MEDAN — Korupsi telah merusak seluruh sendi kehidupan berbangsa, mulai dari ekonomi, politik, hingga sosial budaya. Sayangnya masyarakat cenderung permisif terhadap praktek dan perilaku tercela tersebut. Madrasah Anti Korupsi diharapkan bisa menjadi bagian dari upaya membangun budaya antikorupsi masyarakat.
Hal tersebut mengemuka dalam seminar dan diskusi “Madrasah Anti Korupsi” di Aula Penjamin Mutu Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, pada tanggal 30 Januari 2016 lalu. Acara dihadiri oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dr. Haedar Nashir, M.Si., Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak, dan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Tama S Langkun.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr. Haedar Nashir, M.Si mengatakan, “Korupsi adalah permasalahan yang serius dan sudah mendarah daging di Indonesia. Tingkatan korupsi sudah dimulai dari yang paling kecil sampai yang merugikan negara, bahkan pelakunya pun dilakukan oleh mereka yang bersekolah tinggi dan intelektual”, tutur Haedar.
Dalam Sambutannya, Dr. Haedar Nashir mengharapkan dengan adanya Madrasah Anti Korupsi yang dipelopori oleh Pemuda Muhammadiyah ini harus bisa menjadi madrasah pergerakan Islam, dan Angkatan Muda Muhammadiyah harus selalu membawa misi dakwah Islam, yang mampu mengemban misi dakwah itu adalah orang-orang terpilih dan orang-orang terbaik. Oleh karena itu orang-orang yang akan menggerakkan madrasah ini adalah orang-orang pilihan yang akan siap untuk menjadi agen perbaikan bangsa dimasa yang akan datang. Gerakan Berjamaah melawan korupsi harus dimulai dari kesadaran untuk menghindari hal-hal yang subhat (abu-abu), yang kemudian berpotensi menyeret seseorang untuk melakukan tindak pidana korupsi.
Menurut Dahnil Anzar, gerakan antikorupsi adalah gerakan kebudayaan. Berbagai nilai seperti keadilan, kejujuran, keberanian harus ditanamkan di masyarakat. Tidak hanya itu, mereka pun harus diajak untuk mengawal pemerintah agar tidak menyimpang.
“Jika merujuk M. Hatta, korupsi dianggap sebagai budaya. Oleh karena itu cara untuk melawan korupsi dengan membuat budaya baru, budaya antikorupsi. Tapi ini tidak instan. Gerakan kebudayaan antikorupsi membutuhkan waktu yang lama, butuh stamina, dan kesabaran”, tegas Dahnil.
Dahnil menambahkan kerja sama Pemuda Muhammadiyah dengan Indonesia Corruption Watch membangun Madrasah Anti Korupsi merupakan kerja sama jangka panjang. Peserta madrasah akan belajar mengenai korupsi dan cara untuk melawannya seperti teknik membuat dan membaca anggaran negara, investigasi, dan advokasi. “Para alumni madrasah akan menjadi kader pelopor pemberantasan korupsi. Mereka wajib menularkan nilai-nilai dan kemampuan untuk melawan korupsi kepada orang lain di lingkungannya,” ujar Dahnil.
Hal yang sama ditegaskan oleh Ketua PW. Pemuda Muhammadiyah Sumut M. Basir Hasibuan, M.Pd didampingi oleh Husni Mubaraq, MA, Sholeh Tanjung, ST., Amrizal,M.Pd., Qahfi, M.Si, Arif, M.Si. Setelah mengikuti madrasah, peserta tidak hanya tidak korupsi. Tapi juga mengerti soal anggaran dan menjadi pelopor untuk melawan korupsi.
Madrasah Anti Korupsi di Sumatera Utara merupakan madrasah pertama yang dibentuk di pulau Sumatera yang telah dibuka oleh Dr. Haedar Nashir, M.Si. Sama seperti di kampus-kampus lain, peserta yang telah lolos seleksi akan belajar selama satu semester.
“Setelah lulus, rencananya mereka akan didorong untuk membuat semacam proyek pemberantasan korupsi. Bisa dengan membuat program pemantauan, kampanye, bahkan investigasi kasus. Karena untuk memberantas korupsi tidak hanya bermodal kemauan tapi juga kemampuan”, papar Basir.
Menurut Peneliti ICW, Tama S Langkun mengatakan bahwa korupsi membuat negara Indonesia hancur, selain itu tidak mencerdaskan bangsa dan kesejahteraan bangsa tidaklah tercapai. “Itu semua karena uang rakyat dikorupsi. Korupsi di Indonesia sudah sangat gawat, sudah masuk stadium tiga. Solusi terbaik memberantas korupsi dengan, pertama, mengerahkan seluruh stakeholder dalam merumuskan visi, misi, tujuan dan indikator terhadap makna Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Kedua, melaksanakan evaluasi yakni pengendalian dan pengawasan dengan membuat mekanisme yang dapat memberikan kesempatan kepada masyarakat dan pengawasan fungsional lebih independent. Ketiga, mengerahkan dan mengidentifikasi strategi yang akan mendukung terhadap pemberantasan KKN dan menghukum seberat-beratnya pelaku korupsi,” tegas Tama. (Amrizal-Ed. Nisa)