Menapaki abad kedua ini Muhammadiyah akan semakin dituntut konsistensi gerakan pencerahan dan komitmennya untuk merealisasikan perkaderan yang sistemik dan berkesinambungan. Proposisinya, bila spektrum perubahan di luar organisasi yang luar biasa massif dan ekstensif, sementara di dalam organisasinya tidak terbangun konsolidasi yang strategis dan penguatan kapasitas yang efektif—dalam matra perkaderan dan kepemimpinan–maka organisasi tersebut akan mengalami stagnasi atau bahkan dekaden.
Dalam konteks organisasi yang berhubungan timbal-balik dengan kondisi zaman yang selalu berubah itu, proposisi perkaderan yang transformatif dan kepemimpinan yang visioner menjadi pilihan strategis untuk direalisasikan untuk mendukung gerakan pencerahan Muhammadiyah. Bagi organisasi sebesar Muhammadiyah, model kepemimpinan visioner ini akan bisa memberikan jaminan dalam implementasi nilai dan identitas Persyarikatan baik secara institusional maupun personal dalam penguatan kapasitas kader dan anggota.
Lebih jauh lagi di Muhammadiyah posisi kader tersebut juga selalu bergandengan dengan sistem perkaderan, nilai-nilai ideologis, dan subjek gerakan. Misalnya dalam renstra program nasional bidang kaderisasi—Tanfidz Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-46 (2010)—tertulis: “Membangun kekuatan dan kualitas pelaku gerakan serta peran dan ideologi gerakan Muhammadiyah dengan mengoptimalkan sistem kaderisasi yang menyeluruh dan berorientasi ke masa depan.”
Ada tiga kata kunci dalam rencana strategis tersebut: 1) pelaku gerakan; 2) ideologi gerakan Muhammadiyah; dan 3) sistem kaderisasi. Khusus yang diistilahkan dengan ”pelaku gerakan”cakupan subjeknya terdiri dari: pemimpin, kader, dan anggota/warga Persyarikatan.
Posisi Strategis Kader
Dalam ruang lingkup dan dinamika gerakan Muhammadiyah, maka secara organisatoris ketiga subjek tersebut saling membutuhkan dan pengaruh-mempengaruhi. Misalnya, seorang pemimpin pasti membutuhkan anggota/warga, baik sebagai basis legitimasi kepemimpinan maupun untuk kepentingan pelibatan mereka dalam berbagai program dan agenda kegiatan yang sudah dirancang. Terlebih lagi posisi kader juga lebih strategis dan menentukan bagi kemajuan organisasi. Nilai lebih ini karena kader menempati posisi signifikan di antara pemimpin dan anggota: sebagai tenaga pendukung tugas pemimpin serta menjadi penggerak dan pendinamis aktivitas partisipatif anggota/warga.
Untuk menjadi kader seperti dalam posisi strategisnya tadi tentu tidak bisa terwujud secara instant dan begitu saja. Sosok kader seperti itu terbentuk melalui penempaan dalam proses pelatihan dan didik diri yang berkelanjutan di fora perkaderan, baik yang dikategorikan sebagai perkaderan utama maupun fungsional.
Kader yang berkualitas dan proses kaderisasi yang mapan menjadi qonditio sine qua-non bagi terlaksananya regenerasi dan alih estafeta kepemimpinan dalam sebuah organisasi. Sekaligus dengan upaya itu pula regenerasi yang bertumpu pada kaderisasi dapat menjamin suksesi kepemimpinan dan kesinambungan pengembangan organisasi di masa depan secara dinamis, sesuai dengan ideologi dan identitasnya yang dikontekstualisasikan untuk menjawab tuntutan dan perubahan zaman. Inilah yang dimaksud dengan siklus yang sehat dalam Persyarikatan: kaderisasi-regenerasi-suksesi kepemimpinan.
Komitmen dan kompetensi pemimpin serta kader merupakan komponen organisasi yang tidak boleh tidak mesti dirawat dan dikembangkan. Upaya ini menjadi tanggung jawab yang besar dan sekaligus berat terutama bagi pemimpin Persyarikatan, sementara pemimpin dan kepemimpinan itu sendiri merupakan bagian dari anasir yang terpenting dan fundamental dalam mengintensifkan gerakan pencerahan dan mengembangkan dinamika Muhammadiyah untuk Indonesia berkemajuan.
