Kediri, 20 November 1921. Sebuah forum publik digelar oleh pengurus Sarekat Islam (SI) Cabang Kediri, Jawa Timur. Hadir sebagai utusan Centraal Sarekat Islam adalah Haji Fachrodin, penningmeester (bendahara) CSI, dan KH Ahmad Dahlan, adviseur (penasihat) CSI.
Di antara kedua tokoh Muhammadiyah tersebut tampak seorang perempuan muda mengenakan pakaian yang belum populer di kalangan mayoritas umat Islam di tanah Hindia Belanda pada waktu itu. Menurut anggapan sebagian umat Islam pada waktu itu, perempuan muda yang ikut bersama utusan CSI tersebut mengenakan “pakaian haji” (SM no. 1/Th. Ke-4/1922). Dialah Siti Munjiyah, adik kandung Haji Fachrodin dan salah satu santri perempuan KH. Ahmad Dahlan.
Setelah mendapat kesempatan, Munjiyah tampil di atas tempat voordracht (mimbar), menyampaikan pandangannya tentang “pakaian haji” yang disandangnya. Pakaian Munjiyah memang layaknya pakaian ihram dengan kombinasi kerudung Aisyiyah yang mulai populer di kalangan umat Islam di Yogyakarta, khususnya di Kampung Kauman. Ia menegaskan bahwa dirinya mengenakan jilbab sebagai bagian dari perintah agama Islam.
Ketika mayoritas umat Islam di tanah air belum bisa menempatkan sosok perempuan tampil di muka publik, justru Muhammadiyah lewat organisasi sayapnya, Aisyiyah, telah selangkah lebih maju. Sosok Munjiyah yang piawai berpidato telah menyadarkan umat Islam bahwa kaum perempuan pun memiliki peran sepadan sebagaimana kaum laki-laki dalam menyampaikan misi agama Islam.
Peran di Kongres Perempuan Pertama
Rupanya, kebiasaan Siti Munjiyah diajak oleh KH. Ahmad Dahlan dan Haji Fachrodin untuk menghadiri pertemuan tabligh, baik atas undangan pengurus Sarekat Islam maupun pengurus Muhammadiyah di beberapa daerah, telah mematangkan mentalnya sebagai seorang orator ulung. Peran puncak Siti Munjiyah dalam memajukan perempuan Islam ketika pertama kalinya penyelenggaraan Kongres Perempuan di tanah air. Pada tanggal 22-25 Desember 1928, Kongres Perempuan pertama digelar di nDalem Joyodipuran, Yogyakarta (sekarang Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional). Dia menjadi wakil ketua panitia Kongres, mendampingi RA Soekonto (Ketua).
Bukan suatu kebetulan Munjiyah terpilih sebagai wakil ketua Kongres Perempuan pertama yang menandai gerakan emansipasi di tanah air ini. Ia mewakili organisasi ‘Aisyiyah yang dalam hal ini lebih berpengalaman menyelenggarakan kongres dan lebih maju menempatkan wacana emansipasi perempuan dalam Islam. Munjiyah pun mendapat kesempatan untuk berpidato dalam kongres bersejarah tersebut. Sebagai kader ‘Aisyiyah, ia tak luput menyampaikan pandangannya tentang konsep isteri Islam berkemajuan lewat pidato bertajuk “Derajat Perempuan” (naskah pidato dimuat di majalah Isteri edisi congresnummer, Mei 1929 lalu dimuat ulang di SM no. 5 & 6/th. XI/ Agustus 1929).
Nyonya Toemenggoeng, utusan pemerintah kolonial, mencatat dengan baik jalannya kongres. Sumber inilah yang kemudian dipakai oleh Susan Blackburn (2007) untuk merekonstruksi sejarah perempuan Indonesia. Sangat menarik dalam hal ini karena pidato Munjiyah justru yang paling banyak mendapat respon kritik dari perwakilan organisasi perempuan lain, khususnya Poetri Indonesia dan Wanita Katoliek.
Sebenarnya, naskah pidato Munjiyah dibuat dalam konteks ketika gerakan Feminisme Liberal tengah merambah sebagian kalangan perempuan terdidik di tanah air. Ketika sampai pada pembahasan hak-hak perkawinan, terutama pada masalah poligami, Munjiyah berusaha mengungkapkan berbagai macam dalil untuk memperkuat argumentasinya. Pada saat itulah Siti Soendari menyela pidato Munjiyah seraya menuduh tokoh Aisyiyah tersebut telah menerapkan standar ganda untuk kaum perempuan dan laki-laki. Bukan hanya Siti Soendari, RA Hardjodiningrat dari Wanita Katoliek juga mengritik pandangan Siti Munjiyah tentang poligami (Blackburn, 2007: xxxviii).
