Dalam Sidang PPKI, Moh Hatta menyatakan, bahwa masyarakat Indonesia Timur mengusulkan untuk menghilangkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, yaitu “…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya …”.
Usulan tersebut disampaikan sebagai masukan sebelum sidang yang disampaikan oleh seorang opsir Jepang yang bertugas di Indonesia Timur” jika tidak Indonesia bagian Timur akan melepaskan diri dari Indonesia.
Sikap yang mewarnai sejarah awal kemerdekaan Republik Indonesia itu sebetulnya sudah diwarnai sikap Islamophobia yang takut dilaksanakan syariat Islam di Indonesia. Meskipun pelaksanaannya sebatas bagi pemeluk Islam. Bahkan hingga saat ini, masih ada ketakutan jika aturan yang sama diterapkan di suatu daerah tertentu.
Ketakutan terhadap Islam atau Islamophobia tersebut telah melahirkan perang proxy (perang yang memanfaatkan pihak ketiga) dengan ancaman Indonesia Timur akan melepaskan diri dari Republik Indonesia. Hanya pihak ketiganya ini belum jelas, apakah opsir Jepang atau yang lain, karena sampai saat ini pihak Indonesia Timur yang diungkapkan Opsir itu juga belum jelas siapa orangnya. Hanya saja ancaman ini telah melahirkan “perang argumentasi” di dalam sidang PPKI untuk menetapkan UUD 1945.
Islamophobia ini, menurut Ketua Pengurus Besar (PB) Syarikat Islam Muflih Chalif Ibrahim, memang telah ada sebelum Indonesia merdeka. Islamophobia, menurut Ketua PP Muhammadiyah Dr. Dadang Kahmad, merupakan sikap takut dan tidak suka terhadap umat Islam dan Islam. Ini karena secara umum stigma Islam sudah identik dengan teror maupun radikal, sebab ulah sebagian umat Islam melakukan tindakan tersebut walaupun dalam keadaan membela diri dari ketidakadilan global.
Tetapi bagi Muflih Chalif Ibrahim, Islamophobia ini memang lahir dari rahim kolonialisme atau new kolonialisme yang kemudian melahirkan paham kapitalisme. Mereka menyebar dua paham yaitu liberalism dan pluralism. Mereka melakukan hal ini sudah lama sekali prosesnya. Di bidang pendidikan, yaitu dengan sekularisme. Lalu, di bidang ekonomi dengan kapitalisme. Sehingga output yang didapatkan dari upaya ini adalah imperialisme. Justru apa yang dilakukan oleh orang-orang kita terdahulu tidak bisa membendung itu semua.
Mereka akan memanfaatkan perang proxy yang bersumber pada Islamophobia kepada negara-negara Islam yang punya sumber daya alam yang menjanjikan, termasuk Indonesia. Ujung-ujungnya mereka ingin menguasai sumber daya alam tersebut, tanpa harus melakukan perang yang sesungguhnya.
Hal ini juga dibenarkan oleh Dadang Kahmad. Menurutnya, adanya pengaruh kapitalisme dan liberalisasi ini, maka labelisasi Umat Islam itu sebagai teroris tidak bisa dielakkan. Termasuk di Indonesia banyak kelompok Islam yang melakukan radikalisme, sejak zaman Darul Islam, pemberontakan komando jihad, dan teror-teror kelompok Islam kontemporer.
Peristiwa-peristiwa ini, menurut Dadang Kahmad, makin menguatkan di benak sebagian masyarakat Indonesia bahwa Islam itu agama yang melahirkan kekerasan. Mereka merasa terancam karena banyak kasus kekerasan tersebut agama lain yang menjadi korban bahkan banyak kelompok minoritas Islam sendiri yang merasa terancam, wajar mereka bersikap antipati terhadap Islam.
