YOGYAKARTA — Berkaca pada Al-Quran dan sejarah, semua kelompok, aliran, dan sekte keagamaan harus menundukkan ego sektoral serta subjektivitas masing-masing, demi terciptanya perdamaian yang hakiki di muka bumi. Hal ini disampaikan oleh mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Ahmad Syafi’i Ma’arif sebagai pesan khutbah Jum’at (29/1), di Masjid Islamic Centre Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta.
Dalam kesempatan itu, Buya mengutip ayat sembilan dan sepuluh dari surat Al-Hujurat; “Jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.”
Menurut Buya Syafii Maarif, ayat yang turun di Madinah itu sangat mudah dipahami dan dicerna, namun sukar untuk dipraktekkan dalam praksis keseharian. Bukan hanya sekarang, bahkan di zaman setelah wafatnya Nabi. Pertumpahan darah berlangsung antar para sahabat dan orang-orang yang dekat dengan Nabi. “Ali, Aisyah, Muawiyah adalah representasi dari kader-kader yang dididik oleh Nabi secara langsung, namun perselisihan tak bisa dihindari. Hingga akibat dari perselisihan ini kemudian melahirkan sekte politik dan aliran-aliran keagamaan,” ujar Buya Syafi’i, yang pernah menjabat sebagai Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP).
Di bagian lain, tokoh yang aktif dalam meyuarakan perdamaian ini berpendapat, bahwa Sunni, Syiah, Khawarij itu tak ada hubungannya dengan al-Quran. Sekte-sekte ini baru muncul jauh setelah wafatnya Nabi. Dalam Al-Quran sebagaimana ayat di atas memerintahkan setiap kita untuk berdamai dan mendamaikan jika ada pihak yang berselisih. Untuk bisa memahami dan mengaplikasikan Firman Tuhan itu, maka semua kelompok harus menggunakan aqlus salim dan qalbun salim.
Sebagai solusi atas kasus-kasus peperangan dan pertumpahan darah, sosok yang pernah dibimbing langsung oleh Fazlur Rahman ini meminta setiap pihak untuk menundukkan ego dan tidak melanjutkan pertumpahan darah, hasil warisan sejarah. Hal itu hanya menghabiskan energi tanpa ujung pangkalnya. Dikatakannya, “Problem kita adalah merasa benar sendiri. Lalu imbasnya malah memberhalakan paham keagamaan yang tidak ada di zaman Nabi itu. Tundukkan ego dan subjektivitas sejarah. Jangan berhalakan paham keagamaan!” pungkas Buya dalam khutbah berdurasi 15 menit itu. (M. Ridha Basri– Ed. Nisa)