Imam Al-Darimi: Ulama Hadits yang Tawadhu’

Imam Al-Darimi: Ulama Hadits yang Tawadhu’

Salah satu ulama Hadits yang sangat terkenal, bahkan karyanya banyak dipuji kalangan ulama semasanya adalah ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Darimi. Orien­talis seperti Dr Arent Jan (A.J.) Wensinck pun banyak mendasarkan referensinya pada Sunan al-Darimi ketika menulis al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadits al-Nabawi. Tidak salah jika sebagian ulama saat itu memasukan Sunan al-Darimi dalam kelompok al-Kutub as-Sittah. Sunan al-Darimi dianggap sebagai kitab hadits yang hanya terdapat sedikit para perawi yang dikategorikan dha’if. Jarang terdapat Hadits yang berstatus munkar dan syadd, meskipun di dalamnya terdapat Hadits-Hadits yang berstatus mursal dan mauquf. Sayangnya, dalam perjalanan sejarah dan perkembangan kitab Hadits, Sunan al-Darimi kurang dikenal di kalangan umat Islam.

Siapa sebenarnya Imam al-Darimi? Ia memiliki nama lengkap Abdullah bin Abdurrahman bin al-Fadhl bin  Bahram bin Abdu al-Shamad. Ada pun julukan/kuniyahnya adalah Abu Muhammad atau Imam al-Darimi. Ia lahir pada tahun 181 H di Kota Samarkand, daerah yang terletak di seberang sungai di wilayah Irak. Di kota ini ia lahir dan bertempat tinggal.
 

Al-Darimi dikaruniai kecerdasan, pikiran yang tajam, dan daya hafalan sangat kuat, khususnya dalam menghafal hadits. Ia mudah memahami dan menghafalkan setiap apa yang ia dengar. Ia berjumpa dengan para ulama hadits dan memperolah ilmu dari mereka. Ia adalah sosok yang tawadhu’ dalam hal pengambilan ilmu. Ia mendengar hadits dari kibarul ulama dan shigharul ulama. Bahkan dia pun mendengar dari sekelompok ahli hadits dari kalangan teman sejawatnya. Meskipun begitu, ia tetap sangat selektif dan berhati-hati. Ia selalu mendengar hadits dari orang-orang yang terpercaya dan tsiqah.

Al-Darimi diuntungkan dengan tumbuh-besarnya di Samarkand. Ketika itu, Samarkand adalah daerah yang tak pernah sepi perkembangan ilmunya. Di kota ini pula bermunculan para ulama. Namun demikian, ia belum merasa cukup dengan ilmu yang diperolehnya di Samarkand. Sebagaimana ulama hadits yang lain, Imam al-Darimi merantau ke beberapa negara untuk menuntut ilmu. Ia pergi ke Khurasan, Iraq, Baghdad, Kuffah, Wasith, Basrah, Syam, Damaskus, dan Shur. Ia menimba ilmu dari sejumlah guru dan para ulama terkenal yang ditemui selama hidupnya. Imam al-Darimi belajar kepada al-Nadhr bin Syamil, Abu an-Nadhr Hasyim bin Qasim, Marwan bin Muhammad ath-Thathari, Yazid bin Harun, Asyhal bin Hatim, Habban bin Hilal, Aswad bin ‘Amir, dan Ja’far bin ‘Aun.

Pengembaraan tersebut membentuk al-Darimi sebagai ulama yang ahli di beberapa bidang ilmu. Ia bukan hanya terkenal sebagai ulama hadits. Ia juga dikenal sebagai ulama fiqh dan tafsir.  Dalam bidang hadits, ia merupakan hafidz dan kritikus Hadits yang menguasai ‘ilal al-hadits dan ikhtilaf al-ruwwat. Dalam kajian fiqh, ia menguasai fiqh berbagai madzhab. Ia mampu memilah ajaran fiqh yang berdasar pada nash yang ma’surah. Di bidang tafsir, al-Darimi ahli ma’ani Al-Qur’an. Seorang ulama memberi julukan kepadanya sebagai mufassir yang sempurna.

Sebagai tokoh Hadits yang banyak meriwayatkan Hadits dan menjadi rujukan banyak orang, Imam al-Darimi juga sempat menulis karya dalam bidang Hadits dan lainnya. Meskipun tidak tergolong banyak, tetapi hasil karyanya sampai saat ini masih digunakan sebagai referensi. Di antara karyanya adalah Sunan al-Darimi, Tsulutsiyat (kitab hadits), al-Jami’, dan Tafsir.

Al-Darimi adalah ulama yang sangat dihormati bukan hanya oleh muridnya, tetapi oleh para gurunya. Tawadhu’-nya menjadikan setiap pendapatnya sebagai pertimbangan oleh ulama-ulama lain. Ketawadhu’annya itulah yang dikenang oleh para ulama saat itu  ketika ia meninggal. Al-Darimi meninggal pada hari Kamis bertepatan dengan hari Tarwiyyah, 8 Dzulhidjah 255 H, dalam usia 75 tahun. Ia dikuburkan keesokan harinya, Jumat (pada hari Arafah).• [ba; dari berbagai sumber].

Exit mobile version