Assalamu’alaikum wr wb.
Ibu Emmy yth., saya (32 tahun) ibu dari dua putra, masing-masing 7 tahun dan 4 tahun. Saya bekerja di perusahaan milik sendiri, sehingga kekuasaan sepenuhnya ada di tangan saya. Saya menikah dengan suami sekitar 9 tahun yang lalu. Kami menikah tanpa melalui proses pacaran. Dari bertemu sampai menikah hanya memerlukan waktu 1,5 bulan. Saya akui, saya terlalu cepat memutuskan untuk menikah walaupun belum mengenal suami lebih dalam.
Di awal pernikahan, kami belum memiliki apa-apa, Bu. Alhamdulillah, sekarang usaha kami bertambah maju dengan omzet ratusan juta perbulan. Sekilas, semuanya berjalan lancar ya, Bu? Akan tetapi sesungguhnya saya merasa tertekan bahkan mungkin bisa dibilang depresi. Yang membuat saya tertekan ternyata suami saya selama ini telah mengkhianati saya. Ternyata dia mempunyai istri siri yang dikawininya sejak dia belum menikah dengan saya. Ini baru saya ketahui setahun terakhir ini.
Saya sangat kecewa dan sakit hati, Bu. Dia juga punya anak yang usianya sebaya dengan anak-anak saya. Malu sekali saya, hidup ini terasa hancur, kebahagiaan saya pun musnah. Saya minta cerai dengan suami, tapi, ia menolak dengan alasan kasihan anak-anak. Jadi, saya hidup dalam keterpaksaan.
Sekarang, suami sudah bercerai dengan istri sirinya dan tidak pernah berhubungan lagi. Meski begitu, saya tidak bisa memaafkan dia. Saya orangnya keras dan teguh dalam memegang komitmen, bu. Saya sulung dari tiga bersaudara, kami produk dari keluarga “broken”, karena ayah suka main perempuan.
Saya ingin hidup bahagia, Bu. Saya suruh suami nikah lagi, asalkan dia tidak “mengumpuli” saya. Jijik saya,Bu. Tapi suami tidak mau. Apa yang harus saya lakukan? Atas jawabannya, jazakumullah.
Wassalamu’alaikum wr wb.
Bu De, somewhere
Wa’alaikumsalam wr wb.
Bu De yth., bila dicermati cerita Ibu, dalam bisnis, Ibu adalah tokoh sentral yang berarti suami berada di belakang Ibu alias orang nomer dua. Sering saya jumpai, dalam bisnis yang dikelola suami-istri dan istri menjadi nomer satu. Suami lalu mempunyai banyak cara untuk mengatasi salah tingkahnya. Ia salah tingkah, karena ingin menyeimbangkan kenyataan bahwa istrinya dominan dengan keinginan dan harapan bahwa sebagai lelaki mestinya dialah yang “nomer satu”.
Menjadi galak dan ketus, mengabaikan psikologis istri adalah bentuk KDRT yang paling sering dilakukan lelaki dalam kondisi ini. Sedangkan, punya perempuan lain adalah bentuk paling klasik dari usaha lelaki membuat dirinya percaya bahwa yang dominan adalah dia. Buktinya, dia bisa menyakiti hati istrinya sampai dalam dengan cara berselingkuh.
Yang terjadi pada Ibu sebenarnya lebih kepada berbohong, ya Bu. Sebab sejak awal pernikahan suami sudah menyembunyikan bahwa ia punya istri. Bahkan, hubungan itu tetap ia pertahankan karena di saat yang sama Bu De dan istri pertama melahirkan anaknya. Kalau ditanya istri pertama, mungkin ia akan mengatakan hal yang sama dengan Ibu, sudah dibohongi suaminya. Bedanya, cuma di harta. Punya Ibu pastilah lebih banyak.
Ukuran dalam bisnis adalah untung dan rugi, sedang dalam hubungan suami-istri adalah respek, keterbukaan dan kejujuran adalah hal-hal yang mendasar yang menyertai cinta. Begitu kan, Bu? Kalau Ibu mengatakan jijik pada suami, berarti sudah hilang. Keterbukaan dan kejujuran? Jelas tak pernah ada sejak awal pernikahan, karena suami kan membohongi Ibu sejak awal. Kalaupun dia benar menceraikan istri pertamanya, entah resmi atau di bawah tangan, saya kira ini memperjelas watak dasarnya yang ‘maaf’ tidak bertanggung jawab. Bukankah ketika dia menikahi Ibu, suami membohongi istri ini? Sudah dibohongi dicerai pula. Laki-laki macam apa, bila perilakunya seperti ini? Mungkin, rasa takut miskin menyebabkan ia mengorbankan istri yang juga sudah memberinya anak. Ibu pun bukan perempuan sembarangan yang menjadi korban kebohongan suami yang sekarang ikut menikmati suksesnya bisnis.
Tentu, keputusan cerai atau tetap mempertahankan perkawinan ada di tangan Ibu. Akan tetapi, saya menyarankan cobalah tanya dulu pada diri, ada atau tidak peluang menumbuhkan respek, kejujuran dan keterbukaan pada suami. Jangan bohongi diri Ibu, apalagi hanya takut menghadapi kecaman atau pertanyaan masyarakat. Ini adalah hidup Ibu. Buatlah keputusan yang benar-benar Ibu adalah fokus utama dan pertama. Memang, tak ada pilihan yang enak. Tapi, tidak memilih bisa jadi membuat hidup Ibu lebih runyam. Semoga Ibu tetap tegar, rendah hati dan makin dekatlah pada Allah. Perbanyak istghfar dan sadaqah, insya Allah Ibu akan mendapatkan jalan keluar yang terbaik untuk Ibu dan anak-anak. Semoga Allah melindungi kita. Amiin.•
***) Wahyuni, Spsi. seorang pakar psikologi.