Makna Keberislaman

Shalat Mikraj Mukmin Ilustrasi

Foto Dok Ilustrasi

How Islamic are Islamic Countries? Begitu judul riset Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari dari George Washington University. Riset itu dilakukan untuk menjawab seberapa jauh ajaran Islam membekas dalam perilaku keseharian Muslim?
Mengejutkan. Dua kali riset, ran­king negara paling Islami di dunia ternyata ditempati Selandia Baru (2010) dan Irlandia (2014). Negara Islam atau yang berpenduduk mayoritas Muslim, menempati posisi buritan. Indonesia, misalnya, berada di ranking 140 tahun 2010 dan 130 tahun 2014. Bahkan, Arab Saudi, sebagai sumber kelahiran Islam, tidak pernah masuk urutan 10 besar dari 208 negara yang diteliti.

Kita boleh marah, lalu mementahkan hasil riset itu. Namun, marilah belajar dari kisah Muhammad Abduh. Sekitar seabad lampau, Abduh berangkat ke Prancis. Dia geram dengan dunia Barat yang selalu merendahkan Islam. Tokoh pembaru Muslim asal Mesir itu lantas bertemu Ernest Renan. Dalam dialog cukup panas dengan filsuf kenamaan Prancis itu, Abduh menegaskan bahwa Islam adalah agama unggul, cinta ilmu, pro-kemajuan, dan seterusnya.

Renan terlihat tenang. “Saya tahu persis semua kehebatan Islam melalui Al-Qur’an. Tetapi, tolong tunjukkan kepada saya satu saja komunitas Muslim di dunia yang membuktikan semua ajaran mulia sebagaimana Anda gambarkan barusan,” jawab Renan.
Abduh terdiam. Merenung. Benar, Islam memang penuh ajaran menga­gumkan. Tetapi, Islam bukan hanya komitmen, melainkan kesungguhan. Dalam Islam, tujuan hidup bukan sekadar pernyataan, namun perwu­jud­an. Islam juga mengajarkan bahwa kebaikan tidak cukup diamalkan, tetapi harus pula didakwahkan. Tanpa itu, ajaran Islam akan hampa makna.

John L Esposito pernah bilang, jika pertanyaan yang tepat untuk Kristiani adalah “Apa yang Anda percayai?” maka pertanyaan yang benar untuk Muslim adalah “Apa yang Anda perbuat?” Esposito benar. Sebab, ketika yang sering dipermasalahkan dalam Kristen adalah doktrin-keyakinan, maka yang kerap dipersoalkan dalam Islam adalah praktik-pengamalan. Maka, tatkala berkunjung lagi ke Prancis, sampailah Abduh pada kesimpulan, “Di Mesir, saya melihat banyak Muslim tanpa Islam. Di sini, saya melihat Islam tanpa Muslim.”

Ada kisah nyata. Seorang ibu di Jerman marah-marah kepada pemuda Indonesia yang menyeberang jalan saat lampu merah masih menyala. “Saya mendidik anak saya bertahun-tahun untuk taat aturan. Hari ini Anda telah menghancurkannya. Anak saya melihat Anda melanggar aturan,” katanya. Kisah lain dialami seorang tokoh Islam Indonesia ketika dia ber­ada di Kanada. Kamera sang tokoh ketinggalan di sebuah halte bus. Bebe­rapa jam berselang, dia ter­ingat, kemudian kembali ke halte bus untuk mengambilnya. Menakjubkan. Ternyata kameranya masih berada di tempat dan posisi semula. Mungkin hanya kebetulan. Tetapi, yang jelas, tantangan terberat kita adalah membuktikan ajaran Islam melalui ucap dan sikap. Di masjid kita, keamanan sendal jepit saja, diragukan.

Lantas, Muhammad Basuni Imran, seorang ulama Kalimantan, berkirim surat kepada Rasyid Ridha di Mesir. Syekh Basuni bertanya, kenapa umat Islam mundur dan umat lain maju? Ridha menjawab surat Syekh Basuni itu dengan menerbitkan sebuah buku. Intisari jawaban Ridha adalah umat Islam mundur karena meninggalkan ajaran Islam.
Tidakkah kesimpulan penulis Tafsir Al-Manar itu cocok dengan hasil riset dua akademisi Barat di atas? Dalam kaitan inilah, “Risalah Yogyakarta” sebagai hasil konsensus Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) di Yogyakarta beberapa waktu lalu, menarik kita sambut dan kita dukung.•

__________________
M Husnaini, Penulis Buku “Hidup Bahagia dengan Energi Positif” Tinggal di Takerharjo, Solokuro, Lamongan.

Exit mobile version