Paradigma gerakan sosial Muhammadiyah yang diadopsi dari tafsir Surat Al-Maun terbukti sukses mengantarkan gerakan modernis ini melintasi abad pertama usianya. Memasuki abad kedua, konteks zaman telah berubah. Realitas sosial seabad yang lalu berbeda dengan realitas sosial saat ini sehingga tafsir baru terhadap Surat Al-Maun sangat dibutuhkan.
Seperti apakah realitas gerakan sosial di Muhammadiyah belakangan ini? Bagaimana proses kontekstualisasi dan implementasi teologi Al-Maun sebagai paradigma gerakan sosial Muhammadiyah ke depan? Berikut ini petikan wawancara Mu’arif dari Suara Muhammadiyah bersama Yudi Latif, Ph.D.
Menurut pengamatan bapak, bagaimana sebenarnya paradigma sosial gerakan Muhammadiyah saat ini?
Paradigma gerakan sosial Muhammadiyah saat ini harus diperdalam lagi karena ada transformasi struktural dari santri pedagang menjadi santri birokrat. Sebenarnya, dalam pengamatan saya, basis struktural ekonomi Muhammadiyah telah jatuh dibandingkan dengan ekskalasi kelompok-kelompok tertentu di dalam masyarakat Indonesia di mana tingkat penguasaan atas kapitalnya begitu cepat. Muhammadiyah sendiri ternyata tidak sanggup mengimbanginya. Jadi, telah terjadi kesenjangan sosial yang sangat lebar, termasuk di dalamnya terjadi proses pemiskinan dari segi penguasaan alat-alat produksi di lingkungan Muhammadiyah. Dalam kondisi seperti ini, paradigma sosial Muhammadiyah tidak bisa lagi hanya sebatas karitas.
Dulu, asumsinya orang-orang Muhammadiyah itu berperan sebagai produser atau pemilik atas alat-alat produksi. Di kalangan warga Muhammadiyah ada pemilik pabrik batik, pemilik artisan, dan masih banyak lagi. Pada waktu itu, keberadaan panti-panti asuhan di Muhammadiyah sebenarnya hanya semacam social responsibility dari pengusaha-pengusaha Muhammadiyah. Nah, sekarang basis produksi di Muhammadiyah sudah jatuh. Terbukti, industri batik, industri kretek, industri perak, semuanya sudah jatuh. Saya tegaskan di sini bahwa industri-industri di Muhammadiyah sebenarnya sudah jatuh. Dalam jangka panjang, paradigma sosial Muhammadiyah sebenarnya sudah tidak cukup hanya dengan menyelenggarakan panti-panti atau rumah sakit, tetapi harus mengambil paradigma sosial kritis. Dengan paradigma kritis, Muhammadiyah harus melakukan kritik terhadap struktur-struktur ekonomi yang makin timpang.
Ketika konteks zaman telah berubah, apakah penafsiran terhadap surat Al-Maun yang menjadi landasan teologis gerakan sosial Muhammadiyah perlu ditafsirkan ulang?
Penafsiran terhadap surat Al-Maun memang harus diubah dari paradigma masyarakat agraris menuju paradigma masyarakat industrial. Kalau dalam paradigma masyarakat agraris, kita masih mudah menilai siapa yang kaya dan siapa yang miskin.
Dalam masyarakat industrial, ketimpangan sosial merupakan hasil dari struktur-struktur yang tidak adil. Oleh karena itu, tafsir atas surat Al-Maun harus ditangkap kembali spiritnya agar kita dalam mengembangkan keshalihan tidak cukup dengan cara menjalankan ritual ibadah saja. Keshalihan tersebut harus membentuk keshalihan sosial dalam arti bagaimana mencegah agar harta tidak hanya melingkar-lingkar pada kelompok tertentu. Harus ada mekanisme redistributive justice untuk meredistribusi kekayaan dari segelintir orang kepada orang-orang banyak. Dan itu tidak cukup hanya dengan santunan-santunan, tetapi lewat suatu pendekatan struktural dalam membangun negara ini. Misalnya saja, Muhammadiyah harus mengambil peran mengritik sistem perbankan nasional yang hanya menyedot dana-dana tabungan dari masyarakat, tetapi setelah terakumulasi, justru dana-dana tersebut diberikan sebagai kredit bagi para pemodal besar. Hanya sedikit sekitar 3 persen saja yang sampai ke rakyat kecil.
