Prof Dr Hj Enizar; Gratifikasi dalam Perspektif Hadits

Prof Dr Hj Enizar; Gratifikasi dalam Perspektif Hadits

Latar Belakang 

Perkembangan belakangan ini, hadiah mempunyai implikasi pada kedekatan hubungan dan adanya saling menyayangi antara pemberi dengan penerima, sering disalahgunakan dan disalahpahami oleh yang menerima atau oleh pemberi. Hadiah kemudian dipahami sebagai legalisasi dari niat atau keinginan terselubung. Di Indonesia, khusus pejabat ada aturan yang tegas untuk tidak menerima hadiah. Hal itu sejalan dengan sumpah jabatan yang selalu diucapkan. Ada dua poin penting dari sumpah tersebut yang berkaitan dengan hadiah, yaitu memberi atau menerima. 

Dalam perkembangan belakangan ini, banyak pejabat, petinggi dan tidak terkecuali oknum dari lembaga penegak hukum terlibat dalam penerimaan hadiah yang terindikasi suap, korup atau gratifikasi. Ada penyelewengan terhadap wewenang atau penyalahgunaan kekuasaan.  Aturan yang tegas untuk tidak menerima sesuatu dalam bentuk hadiah atau apapun untuk bangsa Indonesia telah termaktub dalam regulasi yang ada (UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU no. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Juga ada kebijakan yang diambil oleh institusi dengan penandatangan Pakta Integritas. Ada dua poin penting dari sumpah tersebut yang berkaitan dengan hadiah, memberi atau menerima. 

Mengambil atau menerima hadiah di luar yang seharusnya diterima akibat dari jabatan dan berkaitan dengan tugas, malah akan mengarah pada tindakan korupsi atau suap Sebagian besar dari tersangka korupsi yang kasusnya sudah diproses, penyebabnya adalah pemberian/hadiah dari seseorang di luar hak. 

Dalam ajaran Islam, agama memberikan jaminan  terjaganya hak material bagi umat Islam, sehingga tidak ada orang yang aman ketika mengambil sesuatu yang bukan haknya (Qs Al-Baqarah [2]: 282 dan Al-Anbiya’ [21]: 107). Orang yang mengambil hak orang lain dengan cara yang tidak benar akan mendapatkan hukuman sesuai dengan kejahatan yang dilakukan.

Untuk mengetahui semua ketentuan tentang hadiah ini, keterangan yang diberikan oleh Rasulullah saw  merupakan suatu yang urgen untuk diperhatikan dan diungkapkan, karena terdapat beberapa alasan normatif dan logis tentang itu.  Pertama, secara normatif, Rasulullah saw telah dinyatakan Allah sebagai teladan (Qs Al-Ahzab [33]: 21).  

 

Hadiah kepada Pejabat = Korup

Hadiah di samping sebagai penghargaan juga dijadikan alasan atau dalih oleh seseorang untuk memberikan sesuatu kepada penentu kebijakan atau penguasa/pejabat yang telah memuluskan urusannya. Dalam bentuk lain, hadiah juga diberikan oleh seseorang kepada petugas yang telah melaksanakan tugasnya, yang dalam UU No. 20 tahun 2001 disebut sebagai gratifikasi. Gratifikasi adalah pemberian dalam arti yang luas meliputi pemberian uang, barang, rabat atau diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma,  dan fasilitas  lainnya. 

Untuk mengetahui perhatian yang diberikan Islam dalam Hadits terhadap hadiah, Uslub yang digunakan variatif, dengan menggunakan perintah langsung (fi’il amr), dengan janji atau jaminan yang akan diperoleh dan dengan perintah menerima hadiah, dan larangan menolak hadiah yang diberikan.

