Muhsin Hariyanto; Meneladani Umar bin al-Khathab

Muhsin Hariyanto; Meneladani Umar bin al-Khathab

Ada sebuah kisah tentang Umar bin al-Khathab yang diceritakan oleh Abdullah bin Umar ra (putera beliau). Dikisahkan, bahwa pada suatu hari Umar bin al-Khathab keluar meninjau kebun kurmanya. Selang beberapa lama, kemudian beliau kembali ke rumah. Ketika tiba di dalam kota Madinah, beliau melihat orang-orang sudah selesai melaksanakan jamaah shalat Ashar. Beliau sangat menyesal dan berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Aku terlambat melaksanakan shalat Ashar berjamaah lantaran kebun kurma itu! Ya Allah, saksikanlah! Kebun kurma itu kusedekahkan ‘sekarang juga’ kepada para fakir miskin sebagai kifarat atas kealpaan yang telah kulakukan.” Beliau menyesal, karena asyiknya berada di kebun kurma, shalat jamaah ashar yang biasa beliau kerjakan ‘tertinggal’ karenanya.

Kisah ini memang sangat sederhana, tetapi sarat makna. Betapa tidak! Seorang yang hatinya telah ‘terkait’ dengan Allah akan memiliki kerinduan yang dalam kepada-Nya. Sehingga shalat yang sudah terbiasa dia kerjakan akan selau didambakan untuk dikerjakan sesempurna mungkin. Untuk berjamaah Ashar dengan tepat waktu pun menjadi sesuatu yang jauh lebih dianggap penting daripada urusan dunia apa pun. Termasuk urusan ‘kebun kurma’ yang oleh sebagian orang pada saat itu dianggap sebagai hal yang sangat penting.

Umar bin al-Khaththab tidak sendiri. Para sahabat Rasulullah saw yang lain pun memunyai ‘spirit’ yang sama. Tetapi, khusus untuk Umar bin al-Khathab, berkaitan dengan kebun kurmanya ada nilai tersendiri. Karena, pada saat itu, kebun kurma beliau sedang menjadi sumber dana yang cukup penting bagi keluarganya. Tetapi, ketika harus memilih antara harta dan ‘kesempurnaan’ pelaksanaan shalat, Umar bin al-Khathab memilih ‘yang kedua’. Karena bagi diri Umar, ‘Allah’ adalah kekasihnya yang jauh lebih layak dicintai dari apa pun, termasuk ‘kebun kurma’ yang sangat memesona.
Karena shalat tepat waktu adalah salah satu amal shalih yang paling dicintai oleh Allah, sebagai hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim dari Abdullah bin Mas’ud (Shahih al-Bukhari, I/40 dan Shahih Muslim, I/63) dan Rasulullah saw pun senantiasa melaksanakannya secara disiplin, Umar bin al-Khathab selalu berusaha untuk meneladani perilaku Rasulullah saw itu.
Lalu, pertanyaan pentingnya, “Apa pelajaran yang bisa kita petik dari kisah Umar bin al-Khathab ini?”

Saat ini, kita harus semakin sadar, bahwa ‘diri kita’ terlalu sering digoda oleh setan dengan pelbagai kesenangan duniawi. Ada godaan yang dilakukan oleh setan dengan melalui instrumen harta, jabatan atau pangkat, dan ada pula godaan ‘syahwat seksual’ yang – dalam situasi dan kondisi tertentu – tak kalah kuatnya dibandingkan dengan godaan-godaan yang dilakukan oleh setan dengan menggunakan instrumen yang lain.

Kalau Umar – dahulu – ‘pernah’ digoda oleh setan dengan instrumen kebun kurmanya, ‘kita’ pun – di dalam kehidupan modern ini – lebih mungkin akan tergoda oleh setan dengan berbagai instrumen – yang berbeda – yang bisa digunakan oleh para setan dengan kepiawaian mereka untuk memanfaatkannya. Di samping kekuatan iman kita yang – mungkin saja – belum sebanding dengan (kekuatan iman) Umar bin al-Khaththab, keragaman instrumen yang dipakai oleh setan di zaman modern ini tentu saja lebih menggiurkan. Bukan saja shalat berjamaah Ashar dengan tepat waktu yang bisa kita lalaikan, tetapi lebih daripada itu semua, banyak hal yang bisa kita lupakan dan menjadikan diri kita lalai untuk mengingat Allah.
Cobalah kita cermati! Masih adakah – saat ini – orang-orang Islam yang lalai untuk beramal shalih dalam berbagai ragamnya, karena bujuk rayu setan yang – dengan keterampilannya dalam menggunakan instrumen ‘harta, tahta, dan wanita’ – menjadi tergoda dan terjebak dalam bujuk rayu setan itu?

Lalu kita pertanyakan – lebih lanjut – kepada diri kita, “Apakah kita memang sudah benar-benar ‘siap‘ untuk menghadapi segala macam godaan setan, dan bersikap seperti Umar bin al-Khathab untuk merelakan semua instrumen yang ‘bisa’ memberi peluang kepada setan untuk menggoda diri kita? Sudah siapkah diri kita melepas – dengan ‘ikhlas’ – semua instrumen yang selama ini kita nikmati yang ternyata telah menjadi instrumen setan – yang cukup efektif – untuk menggoda diri kita, dengan niat untuk mencari ridha Allah?

Lebih tegas lagi, “apakah kita telah bersedia menjual tanah, sawah-ladang, rumah dan harta benda kita yang selama ini telah banyak menjadikan diri kita lalai untuk beribadah kepada Allah?”
Marilah kita belajar dari Umar bin al-Khaththab melalui kisah menariknya, ketika ‘dia’ merelakan kebun kurmanya demi keinginannya untuk lebih bisa mendekatkan dirinya kepada Allah. Dan jangan sampai kita terlena oleh kenikmatan duniawi yang sering digunakan oleh setan untuk menggoda diri kita, sehingga kita ‘bisa jadi’ lupa kepada Allah.
Ibda’ bi nafsik!•

Penulis adalah Dosen Tetap FAI UM Yog­yakarta dan Dosen Tidak Tetap STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta.

Exit mobile version