Proxy war atau perang proxy sejak lama ada. Perang proxy lebih mudah dipahami sebagai perang untuk melemahkan pihak lawan tapi tidak langsung berhadapan. Perang ini memang tidak terlalu nampak dan segera diperoleh hasilnya, tetapi justru perang ini yang sangat mematikan, karena berhasil membendung gerak lawan. Perang semacam ini lebih sering dilakukan dengan perilaku dan kebijakan.
Misalnya, terlepas dari pro-kontra, memberikan ucapan selamat merayakan hari besar agama lain adalah menyimpan tujuan agar kita mengakui kebenaran agama tersebut. Sekarang, perang proxy ini sudah menjamah area kekuasaan. Jika dulu lebih sering terjadi pada wilayah perusahaan atau bidang usaha, sekarang mulai tampak pada wilayah kebijakan politik dan pemerintahan. Lahirnya kebijakan yang secara substansial (tapi tidak terlihat secara eksplisit) sangat merugikan umat Islam mulai terlihat jelas.
KH Ahmad Sadeli Karim, Lc, Ketua Umum Pengurus Besar Mathla’ul Anwar (MA), mencium aroma perang proxy di arena kebijakan pemerintah. “Perang proxy sekarang ini sudah merasuk dalam pemerintah Indonesia dengan kebijakan-kebijakannya,” tandasnya ketika dihubungi Suara Muhammadiyah.
Contoh yang lebih baru dan gampang dilihat adalah terpilihnya lima anggota KPK terbaru. Sinyal untuk masa depan Islam sudah agak terlihat. Beragam spekulasi muncul bahwa tingkat kualitas dan profesionalitas umat Islam masih kalah dari umat yang lain. Ditambah lagi dengan isu bahwa umat Islam selalu menonjolkan keislamannya. Hal-hal seperti ini yang sangat merugikan umat Islam. Isu-isu ini menggiring pendapat tentang umat Islam, sehingga melemahkan posisi umat Islam di Indonesia.
Contoh yang lebih jelas lagi, menurut Prof Dr H Yunahar Ilyas, Wakil Ketua MUI, adalah “Adanya isu pemerintah yang akan memasukkan Israel dalam daftar negara bebas visa.” Ini adalah bentuk kesembronoan, karena jika ini terjadi sama dengan memberi pengakuan terhadap penjajahan berabad-abad terhadap Palestina. Artinya, memberikan pengakuan terhadap kebiadaban terhadap umat Islam Palestina.
Biasanya, proxy war diawali dengan testing the water (coba-coba). Dimulai dengan memunculkan isu atau “calon” kebijakan yang sedikit-banyak merugikan umat Islam. Ingin tahu respons umat Islam. Ingin tahu seberapa kekuatan umat Islam. Jika dianggap responsnya tidak kuat, maka akan naik menjadi kebijakan resmi pemerintah. Kalau sudah demikian, dalam jangka panjang, umat Islam menjadi korban.
Contoh pada pemerintahan periode lalu adalah tentang UU Kesehatan, UU Migas (yang kemudian berhasil dianulir), dan beberapa kebijakan lain, termasuk usulan pengosongan kolom agama di KTP.
Menurut Prof Dr H Syafiq A. Mughni, Guru Besar UIN Sunan Ampel, Surabaya, memang secara global, negara kita ini menjadi sasaran proxy war. Oleh karena umat Islam adalah mayoritas, maka otomatis umat Islam juga menjadi sasaran. Asumsinya, jika umat Islam Indonesia berkualitas, maka insyaallah daya tahan bangsa ini akan lebih tangguh menghadapi skenario kekuatan eksternal untuk melemahkan Indonesia. “Sebab inilah yang menjadikan Indonesia sebagai ajang pertarungan kepentingan dan ideologi global,” tegas Syafiq.
Sayangnya, banyak kelompok strategis dalam bangsa ini kurang memiliki wawasan global, sehingga tidak menyadari bahwa permainan politik mereka yang berorientasi jangka pendek sesungguhnya memperlemah daya tahan bangsa.
Jika demikian ganasnya proxy war tersebut, bagaimana sebaiknya umat Islam bersikap? Menurut Ustadz Nashirul Haq, Ketua Umum DPP Hidayatullah, “Umat Islam harus berpikir strategis dan jangka panjang.” Tidak disibukkan hanya dengan merespons isu-isu yang memang sudah by design (sudah direncanakan secara sistematis). Seharusnya kita mulai memiliki perencanaan jangka panjang untuk menandingi perang proxy ini.
Memikirkan hal-hal strategis yang mementingkan umat mestinya dapat dilakukan lebih terorganisasi. Ini penting untuk merenungkan lebih dalam dan jauh tentang kepentingan jangka panjang umat. Respons dan keterlibatan untuk kepentingan jangka pendek dapat dilakukan tetap dalam kerangka kepentingan jangka panjang yang strategis.
Respons sporadis dan reaktif hanya akan dimanfaatkan oleh pihak lain untuk merebut hal-hal strategis yang merugikan umat Islam. Umat Islam hanya akan disuguhi testing the water berkali-kali. Sengaja diberi kesibukan merespons hal-hal yang demikian, sehingga umat Islam tidak cukup energi untuk memikirkan kepentingan jangka panjang yang lebih strategis.
Lebih dari itu, sangat penting bagi umat Islam untuk menguasai media. Selama ini, media sangat vital dalam memberi informasi. Oleh karena itu, menurut Ahmad Sadeli, memanfaatkan media-media menjadi bagian strategis untuk melakukan dan menandingi dan perlawanan terhadap proxy war. Media sudah menjadi sarana proxy war itu dibangun. Banyak media yang menyuguhkan sisi negatif umat Islam. Suguhan ini bagaimana pun memberikan kesan negatif terhadap Islam. Maka islamophobia pun terbangun kuat. Hal-hal inilah yang menjadi alasan kuat media merupakan arena yang mesti dikuasai oleh umat Islam. Media yang memberitakan kesantunan Islam. Media yang memberi warna damai dan indahnya Islam.
Oleh karena itu, proxy war adalah tantangan umat Islam. Ghazwul fiqri sejak lama menjadi tantangan terbesar umat Islam. Bukan lagi perang fisik. Satu sisi, umat Islam ditantang menjawab islamophobia baik di media (online maupun offline) maupun dunia nyata. Sisi lain, beragam bentuk proxy war dalam ranah kebijakan dengan dalih kepentingan bangsa tetapi merugikan umat Islam sebagai umat mayoritas pun secara jelas telah terbaca.
Inilah bidang garap yang relatif membutuhkan pemikiran serius. Umat Islam mesti bereaksi, berebut posisi strategis, dan mewarnainya dengan citra Islam yang santun. Warna yang mementingkan warga negara dan umat Islam jangka panjang. Jika beberapa waktu lalu, kita telah relatif berhasil dengan jihad konstitusi, dengan melihat proxy war yang demikian dahsyat, agaknya kita masih dibutuhkan untuk melakukan jihad dalam wujud dan bentuk yang lain untuk mengangkat derajat umat Islam di negara ini.• [bahan: gsh, nisa; tulisan: ba]