Muhammadiyah saat ini juga harus kembali memperkuat institusi pendidikan sebagai sarana untuk menghidupkan mental entrepreneurship. Jadi, Muhammadiyah ini harus dikembalikan wataknya sebagai mental santri, bukan mental pegawai. Muhammadiyah sebenarnya sejak awal didirikan oleh kaum mahardika. Artinya, kaum yang secara ekonomi dan kehidupan tidak tergantung pada birokrasi, tetapi lebih pada kekuatan self help. Yaitu, kekuatan yang mampu untuk memproduksi sendiri. Oleh karena itu, institusi-institusi pendidikan Muhammadiyah jangan lagi hanya sebatas mempersiapkan lulusan-lulusan calon pegawai, tetapi harus menumbuhkan mental-mental kewirausahaan.
Apakah perlu merambah unit usaha baru dalam mengembangkan Amal Usaha Muhammadiyah?
Pada modal finansial, Muhammadiyah memang harus mengembangkan unit-unit usaha baru yang lebih profit making. Pada modal kultural, seperti sekolah-sekolah dan panti-panti asuhan, Muhammadiyah harus mengajarkan entrepreneurship. Pada modal politikal, Muhammadiyah harus menjadi penekan terhadap kekuatan-kekuatan politik agar dapat memproduksi kebijakan-kebijakan yang lebih berkeadilan dan tidak menimbulkan kesenjangan sosial yang lebih lebar. Itulah, saya kira, paradigma sosial Muhammadiyah ke depan. Dengan catatan, dari modal sosial, keberadaan panti-panti asuhan, sekolah-sekolah, dan rumah sakit, tetap memberikan pelayanan kepada masyarakat luas.
Menurut saya, ada empat modal yang harus dipersiapkan oleh Muhammadiyah ke depan. Pertama, modal finansial. Dalam konteks ini, Muhammadiyah sendiri harus menciptakan perusahan-perusahan baru yang arahnya profit making. Jadi, paradigma sosial Muhammadiyah tidak hanya sepenuhnya untuk logika charity, tetapi memang harus membuat badan-badan usaha untuk profit making. Kedua, modal kultural. Menurut saya, keberadaan institusi-institusi pendidikan di Muhammadiyah harus mampu menumbuhkan kewirausahaan. Ketiga, modal politikal. Di sini Muhammadiyah harus mampu menjadi kekuatan penekan kelompok-kelompok politik pengambil kebijakan agar tercipta keadilan sosial yang lebih merata. Keempat, modal sosial. Keberadaan Amal Usaha Muhammadiyah harus tetap dijalankan sarana dakwah. Dan memang itulah karakteristik bentuk dakwah Muhammadiyah yang selama ini kita kenal.
Apa harapan dan pesan bapak pada muktamar Muhammadiyah mendatang?
Harapan saya, janganlah muktamar Muhammadiyah terlalu banyak dipolitisasi. Harus diingat bahwa kepemimpinan dalam Muhammadiyah sejak dahulu bersifat kesukarelaan. Kalau sudah terjadi politisasi yang membawa masuk kekuatan uang ke dalam percaturan kepemimpinan Muhammadiyah, pada saat itu pula seluruh gagasan paradigma Al-Maun telah kehilangan basisnya. Saya kira, janganlah Muhammadiyah mengulangi apa yang sudah terjadi pada ormas lain ketika memilih pimpinannya yang sangat tidak tahan terhadap penetrasi kekuatan kapital. Kalau kekuatan kapital sudah masuk, maka hilanglah kewibawaan Muhammadiyah.
Pesan saya, carilah pemimpin yang tidak ingin mempolitisasi Muhammadiyah untuk kepentingan perseorangan. Carilah pemimpin yang memiliki komitmen untuk merevitalisasi paradigma sosial Muhammadiyah.• (Rif)