waktu, saya sudah pasang tebal muka, hanya kegiatan tertentu saja yang saya ikuti. Jujur saya lebih menikmati peran sebagai istri dan ibu bagi anak saya. Untuk mendapatkan suasana dan lingkungan baru, saya ikut kursus masak dan bahasa inggris. Saya butuh masukan dari ibu, agar lebih siap bila harus mendampingi di kota lain atau manca negara, karena karir suami memang bagus. Atas jawabannya, jazakumullah.

Wassalamu’alaikum wr wb.

Aning, di kota X

 

Wa’alaikumsalam wr wb.

Bu Aning yth, dalam hidup, manusia mempunyai serangkaian peran yang harus ia jalankan. Ada peran yang dipilih dan ada peran yang terberi yang biasanya muncul sebagai konsekuensi dari pilihan yang diambilnya. Peran sebagai istri, misalnya, adalah peran yang ibu pilih, pada saat yang sama ibu juga harus berperan sebagai menantu dari ibunya suami. Ini adalah peran yang terberi karena suami adalah anak ibunya. Lalu, karena suami seorang PNS, ibu otomatis mendapat peran sebagai anggota Ikatan Ibu-ibu di instansi tempat suami bekerja. Inipun tidak ibu pilih

Di dalam peran itulah, masyarakat dan individu di sekeliling kita meletakkan atribut sosial yang harus kita tampilkan dalam bentuk perilaku untuk membuat kita sah disebut menjalankan peran dengan baik. Disebut atribut sosial karena kerangka hubungan akan berdampak pada banyak orang di sekeliling kita. Kalau kita memilih sikap cuek (“Terserah orang mau bilang apa”). Otomatis sikap cuek ini akan merugikan eksistensi kita sebagai manusia. Kita merasa tidak diterima, dicela, dianggap tidak penting, sehingga demi kenyamanan kita berada di antara banyak orang, tuntutan peran terasa jadi sebuah kewajiban untuk dipenuhi.

Dari apa yang terjadi pada Ibu, tergambar bahwa untuk peran yang kita pilih, biasanya kita sudah punya motivasi yang besar untuk melakukan tuntutan peran tadi. Seperti ingin punya banyak waktu untuk anak, tentu ibu tidak ingin disebut kurang perhatian pada anak. Sebaliknya, Ibu menganggap datang ke kantor dan melakukan kegiatan bersama ibu-ibu adalah hal yang membosankan, aneh dan tidak nyaman rasanya. Padahal ini bukan pilihan melainkan sesuatu yang muncul karena Ibu kawin dengan suami.

Pemahaman tentang peran dan sumbangannya terhadap perasaan diri ini berharga, diterima dan diakui keberadaannya akan membantu Ibu untuk berpikir ulang menata emosi dan perasaan serta akhirnya penilaian Ibu terhadap kegiatan ibu-ibu yang Ibu nilai sebagai kurang kerjaan. Makin besar kesediaan Ibu untuk memahami munculnya perasaan bahwa Ibu dituntut untuk sama seperti mereka, makin besar dorongan motivasi dalam diri untuk mencoba bisa in dalam aktivitas yang ada.

Dalam hal ini yang penting adalah kerangka berpikir kita. Bila kegiatan bersama ibu-ibu dianggap sebagai sesuatu yang membosankan akan membuat kita tidak nyaman. Tetapi kalau kita bisa merasakannya bahwa ini adalah konsekuensi yang harus diterima sebagai istri dari suami Anda, maka kesediaan itu akan muncul di dalam diri. Tidak perlu memaksa diri untuk suka, cukup sampai pada perasaan netral saja, sehingga bisa membuat Ibu tidak tertekan ketika melakukan kegiatan bersama ibu-ibu. Perasaan positif akan muncul bila kita mempunyai sikap dasar yang positif. Sikap dasar positif akan memudahkan Ibu untuk menemukan celah-celah menyenangkan yang positif sifatnya.

Nah, carilah celah yang menyenangkan dari kegiatan bersama ibu-ibu. Belajarlah untuk lebih fleksibel terhadap lingkungan baru dan perbesar minat untuk mengenal dan memahami banyak orang. Ini akan meningkatkan tolerasi Ibu terhadap perbedaan antar individu. Semoga Ibu diberi kekuatan untuk bisa menerima dan diterima dengan baik oleh lingkungan, sehingga Ibu tidak merasa kehilangan eksistensi diri. Amiin.•

 

***) Emmy Wahyuni, Spsi (Seorang pa­kar psikologi)

Exit mobile version