 

1.   Ancaman Menerima Hadiah Karena Memberikan Pertolongan

Islam selalu memberikan aturan yang mengarahkan pada tidak adanya wilayah abu-abu dalam setiap tindakan. Pertolongan merupakan aplikasi dari perintah al-Qur’an untuk saling tolong-menolong dalam hal kabajikan. Untuk itu, perlu diperhatikan pesan Rasul berikut ini:

Dari Abu Umamah, Rasulullah bersabda: Siapa saja yang memberikan bantuan yang pada dasarnya tanpa imbalan kepada saudaranya, kemudian yang dibantu memberikan hadiah lalu ia menerimanya, maka sesungguhnya ia telah masuk dalam wilayah riba.

Hadits di atas memberikan ketentuan yang sangat tegas, dengan tidak mengaburkan antara pertolongan dengan mencari keuntungan atau upah. Ada pemisahan yang sangat jelas pada syafaat dengan pekerjaan yang ada upah atau gaji. Ancaman yang diberikan Rasul bahwa sama dengan riba ketika pertolongan dimaknai dengan bisnis. 

2. Hadiah kepada pejabat/petugas

Akhir-akhir ini marak sekali korupsi di kalangan pejabat, sehingga ada kebijakan instansi bagi pejabat yang akan diangkat untuk menandatangani pakta integritas yang menjamin bahwa di samping sumpah, seorang pejabat diharapkan tidak akan menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya. Pasal 12 B UU No. 20/2001 menyatakan bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. 

a. Hadiah kepada petugas yang sedang bertugas

Sudah merupakan rahasia umum bahwa ada hadiah/cendera mata yang diberikan kepada pejabat yang melaksanakan tugas di suatu tempat. Mereka yang dikirim telah dibekali dengan transportasi, akomodasi dan konsumsi, serta insentif selama menjalankan tugas.  Akan tetapi, di tempat tugas, pihak yang dikunjungi juga memberikan hadiah kepadanya baik berupa uang atau benda lainnya. Oleh sebab itu harus dilihat Hadits berikut:

Dari Abdullah ibn Buraidah dari ayahnya, Rasulullah saw bersabda: siapa yang kami tugaskan untuk melakukan sesuatu dan kami telah memberikan insentif untuk tugasnya itu, maka apa yang diambilnya selain dari itu termasuk “ghulul” khianat atau korup.

Hadits ini menjelaskan bahwa orang yang ditugaskan untuk melakukan tugas, dan ia telah diberi gaji sebagai imbalan dari pelaksanaan tugasnya, maka mengambil selain dari gaji adalah ghulul (khianat).  Kenyataan saat ini, banyak yang telah mendapatkan insentif atas tugas yang dilakukannya, masih menerima hadiah dari pihak di tempat pelaksanaan tugasnya.

Dalam riwayat lain, dijelaskan tentang seorang yang ditugaskan oleh Rasul saw.

Dari Abi Humaid al-Sa’idi diberitakan kepadanya bahwa Rasulullah mempekerjakan seseorang untuk mengumpulkan zakat pada suatu daerah. Setelah kembali dari tugasnya, ia menyerahkan harta zakat yang sudah terkumpul kepada Rasulullah  saw. Ia menjelaskan bahwa ada bagian hadiah yang diberikan masyarakat kepadanya. Setelah mendengarkan, Rasulullah saw. Rasul saw. memberikan respons dengan mengajukan pertanyaan apakah kalau kamu duduk saja di rumah orangtuanya, kamu akan mendapatkan hadiah? Selanjutnya Rasul saw dengan tegas menyatakan ancaman terhadap orang tersebut bahwa nanti di hari kiamat ia akan menggendong di pundaknya semua yang ia terima. Jika hadiah itu kambing, maka ia akan mengembik, jika hadiahnya sapi, maka ia akan melenguh Aku sudah sampaikan (Al-Bukhari, op.cit., juz 4 h. 2870-2871; Muslim, op.cit., juz 3 h. 1463; Abu Dawud, ibid., juz 3 h. 134-135; Al-Darimi, op.cit., juz 1 h. 394, dan Ahmad bin Hanbal, op.cit., juz 5 h. 423. Uraian lebih luas dapat dilihat dalam Al-Shiddiqi Al-Syafi’i, Dalil Al-Filihin li Thuruq Riyadh Al-Shalihin, jilid 1, juz 2 h. 344-347). 