Dengan kata lain, aktiva dan pasiva gerakan Muhammadiyah untuk merealisasikan gerakan pencerahan tersebut akan ikut ditentukan oleh kualitas kader dan kinerja kepemimpinan yang dijalankan oleh seluruh jajaran dan fungsionarisnya di semua lini. Artinya, neraca gerakan Muhammadiyah dewasa ini dan kelanjutannya ke depan dengan gerakan pencerahannya itu tidak bisa dimungkiri lagi bakal ikut diwarnai dan ditentukan oleh kompetensi kader dan para elite yang diamanahi dalam struktur kepemimpinan Persyarikatan.
Dengan demikian, para kader dan orang-orang yang dipercaya menjadi pemimpin di Muhammadiyah, sesuai dengan levelnya masing-masing, memiliki amanah yang berat dan tanggung jawab yang besar untuk memajukan Persyarikatan serta mengembangkan sumberdaya kader dan anggotanya. Dalam konteks ini, selain memiliki integritas dan kredibilitas, kader dan pemimpin juga harus mempunyai kapabilitas, visi kepemimpinan yang jelas, dan kemauan untuk selalu meningkatkan kualitas dengan perkaderan atau memiliki tekad kuat untuk mau belajar dan berlatih guna memperbarui diri.
Revitalisasi Kader
Kebutuhan akan sosok kader dan pemimpin yang amanah dan cakap serta model kepemimpinan yang responsif dan partisipatoris, bukan saja karena kebutuhan intern Muhammadiyah yang urgen, tetapi juga mengingat tantangan dan problem eksternal Persyarikatan dewasa ini yang semakin tidak ringan. Tantangan ini juga tidak lepas dari konstelasi dinamis dalam skup nasional dan global, baik dalam dimensi sosial, budaya, ekonomi, politik, maupun keagamaan.
Seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman, maka kebutuhan standar kompetensi kader untuk saat ini dan masa yang akan datang akan berbeda dengan masa yang lalu. Karena itu untuk selalu menampilkan sosok kader yang siap kiprah sesuai dengan zamannya perlu diadakan “revitalisasi kader”. Langkah ini merupakan bagian terpenting dalam membangun format pengembangan sumberdaya kader.
Revitalisasi kader merupakan sebuah proses yang berkelanjutan untuk meningkatkan vitalitas, daya juang, dan kualitas kader melalui berbagai macam pelatihan, pendidikan, dan perkaderan yang terarah dan terencana. Melalui revitalisasi kader ini, suplai kader tidak hanya berfungsi bagi pemenuhan kebutuhan internal Persyarikatan saja seperti untuk mendukung gerakan pencerahan, tetapi juga peran strategisnya akan terlihat dari kemampuannya dalam merespons dan menyikapi dinamika perkembangan zaman bagi kemajuan negara-bangsa.
Pada sisi lain revitalisasi kader tersebut merupakan unsur terpenting dari upaya manajemen pengembangan sumberdaya kader dan anggota. Dalam sebuah organisasi, manajemen pengembangan sumberdaya kader ini merupakan program pokok yang strategis guna menghasilkan kader-kader yang berkualitas dan siap kiprah untuk mendinamiskan gerakan pencerahan Muhammadiyah.
Dalam praktiknya, manajemen pengembangan sumberdaya kader dan anggota ini tidak akan cukup diwujudkan dalam bentuk-bentuk training perkaderan dan pelatihan yang baku saja. Penatalaksanaan manajemen ini harus sudah dimulai sejak perekrutan anggota dan selama aktif berkecimpung di Persyarikatan atau di organisasi otonom.
Mutatis mutandis, revitalisasi kader juga harus diterapkan dalam pelbagai bentuk kegiatan, pelatihan, dan institusi-institusi perkaderan baik yang termasuk jenis perkaderan utama maupun fungsional. Satu hal yang perlu digarisbawahi, bahwa upaya revitalisasi kader dengan mengintensifkan berbagai macam perkaderan tadi jangan sampai hanya bersifat ideology oriented tetapi juga mesti memperhatikan aspek-aspek lainnya yang dinamis di luar Persyarikatan.
Harus dipahami bahwa arti penting lain dari revitalisasi kader ini adalah agar supaya kader memiliki link and match, baik ke dalam maupun ke luar. Maksudnya, ada keterkaitan dan keselarasan dengan tuntutan kebutuhan internal Persyarikatan, maupun kemestian bagi kader untuk menguasai ilmu pengetahuan dan kecakapan agar mampu merespons perubahan sosial yang menyertai dinamika umat dan bangsa dalam percaturan global. Kompetensi kader plus integritas inilah yang diperlukan Muhammadiyah dalam melajukan gerakan pencerahan untuk Indonesia berkemajuan.•
_______________________
Asep Purnama Bahtiar, Ketua Majelis Pendidikan Kader PP Muhammadiyah; Dosen FA Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.