Muhbib Abdul Wahab; Ber-Islam yang Lurus

isra

Ilustrasi gimage

Setiap kali melaksanakan shalat, kita selalu berdoa:

“Tunjukilah kami jalan yang lurus” (Qs. Al-Fatihah [1]: 6).

Menurut Muhammad Abduh dalam Tafsir al-Manar, yang dimaksud “jalan yang lurus/benar” adalah beragama Islam, menegakkan syariat Islam. Doa yang kita baca minimal 17x dalam sha­lat kita setiap hari itu sesungguhnya merupakan doa pencerahan bagi perjalanan keberislaman kita. Pertanya­annya, sampai sejauh mana kita telah berusaha menggapai petunjuk (hidayah) Islam. sehingga keberislaman kita menjadi semakin lurus benar, dan konsisten (istiqamah) dalam praksis kehidupan kita sehari-hari?

Filosof Muslim, Ibn Sina (980-1037 M), pernah mengklasifikasikan keberislaman seseorang itu menjadi tiga kategori. Pertama, keberislaman instruk­tif seperti relasi budak/buruh-tuan (ma­jikan). Kedua, keberislaman prag­matis-ekonomis seperti relasi pedagang-konsumen. Ketiga, keberislaman atas dasar cinta dan kasih sayang yang tulus seperti model relasi ibu-anak.
Jika ada orang yang masih selalu menunggu perintah dari orang lain baru mau melaksanakan ajaran Islam, maka ia berarti baru berislam seperti etos ker­ja buruh. Model berislam seperti ini cen­derung pasif, tidak ada inisiatif, dan kualitas keberagamaannya bergantung pada orang lain. Seperti layaknya buruh, keberagamaan seseorang untuk tipe ini sangat ditentukan oleh tuannya, sehingga ia sebenarnya tidak memiliki komitmen untuk menaati ajaran agamanya, kalau tidak diperintahkan untuk beribadah oleh tuannya. Keberagama­an tipe ini termasuk adh’af al-iman (paling lemah kualitas imannya).

Sementara itu, jika seseorang da­­lam melaksanakan ajaran Islam cen­­derung “berkalkulasi” untung-rugi, ma­ka ia termasuk berislam tipe kedua. Tipe ini cenderung wait and see, melihat konstelasi sosial politik, mempertimbangkan publisitas dan “pamrih” sosial. Jika misalnya “bantuan/sumbangan” yang diberikan kepada kaum miskin itu diliput media massa atau membuat po­pularitasnya meningkat, maka ia baru mau beramal. Keberagamaan tipe ini sarat de­­ngan muatan ujub, riya, dan sum’ah (pencitraan) atau sifat dan pe­rilaku yang potensial menjerumuskan diri dalam “syirik sosial politik”, dan m  menjadikan Islam hanya sebagai “kedok pencitraannya” untuk ambisi personalnya dalam meraih “karir sosial politik” tertentu.
Sedangkan tipe berislam yang ke­tiga tampak pada seseorang yang menjalankan ajaran Islam dengan dilandasi cinta, kasih sayang, keikh­las­an, rela berkorban, dan berani meng­ambil risiko. Keberislaman tipe ini merupakan yang paling otentik, penuh komitmen, dan ber­titik to­lak dari hati nurani. Layaknya se­orang ibu yang bersusah payah me­ngandung janinnya selama sembilan bulan sepuluh hari, melahirkan de­ngan ta­ruhan nyawa, menyusui, me­rawat, mem­besarkan, mendidik, dan seba­gainya, ia tidak pernah mengharapkan suatu balasan apa pun dari anaknya. Semua itu dilakukan atas dasar cinta, kasih sayang, dan ketulusan hati. Berislam tipe ini, menurut Ibn Si­na, merupakan yang paling baik dan paling bermakna atau membuahkan amal shalih dan akhlak mulia, tidak diliputi ujub, riya, dan sum’ah, sebaliknya disemangati oleh etos fastabiqul khairati (berkompetisi dalam berbuat kebaikan).

Jika cinta dan kasih sayang ibu adalah segala-galanya bagi buah ha­tinya, maka beragama yang dilandasi kasih sayang: cinta, ketulusan, otentisitas, dan rela berkorban di jalan-Nya merupakan sikap dan perilaku keberislaman yang mengantarkan kepada “jalan yang lurus/benar” tersebut. Karena boleh jadi keberislaman sebagian kita selama ini masih penuh dengan kepalsuan, pamrih, keterpaksaan, dan ketidakmenyatuan antara kata dan amal nyata, antara suara hati nurani dan perilaku sehari-hari.
Relasi ibu-anak yang penuh kasih sayang seharusnya menyadarkan kita semua bahwa jika Allah SwT te­lah menjadikan Islam sebagai aga­ma kasih sayang bagi semesta raya (termasuk manusia) melalui Rasul-Nya, (Qs. Al-Anbiya’ [21]: 107) dan memberikan segala fasilitas hidup di muka bumi ini dengan penuh kasih sayang, maka hidup kita akan semakin bermakna dan berbahagia jika selalu berkomitmen untuk mema­tuhi ajaran-Nya dengan penuh kasih sayang. Jadi, kita perlu berislam de­ngan cinta yang penuh kesadaran, ketaatan, keikhlasan, kesungguhan, dan rela berkorban.

Keberislaman kategori ketiga itu juga dapat mengantarkan Muslim memperoleh kasih sayang dan ampun­an Allah SwT. Karena keberislaman semacam ini dapat menumbuhkan rasa cinta yang tulus.•

Exit mobile version