Dalam hadits di atas tidak dijelaskan ancaman pidana yang akan diterima oleh penerima gratifikasi, akan tetapi Rasul dengan tegas memerintahkan untuk mengembalikan kepada negara semua yang telah diterimanya yang dianggap sebagai hadiah untuknya. Di samping itu, ada ancaman hukuman di akhirat kelak, si penerima gratifikasi akan menanggung di pundaknya semua yang diterimanya. 

Menurut Al-Nawawi pernyataan Rasul saw itu menunjukkan bahwa haram hukumnya mengambil hadiah dan berkhianat (ghulul) dalam pelaksanaan tugas. Keharaman itu disebabkan ada kaitannya dengan pelaksanaan tugas, karena terdapat penyelewengan terhadap kekuasaan dan kepercayaan yang telah diberikan (Muhy al-Din Abu Zakariyya Al-Nawawi, Shahih Muslim ‘ala Syarh al-Nawawi, ( Beirut: Dar al-Fikr, 1981 M. /1401 H.) juz 12, hl. 219). 

Hadiah terkait tugas akan membawa pengaruh terhadap pelaksanaan tugas, bahkan dapat membawa kepada pelalaian tugas, dan pelaksanaan tugas akan berorientasi pada hadiah. Pegawai yang sudah atau dijanjikan mendapatkan hadiah, mungkin akan bekerja sesuai dengan pesanan pemberi hadiah. 

b. Hadiah kepada Hakim

Hadiah untuk hakim, terutama yang sedang menangani kasus termasuk risywah, karena orang yang memberi hadiah setelah hakim menangani kasusnya pasti pemberian hadiah itu mengandung maksud tertentu. Hadiahnya itu dimaksudkan untuk melakukan pendekatan personal kepada hakim, menghormatinya atau menguntungkan dirinya. 

Oleh sebab itu, ancaman yang ditujukan kepada pelaku risywah terlihat sangat tegas dalam hadits berikut:

’Abdullah ibn ’Umar berkata: Rasulullah melaknat orang yang menyogok (memberi suap) dan orang yang disogok (menerima sogokan) (Abu Daud, Aqdiyah, no. 3109, Al-Turmuzi, Ahkam, no. 1257, Ibnu Majah, Ahkam, no. 2304).

Kata  dalam hadits bermakna jauh dari rahmat Allah. Sedangkan kata  adalah orang yang memberikan suap/ sogokan kepada seseorang untuk memuluskan urusan atau untuk mengaburkan putusan hukum. Rasyi adalah orang memberikan hadiah untuk menjadikan yang salah tidak salah atau yang tidak berhak menjadi berhak (Abu al-‘Ula Muhammad ‘abd al-Rahman ibn ‘Abd al-Rahim al-Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwazi bi Syarh Jami’ al-Turmuzi,, juz 4,Beirut, dar al-Kutub al-‘ilmiyyat, t.t. h. 471). Sedangkan kata  dalam hadits berarti orang yang mengambil sogokan (Muhammad ‘Abd al-’Aziz Al-Khuli, Adab al-Nabawi, Beirut, Dar al-Fikr, t.t,. h. 300).

Kata Risywah berasal dari bahasa Arab rasya- yarsyu – rasywan – risywatan yang berarti sogokan, bujukan, suap, uang pelicin. Biasanya risywah ini memiliki makna memberikan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya atau menghindarkan dari kewajiban yang harus dilaksanakan atau ditanggungnya. Dapat juga bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang untuk membatalkan yang benar atau untuk membenarkan yang batal (Al-Kahlani, op.cit.,juz 4 h. 124).

