YOGYAKARTA–– Bertempat di aula gedung PWM DIY, Angkatan Muda Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta kembali menggelar Kajian Rutin Malam Sabtu (KAMASTU), pada Jumat malam (29/1). Acara yang dimoderatori oleh Ust. Nico Kuncoro itu menghadirkan Ustaz Drs. Budi Nuraswoto sebagai narasumber, dengan tema yang diusung “Api Ideologi, Belajar Pada Pendahulu Muhammadiyah”.
Dalam pemaparannya, Drs. Budi Nuraswoto menyatakan bahwa Muhammadiyah adalah organisasi terbuka. Sebagai konsekuensinya, segenap elemen Persyarikatan Muhammadiyah seharusnya bergaul dengan siapa saja sebagai bentuk interaksi sosial. “Muhammadiyah boleh bergaul dengan semua kalangan yang berbeda manhaj, sebagai bentuk hubungan sosial antar sesama. Namun hubungan sosial yang dibangun tetap memiliki batasan tertentu,” ujar pimpinan Pondok Pesantren Asyifa Bambanglipuro, Bantul.
Beliau menambahkan bahwa batas-batas itu berupa hal-hal yang berhubungan dengan ideologi. Dikatakannya, “Penting bagi setiap kader Muhammadiyah untuk mengaji ideologi. Bisa dimisalkan bahwa mengkaji ideologi bagi suatu organisasi ibarat mengkaji akidah dalam urusan agama. Sama-sama sebagai landasan dan pijakan awal dalam memulai dakwah dan menegakkan risalah Islam.”
Seperangkat ideologi Muhammadiyah, misalkan yang berupa AD/ART dan pokok pikiran Muhammadiyah merupakan hasil hibridasi atau adonan dari berbagai kumpulan ide, gagasan, pertimbangan, dan kebijaksanaan dari para tokoh-tokoh, yang kemudian disusun dan disepakati bersama. Sehingga, tidak bisa disepelekan dalam kehidupan berorganisasi.
Ustaz yang akan segera melaunching sebuah karya dengan judul Api Ideologi Muhammadiyah ini mengatakan bahwa berorganisasi memiliki dasarnya dalam al-Quran. “Berorganisasi itu tidak bid’ah, tetapi sesuai dengan perintah al-Quran. Dalam surat Ali Imran ayat 104 dikatakan bahwa “hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.’ Ayat itu menggunakan fi’il mudlari’. Dalam kajian ushul fiqh ‘al-aslu fi al-amr li al-wujub’ atau kaidah lain ‘ma lam yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib”. Dari sini, berorganisasi itu punya dasar nash yang kuat,” katanya menjelaskan.
Di bagian lain, ustaz Budi juga menyinggung tentang pentingnya ideologi untuk menguatkan internal Muhammadiyah. “Jika internal kuat dan ideologinya mantap, maka hal itu bisa menjadi bekal dalam melangsungkan roda organisasi dan mengemban amanat Persyarikatan. Jika tidak, maka amanat yang ada tidak bisa terlaksana dengan maksimal. Sebagai contoh adalah amanat muktamar tahun 1970, yang mewacanakan Gerakan Jamaah Dakwah Jamaah (GJDJ), tetapi tidak berjalan dengan baik, karena ideologi internal tidak kuat,” ulasnya panjang lebar. (M. Ridha Basri– Ed. Nisa)