(178) Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishas berkenaan dengan orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tapi barangsiapa memperoleh maaf dari saudaranya hendaklah dia mengikutinya dengan baik, dan membayar diyat (tebusan) kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Barangsiapa melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih. (179) Dalam qishas itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal agar kamu bertakwa.
Pada kelompok ayat 174, 175 dan 176 sebelumnya dijelaskan tentang sikap para pemuka Yahudi yang menyembunyikan kebenaran agama atau menyembunyikan sifat-sifat Nabi Muhammad dan kebenaran ajarannya. Pada ayat 177 dijelaskan bahwa kebajikan hakiki bukanlah sekadar mempersoalkan arah kiblat antara menghadapkan diri ke arah timur dan barat, akan tetapi kebajikan hakiki adalah beriman kepada Allah dengan patuh dan tunduk kepada apa yang disyariatkan oleh agama dan menghindarkan diri dari segala macam kecenderungan hawa nafsu. Pada ayat 178 dan 179 ini Allah SwT menjelaskan tentang qishas dan pengaruhnya terhadap kehidupan sebagai sanksi hukum bagi yang melakukan kejahatan tindak pidana pembunuhan.
Ada beberapa riwayat yang hampir sama ceritanya mengenai sebab turunnya ayat ini. Antara lain disebutkan bahwa pada zaman jahiliyah, apabila terjadi pembunuhan di antara dua suku Arab, salah satu dari mereka merasa dirinya lebih tinggi kedudukannya dari yang lainnya, sehingga jika terbunuh dari mereka seorang hamba, mereka menuntut balas dengan membunuh tuannya (majikannya yang merdeka) atau jika yang terbunuh seorang perempuan maka mereka menuntut balas dengan membunuh seorang laki-laki dari keluarga pelaku pembunuhan. Akibat dari itu, sering terjadi pertumpahan darah di antara mereka. Ayat ini lalu turun menjelaskan agar mereka menyamakan derajat mereka yang terbunuh dengan yang membunuh, yaitu “orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita”. (Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, jilid I, hlm. 210, Ibn Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari, jilid II, hlm. 102-103).
Kata al-qishas memiliki banyak arti, antara lain; al-qashas yang berarti tatabbu’ al-atsar (mengikuti jejak), seperti dalam cerita ibu Nabi Musa pada Qs Al-Qashas [28]: 11:
Ibu Musa berkata kepada saudara Musa yang perempuan: “Ikutilah dia”
Kata qushīh (
Hakikat Qishas
Allah SwT memulai ayat 178 ini dengan,
(Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishas). Sekalipun dalam ayat tersebut kata kutiba berarti furridha wa ulzima (diwajibkan), namun ayat ini tidak lantas bermakna bahwa kisas itu wajib dilakukan pada setiap terjadinya pembunuhan. Seruan ayat ini dapat bermakna: wahai keluarga terbunuh, jika kamu menghendaki sebagai sanksi akibat terjadinya pembunuhan yang tidak sah kepada keluargamu, maka janganlah kamu melampui perbuatan yang dilakukan pelaku pembunuhan dan jika kamu tidak menginginkan tuntutan balasan dengan qishas, maka boleh dilakukan sanksi berupa diyat atau pemaafan. Tapi jika menginginkan sanksi balasan, maka hendaklah melalui yang berwewenang dengan ketetapan bahwa orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan, dan seterusnya. (Ibn Jarir al-Thabari, Tafsir At-Thabari, jilid II, hlm. 102).
Hukuman Pokok dalam Tindakan Pidana atas Jiwa
Agama Islam menetapkan secara tegas bahwa hukuman pokok tindak pidana pembunuhan atau penganiayaan sengaja adalah qishas atau yang sering disebut qawad. (Qishas disebut juga qawad karena biasanya pelaku kejahatan yang akan diqishas digiring dalam keadaan dirinya atau tangannya diikat dengan sesuatu seperti tali dan lain sebagainya ke tempat pelaksanaan eksekusi. Qawad dari kata qada – yaqudu yang berarti menggiring. Lihat Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, jilid VII, hlm. 589). Adapun diyat dan takzir adalah merupakan hukuman pengganti dari hukuman qishas. Dengan demikian, hukuman qishas sebagai hukuman pokok tidak dapat dikumpulkan dengan diyat dan takszir sebagai hukuman pengganti, karena mengumpulkan pengganti dengan yang diganti akan menafikan tabiat sistem pergantian. (Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, IV/25)
Penetapan qishas sebagai hukuman pokok terhadap pembunuhan dan penganiayaan sengaja didasarkan pada Qs al-Baqarah ayat 178 dan 179 di atas. Penetapan ini didukung oleh ayat lain dalam Qs al-Maidah [5]: 45:
Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya (Taurat) bahwa jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka pun ada qishasnya.
Ayat tersebut menetapkan bahwa perbuatan pidana dengan menghilangkan jiwa seseorang dibalas dengan penghilangan jiwa serupa atau pencederaan terhadap anggota tubuh seseorang juga dilakukan hukuman serupa dengan melakukan penghilangan terhadap anggota tubuh pelaku tindak pidana tersebut.
Dalam kaitan ini, ada beberapa Hadits Rasulullah saw, di antaranya Hadits dari Abdullah bin Mas’ud, bahwa Nabi Muhammad bersabda:
Dari Abdullah bin Mas’ud, beliau berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: Tidak halal darah seorang muslim yang telah berikrar dua kalimat syahadat La Iilaha Illallah (tidak ada Tuhan selain Allah) dan sesungguhnya aku adalah rasul Allah, kecuali karena salah satu dari tiga hal: orang membunuh jiwa harus dibalas dengan membunuh jiwa, orang yang telah menikah berbuat zina, dan orang yang meninggalkan agamanya memisahkan diri dari jamaah. (HR al-Jama’ah).
Selain itu, Hadits yang diriwayatkan Abu Daud dari ‘Aisyah ra.
Dari ‘Aisyah yang berkata, Rasulullah saw bersabda: “Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Ilah -yang berhak disembah- selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah kecuali dengan salah satu dari tiga sebab; orang yang berzina setelah menikah, maka ia harus dirajam; seorang laki-laki yang keluar untuk memerangi Allah dan Rasul-Nya, maka ia harus dibunuh, disalib atau dibuang dari negeri tersebut; serta seseorang yang membunuh orang lain maka harus dihukum mati karena membunuh. (HR Abu Daud).• Bersambung
***) Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dengan naskah awal disusun oleh Prof Dr Muhammad Zuhri, MA.