Di dalam Al-Qur’an (Q.s. Al-Baqarah/2:188) Allah dengan tegas melarang seseorang memakan sesuatu yang bukan haknya dengan cara yang batil (tidak benar) dan melarang orang membawa perkara kepada hakim dengan tujuan untuk mendapatkan harta orang lain dengan jalan berbuat dosa. 

Secara tegas dalam hadits larangan memberikan sogokan (suap, uang pelicin) dan menerima sogokan. Dalam riwayat lain ada pembatasan hadits dengan kata “fi al-hukm” di ujung hadits (hadits riwayat Ahmad, Abu Daud, Al-Turmuzi yang menurut Al-Turmuzi kualilitasnya Hasan Sahih), dengan penambahan dimaksud memberikan batasan kepada risywah yang berkaitan dengan masalah hukum saja. Namun jika dilihat dari pengaruhnya terhadap tugas yang ditimbulkan oleh adanya uang atau materi yang tidak legal yang berkaitan dengan tugas, maka larangan secara umum lebih dapat diterima. Akan tetapi pengaruh suap pada bidang hukum jauh lebih besar, karena dapat membuat hakim memutarbalikkan masalah dari fakta yang sebenarnya. 

Sedangkan dalam hadits riwayat Ahmad ada tambahan kata “al-raisy” setelah kata al-murtasyi orang yang menjadi perantara antara orang yang memberi dan menerima sogokan (Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad Al-Syaukani, Nail Al-Authar Syarh Muntaqa al-Akhbar min Ahadits Sayyid Al-Akhyar, jilid 4 juz 9, Baerut: Darul Fikr, t.t. h. 158). Perantara ini cukup dominan memperlancar terjadinya sogok/suap bagi orang yang memberi suap dan penerima suap. 

Oleh sebab itulah, orang yang memberi dan menerima risywah mendapatkan laknat dari Allah dan Rasul serta orang lain, karena pemberi risywah mendorong penerima melalaikan tugasnya sebagai penegak kebenaran; memudahkannya memakan sesuatu yang bukan milik secara batil; menumbuhkan perilaku tercela; membantu hakim mengambil keputusan hukum yang tidak benar. Sedangkan penerima sogokan mendapatkan laknat, karena mengambil harta orang lain secara tidak benar dengan menerima sogokan; dan menghalangi orang berhak mendapatkan haknya, atau membebaskan orang dari kewajiban dan tanggungjawab yang harus dipikulnya (Al-Khuli, op.cit., h. 301). Risywah dengan demikian haram bagi seorang hakim, karena berimplikasi pada penjatuhan hukuman secara tidak benar (Al-Shan’ani, op.cit., juz 4, h. 124-125), berpihak dan tidak profesional (Al-Khuli, op.cit., h. 301).

Hukum risywah adalah haram, karena dengan risywah tersebut seorang hakim akan menafikan keprofesionalan, tugas dan tuntunan serta tuntutan agama, ia bekerja sesuai dengan pesanan yang membayar, meskipun harus melawan hati nurani dan menzalimi pihak lain. Meskipun dalam hadits tidak dijelaskan ancaman hukuman fisik akan tetapi dengan kata la’nat yang merupakan hukuman yang berat apabila dikaitkan dengan kehidupan yang jauh dari rahmat Allah.

Kesimpulan

Dari uraian tentang gratifikasi berdasarkan perspektif hadits di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: pertama, Islam melarang dan mengharamkan korupsi/gratifikasi, karena ada penyalahgunaan wewenang di dalamnya, bahkan memutarbalikkan fakta. Kedua, Rasul saw memutuskan bagi orang yang menerima sesuatu yang bukan haknya agar mengembalikan yang telah diterimanya kepada negara.•

__________________

Prof Dr Hj Enizar, MAg, Ketua STAIN Jurai Siwo Metro Lampung, Sumatera Selatan.

Exit mobile version