Walaupun demikian, gaya berpidato Munjiyah mampu meredam kritik dari organisasi perempuan lain. Ditambah lagi dengan kehadiran anggota Siswo Proyo Wanita yang tidak lain adalah kader-kader ‘Aisyiyah turut meramaikan kongres dengan meneriakkan yel-yel dan tepuk tangan menyemangati Siti Munjiyah. Sayang sekali, Blackburn telah mengaburkan fakta ini. Sebenarnya, peran ‘Aisyiyah dalam Kongres Perempuan pertama sangat besar.
Tidak hanya turut aktif dalam kepanitiaan (diwakili oleh Siti Munjiyah dan Siti Hayinah), tetapi dalam pelaksanaannya pun ‘Aisyiyah mengerahkan para anggota Siswo Proyo Wanita—di kemudian hari menjadi organisasi Nasyi’atul ‘Aisyiyah (NA)—untuk memeriahkan acara tersebut. Blackburn (2007: xxxvii) tidak berani secara tegas menyebut para anggota Siswo Proyo Wanita yang memeriahkan kongres tersebut. Ia hanya menyinggung kelompok anak-anak perempuan dalam jumlah yang banyak dengan ciri-ciri memakai pakaian dan kain penutup kepala warna putih (jilbab dan kerudung ‘Aisyiyah).
Peneliti gerakan perempuan di Indonesia yang lain lebih bias lagi dalam menempatkan peran ‘Aisyiyah dalam Kongres Perempuan pertama. Misalnya Cora Vreede-de Stuers dalam bukunya, Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian (2008). Dalam ulasannya tentang Pergerakan Perempuan Periode Kolonial, De Stuers tak menyebutkan sama sekali peran ‘Aisyiyah maupun tokoh-tokohnya yang terbukti telah menyukseskan kongres bersejarah tersebut. Ia hanya menyebut secara global peran organisasi-organisasi perempuan Islam yang terlibat dalam Kongres Perempuan pertama di Indonesia (de Stuers, 2008: 133-149).
Namun demikian, Munjiyah dan organisasinya, Aisyiyah, memiliki komitmen kuat untuk memajukan kaum perempuan di tanah air. Momentum Kongres Perempuan pertama yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 22-25 Desember 1928 kemudian ditetapkan sebagai Hari Ibu (tanggal 22 Desember). Hasil kongres kemudian berhasil menyepakati pembentukan Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) yang di kemudian hari berubah menjadi Kongres Wanita Indonesia (KOWANI).
Putri Lurah Kraton
Siti Munjiyah, sang orator perempuan kader ‘Aisyiyah, adalah salah satu putri dari Haji Hasyim Ismail, Lurah Kraton Yogyakarta. Berdasarkan catatan Haji Hasyim Ismail, putrinya ini lahir di kampung Kauman pada hari Senin Legi tanggal 14 Dzulhijjah tahun Jim awal 1317 H). Munjiyah muda berpawakan ramping. Postur tubuhnya tinggi dengan warna kulit sawo matang. Selalu tampak murah senyum ketika berpapasan dengan orang lain. Gaya bicaranya selalu terus terang.
Munjiyah bersaudara dengan Siti Jasimah, Syuja’, Fachrodin, Hadikusumo, Zaini, Siti Bariyah, dan Siti Walidah. Mereka inilah yang dikenal sebagai “Bani Hasyim” Kauman. Semuanya adalah murid-murid dan sekaligus para pendukung KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.
Semua putra-putri Haji Hasyim Ismail adalah para santri KH Ahmad Dahlan, termasuk Munjiyah. Ia mendapat pendidikan agama lewat cursus-cursus yang diselenggarakan oleh Khatib Amin (KH Ahmad Dahlan) bersama istrinya, Nyai Walidah. Ketika gerakan Muhammadiyah mulai merambah ke luar kampung Kauman, maka mulai dibutuhkan banyak tenaga guru agama.
Dari sinilah muncul gagasan KH Ahmad Dahlan untuk mendirikan pondok pesantren sederhana bernama Al-Qismul Arqa (1919). Berdasarkan keterangan H. Mh. Mawardi (SM no. 10/th ke-58/1978), kelas Al-Qismul Arqa adalah cikal bakal Pondok Muhammadiyah (1921). Pondok Muhammadiyah inilah yang pada tahun 1923 berubah menjadi Kweekschool Muhammadiyah yang kini menjadi Madrasah Muallimin/Muallimat Muhammadiyah Yogyakarta. Di lembaga pendidikan inilah Siti Munjiyah menimba ilmu hingga tumbuh menjadi aktivis ‘Aisyiyah yang progresif.
Munjiyah pernah terpilih sebagai ketua (voorzitter) Muhammadiyah Bahagian ‘Aisyiyah sejak Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makassar (1932). Pada empat Kongres berikutnya (1933-1936), Munjiyah kembali terpilih sebagai ketua Bagian ‘Aisyiyah. Ia dilahirkan di Kauman dan meninggal dunia pula di kampung santri ini. Penyakit kangker payudara yang menggerogoti kesehatannya telah mengantarkan “sang orator perempuan pertama dari Aisyiyah” ini menghadap Sang Khaliknya pada tahun 1955.• (Mu’arif)