Di kalangan ahli hikmah dikenal sebutan “Abu Syibrin”. Kata “Syibrin” diambil dari ujaran “syabara-syabran” artinya mengukur dengan menggunakan jari sejengkal. Berarti “Abu Syibrin” itu ialah “Bapak Sejengkal”, maksudnya orang yang ilmunya sebatas jari sejengkal. Bahasa lain, berilmu sedikit.
Orang-orang yang ilmunya baru sejengkal itu suka merasa berilmu ribuan kilo meter, sehingga timbul kesombongan dalam dirinya. Dirinya merasa sudah mengetahui segala hal, yang lain dianggapnya tidak tahu. Maka, sebutan “Abu Syibrin” hanya pelukisan terhadap orang yang ilmunya belum seberapa tetapi angkuh diri seolah ilmunya luas.
Ilmu memang sering membuat seseorang congkak diri. Baik karena menguasai ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum, menganggap diri serbatahu. Seakan hanya dirinya yang hebat, yang lain tidak ada apa-apanya. Lebih-lebih manakala ilmu yang diperolehnya berasal dari negeri orang nun jauh di sana, sehingga ketika pulang ke tempat asal seolah paling berilmu, lainnya dianggap tidak berilmu atau malah bodoh.
Orang sombong karena ilmu tidak tahu kalau ilmunya itu tidak seberapa dibanding luasnya ilmu yang disebarkan Allah di alam semesta ini. Kadang ilmunya hanya satu disiplin saja, sehingga tidak seluas yang semestinya. Apalagi sekadar ilmu verbal, yang tidak menyentuh hakikat segala semesta. Tetapi karena merasa berilmu, maka lahirlah kesombongan.
Kesombongan itu pakaian Allah, sehingga manusia tak berhak memakainya. Menurut ahli hikmah, orang yang ilmunya baru sejengkal biasanya mudah terjangkiti penyakit angkuh diri. Setelah dua jengkal, dia akan rendah hati. Setelah tiga jengkal, dia merasa tidak tahu apa-apa, sehingga sering menyebut dirinya “dha’if” atau lemah. Dalam peribahasa, ibarat ilmu padi, makin berisi makin merunduk.
Luqman al-Hakim dikenal rendah hati meski ia kaya ilmu dan hikmah. Allah mengisahkan ketika Lukman memberikan nasihat kepada anaknya, “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong), dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Qs Luqman: 18).
Orang berilmu sekaligus angkuh diri sering hilang keadaban. Menghadapi orang yang diangapnya rendah ilmu atau bahkan tak berilmu, tampak sekali keangkuhan. Nada bicara dan gestur tubuh pun ikut sombong. Terlalu percaya diri, hingga luruh tatakrama. Dadanya selalu dibusungkan, sehingga tampak jumawa. Nalar instrumentalnya kuat dan kadang garang, sementara rasa dan hatinya kering.
Maka, untuk apa harus angkuh diri dengan ilmu yang tak seberapa? Mereka yang sombong layaknya “Abu Syibrin” sering lupa, bahwa manusia itu diberi ilmu hanyalah sedikit. Allah berfirman, yang artinya “Katakanlah, sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (Qs. Al-Kahfi: 109). Pada ayat lain, Allah berfirman: “Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.” (Qs. Thaha:110).
Orang angkuh karena ilmu kadang lupa satu hal, bahwa keangkuhannya akan meluruhkan jiwa fitrinya. Apa yang mesti diangkuhkan, sebab di atas langit masih ada langit. Marwah diri pun bisa terkikis, sebab tidak ada yang suka akan orang yang menjual keangkuhan. Sebuah syair mengandung ibrah berbunyi, “Ilmu akan menjauh dari seorang yang sombong, seperti air bah menjauh dari tempat yang tinggi”. Peringatan Allah bahkan sangat keras, “Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang (Qs Al-Mu’min: 35). Semoga insan beriman dan berilmu, terjauh dari keangkuhan “Abu Syibrin”.• A. Nuha