Songsong Hari Pers Nasional (HPN) yang diperingati pada tanggal 9 Februari mendatang, Dewan Pers gelar acara Diskusi bersama media dengan usung tema “Implementasi Kebebasan Pers untuk Kepentingan Publik” pada 22 Januari 2016 di Hotel Santika Premiere, Yogyakarta. Dihadiri oleh Ketua Dewan Pers Prof Dr Bagir Manan, SH, MCL, serta anggota Dewan Pers Imam Wahyudi dan Nezar Patria yang turut memandu diskusi.
Dalam perjalanannya selama 17 tahun reformasi, kebebasan pers telah dirasakan manfaatnya. Di antaranya adalah dalam menjalankan fungsi informasi, pendidikan serta kontrol sosial. Prof Bagir menyampaikan bahwa peringatan HPN kali ini, merupakan momentum refleksi terhadap kondisi pers selama ini khususnya sejauh mana pers mampu menggunakan kebebasan yang dimiliki untuk menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya dalam melayani publik.
“Bukan hanya seputar kondisi pers kita selama 17 tahun memasuki masa pasca reformasi, namun juga sebagai acuan kita dalam melihat kondisi pers secara prospektif ke depannya,” ungkapnya.
Yang menjadi sorotan dalam momentum refleksi kali ini tidak lain adalah kondisi internal dan eksternal pers, serta hubungannya dengan permasalahan yang muncul atas keberadaan kebebasan pers sendiri.
Melihat permasalahan pers secara prospektif, Prof Bagir memaparkan bahwa dalam perjalanannya dipengaruhi oleh beberapa realita yang berkembang. Di antaranya adalah yang berkaitan dengan situasi eksternal seperti demokrasi, pembangunan, serta kesejahteraan di Negara ini. Namun, dalam satu waktu awak pers sebagai bagian internal dan fungsinya sebagai penentu realita, menjadi dituntut ke mana arah hubungan pers dengan hal-hal yang sifatnya eksternal tadi akan dibawa.
“Pers sebagai penentu kenyataan ini menjadi tertuntut, sebab jika kita tidak turut serta dalam membentuk realita tersebut, maka makna dasar pers merdeka sendiri bisa bermasalah,” lanjutnya.
Merunut kembali ke belakang, Prof Bagir menggarisbawahi dua hal terkait reformasi Indonesia dan pengaruhnya terhadap kondisi pers. Dua hal tersebut adalah adalah suasana euphoria reformasi serta anggapan tentang Indonesia yang masih dalam masa transisi dari orde baru. Kedua kondisi tersebut memiliki konsekuensi yang memengaruhi situasi internal pers dan dan hubungannya dengan eksternal.
“Konsekuensi terhadap adanya suasana euphoria serta anggapan mengenai transisi saat itu akan berimbas kepada yang pertama adalah sebagai dasar pembenaran munculnya kondisi-kondisi abnormal atau disorder ketika berbicara mengenai transisi secara hukum. Kedua, secara substantive melonggarkan masalah disiplin dan tanggungjawab atas nama euphoria dan transisi. Ketiga, adalah munculnya tindakan-tindakan pembenaran atas tindakan permisif. Saat ini, beberapa itulah yang harus kita luruskan di dalam atau di luar pers,” tegasnya.
Di samping beberapa hal di atas, Prof Bagir menambahkan bahwa konsekuansi lain adalah kurangnya orientasi terhadap masa depan serta munculnya sikap anarkis.
“Berkat adanya dua kondisi di atas, akan meyebabkan kita atau pers sendiri abai terhadap orientasi terhadap masa depan. Ini juga yang menyebabkan mengapa kita hilang fokus terhadap mutu serta kualitas. Sehingga kita akan kurang disiplin dan tanggungjawab, serta munculnya kecenderungan anarki karena kita tidak berfokus kepada solving the problem, melainkan fighting the problem,” tambahnya.
Selain beberapa hal yang disampaikan oleh Prof Bagir terkait dengan momentum refleksi HPN, dalam diskusi yang dipandu oleh Imam Wahyudi dan Nezar Patria turut membicarakan seputar permasalahan pers di era kebebasan pers. Di antaranya seputar idealitas pers dan pengembangan pers sebagai lembaga ekonomi serta peran pers tengah-tengah maraknya media online dan masa depan media cetak sendiri. Beberapa masukan serta output diskusi ini nantinya akan dibawa ke forum Konvensi Media Nasional pada puncak HPN di Mataram pada 9 Februari 2016. (thari)