Cerpen: Nonodiono Wahyudi
Jabat tangan merupakan perbuatan mulia yang biasa dilakukan oleh manusia yang mengaku berbudaya. Lebih-lebih bagi seorang Muslim yang selalu taat dalam melaksanakan ajarannya. Jabat tangan (salaman) atau biasa anak kecil menyebutnya salim, untuk menyambung silaturahim, persaudaraan, kekeluargaan. Bahkan sekadar basa-basi dalam pergaulan, pertemuan resmi, non resmi, pertemuan bisinis atau jamuan makan dan lain sebagainya.
Tetapi akan menjadi lain apabila perbuatan baik ini dilakukan secara berlebihan. Seperti yang sering dilakukan Suhar, atau Lik Suhar. Lelaki tiga puluh tahunan yang hidupnya di lingkungan kampung santri. Lelaki lugu jebolan kelas lima Sekolah Dasar Inpres ini seperti keranjingan salaman. Di mana saja, kapan saja selalu mencari kesempatan untuk bisa sekadar berjabat tangan kepada siapa saja yang dirasa sudah kenal. Sehingga terkadang malah membuat risi orang yang bersangkutan bahkan bisa menjengkelkan dan kehilangan makna salaman itu sendiri.
Bagi seorang Lik Har, salaman merupakan sebuah kehidupan. Hidup tanpa melakukan salaman adalah hampa dan mati. Dalam arti salaman merupakan kebutuhan pokok yang harus dijalani. Maka apabila tidak melakukan salaman dalam satu hari saja akan terasa aneh bagi seorang yang bernama Lik Har ini.
“Orang-orang di pabrik itu memang aneh sekali kok.“ Keluh Lik Suhar kepada isterinya sepulang dari kerja di pabrik garmen.
“Ada apa, masalah salaman lagi…?“
“Diajak berbuat baik kok menolak.“
“Barangkali mereka sedang sibuk dengan pekerjaannya kamu ajak salaman. Ya wajar saja kalau ndak mau. Apalagi kamu kan pegawai baru di sana.“
“Bukan begitu. Yang sedang duduk-duduk pun terkadang tidak mau membalas.“
“Hmm…. Terlalu sering berangkali, mas. Kamu kan biasanya begitu. Begitu ketemu semua kamu ajak salaman. Nanti waktu habis shalat jamaah Dhuhur, kamu ajak salaman. Selesai jamaah Ashar salaman lagi. Mungkin mereka bosan, mas. Sudahlah, tokh tidak semuanya menolak. Masih ada yang mau, kan?“
“Ya, memang….”
“Ya sudah, itu saja.“
Suhar tidak melanjutkan pembicaraannya. Ia bergegas pergi ke kamar mandi sambil menyahut handuk yang ada di sampingnya.
Begitulah menjelang Maghrib ia sudah bergegas berangkat ke masjid yang tak jauh dari rumahnya. Kurang lebih dua ratus meter jarak dari tempat tinggalnya. Dengan mengenakan sarung lengkap dengan kopiah putih kesayangannya. Ia melewati gang kampung yang sempit dan banyak belokan. Sesampai di pintu masjid ketika ia menyalami dua orang jamaah yang datang, suara adzan sudah menggema di menara. Tiba-tiba ia merasa gelisah. Ustadz Jabir Faruk, seorang sesepuh masjid yang biasa ia panggil Kiai sepuh belum juga nampak muncul. Lelaki yang bernama Suhar ini kemudian mencoba turun ke halaman menengok ke arah jalan. Sepi. Ia kembali masuk ke dalam masjid. Kepalanya celingukan, kedua bola matanya liar menyapu seluruh ruangan. Tiba-tiba wajah lelaki lugu itu nampak sumringah cerah. Pandangan matanya mendapati pak Kiai yang ia tunggu ternyata sudah duduk suntuk di shaf paling depan dekat pengimaman. Dengan cekatan lelaki yang bernama Suhar itu menghampirinya. Sesampai di situ segera ia dengan sikap teramat hormat memberi salam sambil membungkukkan badan seperti gerakan orang bersujud dalam shalat dan mencium tangannya. Namun kali ini lelaki bernama Suhar ini terpaksa kaget dan tercengang bukan kepalang lantaran pak Kiai menarik tangannya ketika Suhar hendak menciumnya.