Sekarang tinggal bagaimana tokoh Islam menghadapi perang proxy yang berlatar belakang islamophobia ini. Ada contoh menarik dari “perang argumentasi” tentang penghapusan 7 kata di belakang kata Ketuhanan dalam preambule UUD 1945. Kala itu tokoh Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusuma yang juga Ketua HB Muhammadiyah pada waktu itu menggantikan dengan Yang Maha Esa, menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ki Bagus saat itu ternyata mampu membalikkan hal yang berlaku khusus menjadi berlaku umum. Kewajiban menjalankan syariat kepada pemeluknya sebetulnya dikhususkan untuk umat Islam, tetapi menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa yang berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia. Dengan adanya konsep ini, beberapa agama yang ada di Indonesia berusaha mengubah konsep bahwa yang disembah adalah Tuhan Yang Maha Esa meski sebetulnya mereka menyembah tuhan lebih dari satu.
Konsep-konsep cerdas yang demikian mestinya lahir untuk meng-atasi Islamophobia saat ini. Sebab memang Islam adalah rahmatan lil ‘alamin sebagaimana dikatakan Ketua Umum Pimpinan Pusat Al Irsyad Al Islamiyah KH Abdullah Djaidi. Karenanya, menurutnya, dalam hal menyikapi Islamophobia perlu meyakinkan dan menjelaskan bahwa pada hakikatnya Islam sebagai agama yang lahir penuh dengan kebijaksanaan dan toleransi yang tinggi sesuai diutusnya Nabi kita Muhammad saw membawa rahmat bagi seru sekalian alam (rahmatan lil alamin).
Ini juga, menurut Muflih Chalif, yang dilakukan para ulama. “Para tokoh ulama sampai hari ini Alhamdulillah masih terus tidak berhenti memberikan pemahaman kepada dunia tentang islam, dan mereka tidak kenal lelah menerangkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin,” kata Muflih.
Menurut Muflih, dunia harus tahu bahwa apa islam yang sebenarnya itu, cara berfikir dan cara bertindaknya rahmatan lil alamin.” Agar mereka tidak terus menjadikan islam sebagai lawan, dan sebagai teror. Agar mereka yang ada di luar islam tidak melihat bahwa yang ada hanya kekerasannya saja,” tegasnya.
Al Islam, menurut Abdullah Djaidi, telah berbicara dan menerapkan HAM sejak 15 abad yang lalu. Perlindungan terhadap hak hidup, hak berbicara menyampaikan pendapat, hak melindungi dan dilindungi, hak persamaan dalam pandangan hukum, hak sosial dan yang lainnya nya sudah dilakukan. “Bukan liberalisasi HAM yang diusung saat ini dengan menerapkan sesuai dengan kepentingan penguasa otoriter ataupun adi kuasa. Dan Islam tidak pernah menolak demokrasi selama membawa kemaslahatan buat umat dan bangsa,” tegas Djaidi.
Menerangkan pada pihak luar bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin memang perlu, tetapi bagi Dadang Kahmad tidak kalah pentingnya membenahi internal umat Islam agar dapat berprilaku rahmatan lil ‘alamin ini. Menurut Dadang, umat Islam seharusnya sudah harus mulai sadar tentang kelemahan tersebut, selama mereka lemah dalam berpikir dan kuat dalam emosional niscaya akan terus menjadi sasaran perlemahan dari orang lain. Karenanya, bagi Dadang, pendidikan umat Islam harus cepat diperbaiki kualitasnya dan cara pembelajarannya, berubah dari hafalan kepada analisis dan pemahaman. “Perkuat persatuan dan persaudaraan antar kelompok muslimin jangan sampai dipakai praktik politik belah bambu, yang satu diangkat yang lain di injak,” tegasnya
Selain itu , menurut Dadang, perlu mempersempit kesempatan orang lain untuk melakukan perlemahan kepada kaum muslimin dengan memperkuat di bidang politik. Persaingan antar kelompok masyarakat tidak akan hilang karena itu hukum sosial tapi sejauh mana persaingan itu menuju kepada arah yang positif bukan yang destruktif. Fastabiqul khairat.
Jika ini bisa dilakukan dengan baik, niscaya upaya-upaya yang dilakukan pihak lain untuk memperlemah umat dan mengadu domba sesama umat Islam akan menipis. Islamophobia memang selalu ada, karena memang musuh Islam terus ada.• (tulisan lut, bahan nies, thari dan eff)