Menyesal Setelah Kasari Anak

Menyesal Setelah Kasari Anak

Assalamu’alaikum wr wb.
Ibu Emmy yth, saya (27 tahun) ibu dari seorang putra (3 tahun). Saya seorang yang temperamental. Kini saya sadar dan ingin berubah, Bu. Saya suka memukul anak saya, jika saya marah terhadapnya. Meskipun setelah melakukan hal tersebut saya selalu minta maaf dan memeluknya. Rasanya menyesal, tapi kenapa saya sering lepas kontrol.
Saya tidak ingin putra saya meniru perilaku buruk saya, Bu. Saya melihat putra saya mulai meniru perilaku emosional saya. Saya ingin berubah agar putra saya tumbuh menjadi pribadi yang baik. Saya tidak tahu harus bagaimana, tolong saya, Bu!
Wassalamu’alaikum wr wb.
Wenny, di Lampung

Wa’alaikumsalam wr wb.
Ibu Wenny yth, tidak ada sekolah menjadi orangtua, ya, Bu. Tetapi, jangan lupa agama kita menganjurkan untuk belajar sampai liang lahat. Ini sejalan dengan tuntutan di era masa kini. Perubahan yang cepat di segala aspek menuntut kita untuk menyesuaikan diri. Kita juga dituntut untuk mempertahankan beberapa aspek kehidupan untuk dijadikan pegangan hidup. Maka, proses penyesuaian diri harus diimbangi dengan mempertahankan nilai-nilai kehidupan dan visi berkeluarga yang menjadi acuan dalam menjalani hidup. Semakin kita sadar akan nilai kehidupan yang dianut, semakin mudah dan cepat kita memutuskan perilaku mana yang harus dibiasakan untuk dijadikan pola kehidupan, termasuk perilaku yang perlu segera ditinggalkan, meski sudah lama melekat dalam diri kita.

Untuk perilaku yang sudah lama melekat, biasanya memang berlangsung dalam proses yang tak disadari. Bila sejak kecil dibesarkan oleh orangtua yang suka memukul anaknya, maka kita akan berpandangan bahwa kekerasan fisik orangtua pada anaknya adalah hal biasa. Akibatnya, saat ia menjadi orangtua, ia akan melakukan hal yang sama. Sehingga, lingkaran kekerasan akan bergulir dalam keluarga. Padahal memukul anak tak pernah bagus dampaknya bagi perkembangan jiwa anak.

Pengalaman adalah guru terbaik. Nyatanya, tidak semua orang beruntung memperoleh pengalaman baik dalam hidupnya. Maka, kita perlu waspada karena tak semua pengalaman guru yang terbaik. Apalagi kalau pengalaman itu adalah hasil perlakukan keras, kasar, menyakiti fisik (pukulan) maupun mulut (bentakan kasar).

Di usianya, putra ibu belajar melalui proses melihat dan meniru orang terdekat. Bahasa psikologinya proses imitasi. Sejalan dengan pertumbuhan fisiknya, ia akan mencapai tahap perkembangan lebih tinggi lagi, hingga terjadi proses identifikasi yaitu saat ia ingin menjadi seperti ibu/ bapaknya. Maka bila ibu ingin putranda tumbuh dan berkembang dengan kualitas kepribadian baik. Buatlah diri menjadi contoh yang juga baik. Bersikap emosional merupakan kebiasaan bereaksi tanpa berpikir dengan nalar.

Saat kita bisa menunda respons, maka ada waktu untuk berpikir sejenak. Mungkin si Kecil sedang sakit perut, kepalanya pusing atau belum banyak perbendaharaan kata-katanya. Kalau kita berpikir demikian kita bisa mengambil keputusan yang lebih baik. Kasihan kan kalau dimarahi, padahal ia sedang butuh bantuan.Kalau anak terasa sangat menjengkelkan, Ibu boleh menjauh sejenak. Biasanya, ini akan menumbuhkan kesabaran dan menahan diri untuk berbuat kasar pada anak.

Dalam tahapan perkembangan anak usia 3-4 tahun adalah fase pembangkangan pertama yang disebut “trotz”. Belum selesai ibunya bicara ia sudah bilang, “Tidak mau, tidak bisa” atau kalimat negatif lainnya. Bila ibunya sabar dan tegas lama-lama ini akan hilang dengan sendirinya. Lalu, usia 12-13 tahun akan muncul masa pubertas pertama. Puncaknya, di masa remajanya kelak.

Perkenalkan nilai-nilai kehidupan yang baik serta perilaku konkret yang dilandasi respek pada orang lain. Tentang mengapa harus jujur. Mengapa harus bekerja keras sebelum menikmati hasil jerih payah. Ajarii anak untuk membedakan yang baik dan buruk sejak dini untuk memudahkan anak menentukan sikap hidupnya kelak.

Semakin besar anak, kebutuhannya untuk bisa mengobrol dengan ibupun berkembang. Maka sejak sekarang jadilah teman ngobrol yang menyenangkan bagi anak. Artinya, Ibu belajar menjadi pendengar yang baik, tidak menyela ketika ia bicara dan tidak perlu cepat menyimpulkan saat ia bercerita. Insya Allah anak akan mempunyai kepercayaan pada ibunya.•

***) Emmy Wahyuni, Spsi., seorang pa­kar psikologi.

Exit mobile version