“Tidak usah berlebihan begitu, tidak baik.“
“???“ Lik Suhar tak bisa bicara apa-apa. Hanya tercenung melihat wajah pak Ustadz yang datar. Tanpa ekspresi di suasana yang teramat tenang dan kudus itu.
“Sudahlah, sebaiknya kamu mencari tempat duduk lalu tenang, khidmat menanti waktunya shalat dengan khusyuk. Seperti yang lainnya.”
Selesai shalat yang biasanya ia dengan penuh gairah menyalami orang-orang yang ada di kanan kirinya, bahkan sampai yang ada di depan dan belakangnya. Kini hanya dua orang yang ia salami. Yakni yang ada di kanan kirinya saja. Selebihnya ia tinggalkan tempat itu. Meninggalkan jamaah yang masih duduk suntuk berdoa sehabis shalat. Tidak lagi menunggu sang Kiai bangkit dari pengimaman untuk kemudian disalami dan dicium tangannya secara berlebihan.
“Sudah berapa lama kamu tinggal bersama istrimu di kampung ini?“ Begitu tanyaYanto Bendhol kakak iparnya tatkala Lik Suhar mencoba bicara kepadanya di suatu siang.
“Hm, tiga bulanan, mas.”
“Apa yang kamu rasakan dengan kegemaranmu untuk bersalaman itu. Maksudku bagaimana sambutan mereka?“
“?“ Suhar tidak begitu mengerti dengan pertanyaan itu dan terlihat semakin bodoh. Lalu tetap pada prinsip yang ia ketahui sejak ia bisa shalat dan belajar mengaji.
Hari Sabtu tanggal 2 September Suhar mengajak isterinya untuk nonton film India. Film yang ia gandrungi seperti yang tiap malam ia tonton di televisi. Ini sebuah pengalaman baru. Sebab belum pernah sekalipun ia nonton bioskop. Sesampai di halaman gedung bioskop ia digandeng istrinya untuk segera memasuki gedung. Sampai di depan pintu dua orang penjaganya meminta karcis tiket. Lelaki lugu ini malah mengulurkan tangan untuk salaman. Isterinya yang memegang karcis di belakangnya lalu mendorong tubuh suaminya sedikit kasar dengan menelan rasa malu. Di dalam gedung bioskop keadaan masih gelap. Mereka berdua dipandu oleh seseorang dengan membawa lampu senter juga kecil mencari tempat sesuai dengan nomor di karcis. Betapa kagetnya Suhar setelah pandangan matanya kembali terang. Ternyata banyak orang di sekelilingnya. Maka dengan gugup ia keluar dari kursi lalu menyalami beberapa orang di kanan kirinya. Tapi isterinya langsung menariknya untuk kembali ke tempat duduk dengan uring-uringan.
“Kamu ini tolol, mas. Ini bukan di masjid.“
Lelaki dari desa kidul itu hanya melongo. Berbarengan dengan film yang sudah tergambar di layar depan.
Dua minggu kemudian Suhar mengalami kecelakan. Ia terpeleset di kamar mandi ketika hendak buang air kecil. Tangan kanannya terpelintir, pergelangannnya retak. Dua jarinya juga retak melintang. Terpaksa tangannya dibalut dengan gib berwarna putih kapur dan digendong di depan dadanya. Yang membuat ia kecewa dan sedih karena untuk waktu yang cukup lama tidak bisa melakukan aktivitas kegemarannya. Yaitu salaman. Ia pun merasa tidak akan mendapat berkah dari pak Kiai. Namun di balik kesedihannya ia pun merasa senang dan bangga. Sebab mendapat kunjungan dari para jamaah masjid dan beberapa ustadz termasuk pak Kiai Jabir Faruk yang sangat ia segani.
Malam harinya mereka, Suhar dan isterinya menghitung-hitung uang santunan dari takmir masjid dan para jamaahnya. Jumlahnya cukup banyak tak terduga. Ia pun bisa tidur dengan pulas setelah melakukan sujud syukur.•