Pasca The Arab Spring, dunia Islam di fora global mengalami kemunduran, bahkan cenderung berantakan. Libia dan Irak hancur dijatuhkan. Mesir belum stabil pasca gejolak. Suriah terlibat perang saudara kian memanas. Memang terdapat sedikit titik cerah nasib Palestina yang mulai banyak pengakuan negara luar, benderanya pun berkibar di Perserikatan Bangsa Bangsa. Namun secara umum dunia Islam di kawasan Timur Tengah sarat pergolakan. Adakah masa depan Islam?
Pergolakan keras di Suriah yang melibatkan konflik Sunni-Syi’i, bahkan memperuncing konflik sesama umat Islam hingga ke luar. Kehadiran Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) makin memperparah keadaan. Arab Saudi harus mengerahkan aliansi, yang memberi peluang campurtangan asing. ISIS menjadi hantu global yang menakutkan dan menjadi kewaspadaan setiap negeri di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Organisasi Konferensi Islam (OKI) pun kehilangan fungsinya.
Kondisi umat Islam Indonesia tentu kondusif. Sebagian bahkan over-estimate, bahwa peradaban Islam dunia akan lahir dari Indonesia, yang mengusung Islam moderat dan rahmatan lil-’alamin. Muhammadiyah berada di dalamnya, sebagai kekuatan Islam terbesar. Optimisme tersebut harus disyukuri dan dijadikan modal penting untuk merajut masa depan Islam yang cerah dan tercerahkan dari bumi Nusantara ini.
Namun kondisi umat Islam Indonesia bukan tanpa kerikil. Hubungan internal Islam dan antaragama masih dijumpai gesekan, yang jika tidak dikelola dengan baik dapat menjadi batu sandung tatkala memperoleh faktor pemicu yang kencang. Kasus Tolikara, Singkil, Manomwari, Ahmadiyah, Syiah, terorisme, radikalisme, dan isu sensitif sejenis masih sering menjadi wacana panas-dingin yang tidak mudah untuk sepenuhnya reda.
Umat Islam Indonesia masih rentan ketika bersentuhan dengan urusan politik. Tumbuh ego kelompok yang tinggi, bahkan ada yang merasa harus selalu di depan dan mendapatkan posisi kekuasaan. Secara ekonomi umat Islam masih dhu’afa, sehingga rawan terhadap pelemahan dan mobilisasi politik. Dengan hadirnya gerakan Islam baru pasca reformasi yang cenderung keras, sesama umat Islam bahkan rentan konflik paham dan ideologi, sehingga membuka peluang pihak lain memanfaatkan dan masuk ke pusaran pertentangan.
Kehadiran pihak ketiga dalam gesekan paham dan kepentingan umat Islam memunculkan fenomena “Proxy War”. Politik “boneka” atau “agen ketiga” dari kekuatan-kekuatan berkepentingan akan mudah memanfaatkan kerawanan umat untuk “diadu-domba”. Ibarat melempar api ke dalam tumpahan bensin yang secara sadar atau tidak sadar telanjur tumpah di lingkungan umat. Sebagian umat dibikin “panas” untuk bangkit “ghirah” pertentangan dengan sesama, sehingga pihak lain tinggal memercikkan api kebakaran. Hasrat berseteru dan kerentanan internal umat adalah pintu masuk “Perang Proxi” dari pihak yang tidak ingin menyaksikan umat Islam kuat dan bersatu. Inilah pertaruhan krusial bagi masa depan Islam.
Karenanya, seluruh umat Islam Indonesia dituntut cerdas dan solid di tengah hadangan “Proxy War” dan keterpurukan dunia Islam. Umat jangan mudah terpancing, agar pihak ketiga tidak memanfaatkan. Jangan pula saling berebut “kue kekuasaan” yang merusak ukhuwah dan marwah sesama Islam. Jika ingin jaya melangkahlah ke depan dengan cerdas, maju, bersatu, dan mengagendakan kerja-kerja produktif yang berkeunggulan. Jangan mempertaruhkan masa depan Islam dengan sikap dan tindakan yang bersumbu-pendek!• hns