Secara garis besar, perselisihan setelah wafatnya Nabi Muhammad saw, dapat dipahami sebagai persoalan furu’ al-din, bukan ushul al-din. Termasuk persoalan Sunni-Syiah, pada awalnya bermula dari perselisihan murni politik yang kemudian membesar dan merambah ke ranah perselisihan theologis. Hal ini dikemukakan oleh Prof. Dr. Syamsul Anwar, dalam rangkaian kegiatan Baitul Arqam, pada Jumat siang (22/1), bertempat di University Residence (Unires) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Menurut Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu, kontradiksi Sunni-Syiah harus ditanggapi secara bijak dan hati-hati. “Awalnya, perselisihan dua aliran besar dalam Islam diawali dari persoalan politik. Baru setelah membesarnya konflik, perselisihan merambah pada persoalan theologis. Hal mendasar yang membedakan Sunni-Syi’i hanyalah pada konsep Imamah dan kemaksuman para Imam,” ujarnya dalam pengantar materi Manhaj Tarjih Muhammadiyah, di hadapan para Pejabat Struktural Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya sebagai peserta Baitul Arqam.
Dalam pandangan Syiah, meyakini konsep Imamah adalah persoalan pokok. Tidak akan sah iman seseorang tanpa meyakini keberadaan salah satu di antara para Imam, yang diyakini bersifat maksum. Dalam pandangan Syiah, maksum dimaksudkan bahwa para imam dimungkinkan untuk berbuat salah, namun telah diampuni oleh Allah. Sementara dalam pengertian Sunni, hal demikian dikatakan sebagai mahfuz, bukan maksum. Sebab maksum dalam pandangan Sunni lebih pada kondisi tidak pernah berbuat kesalahan atau dosa, dikarenakan penjagaan Allah. Maksum menurut ajaran Sunni tidak dimiliki oleh manusia selain para Nabi.
Syiah berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad telah berwasiat supaya Ali bin Abi Thalib menjadi Khalifah atau Imam setelah wafatnya Rasulullah. Kemudian setelah wafatnya Ali dilanjutkan oleh anaknya Hasan dan Husain, serta keturunannya. Sementara dalam keyakinan Sunni, sebelum wafatnya Nabi Muhammad tidak pernah memberi wasiat apapun kepada siapapun terkait dengan siapa yang berhak menjadi Khalifah atau Imam setelah beliau wafat. Sehingga, persoalan Imamah ini sepenuhnya diserahkan kepada umatnya.
Dalam kesempatan itu, Prof. Syamsul Anwar juga mengharapkan supaya para pimpinan Perguruan Tinggi Muhammadiyah bisa memahami persoalan sensitif seperti ini secara objektif, sehingga bisa memberi pencerahan dan bahkan ikut serta dalam upaya mendamaikan sesama muslim. Muhammadiyah telah berusaha untuk meredam dan mendialogkan perselisihan-perselisihan yang ada. Di ranah internasional, pada tahun 2004, hasil musyawarah internasional yang diikuti oleh 200 ulama dari seluruh penjuru dunia, melibatkan ulama Sunni dan Syiah menyepakati untuk mengakui 8 mazhab yang ada. Empat mazhab ahlus sunnah, yang terdiri dari Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hambali; dua mazhab Syiah, melipui Ja’fari dan Zaydi, serta ditambah mazhab Ibadi dan mazhab Zahiri. (M. Ridha Basri)