Oleh: Ahmad Norma Permata
Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) merupakan garda depan (ujung tombak) bagi Persyarikatan, yang menjadi barometer keberhasilan atau kegagalan Muhammadiyah baik sebagai gerakan sosial, organisasi, maupun missi dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar. Sayangnya, selama ini PRM sekaligus menjadi segmen Persyarikatan yang paling menerima beban (ujung tombok), baik secara sosial, finansial, maupun politis. Sehingga, berbeda dengan level kepemimpinan yang di atasnya, sangat sulit menemukan orang yang dengan sukarela bersedia menjadi Ketua PRM. Alhasil, kualitas SDM PRM masih ala kadarnya. Itupun umumnya warga Persyarikatan sudah akan bersyukur: “masih untung ada yang mau!”
Namun demikian, sebenarnya era baru bagi PRM sudah tiba. Mulai dari Muktamar ke 45 tahun 2005 di Malang yang menghasilkan rekomendasi percepatan pemberdayaan Cabang dan Ranting, lalu Muktamar ke 46 tahun 2010 di Yogyakarta yang membidani lahirnya Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting, topik tentang aktivisme dakwah akar rumput memiliki daya politik yang makin kuat. Selama lima tahun terakhir issue ini sudah semakin meluas baik di kalangan Persyarikatan maupun AUM, sehingga sudah menjadi “political correctness”, di lingkungan Muhammadiyah: sesuatu yang harus diterima, suka atau tidak.
PRM semakin mendapat tempat di dalam radius program dan pembiayaan di lingkungan Muhammadiyah. Sejumlah AUM besar sudah secara rutin menyediakan anggaran miliaran untuk pemberdayaan PRM/PCM, dan mendorong (bahkan mewajibkan) para karyawan untuk aktif di PRM tempat mereka tinggal. Jika masih ada pimpinan AUM yang masih memandang sebelah mata persoalan Ranting, bisa dipastikan mereka semakin kehilangan tempat, dan kehilangan kehormatan, lingkungan Muhammadiyah.
Image bahwa PRM sebagai lahan yang tidak bernilai juga semakin surut seiring dengan semakin banyaknya ranting-ranting unggulan yang tampil dan terekspos melalui berbagai media di lingkungan Persyarikatan. Lihat buku Cabang dan ranting Unggulan: Belajar dari Kisah-Kisah Ujung Tombak Muhammadiyah (Yogyakarta: LPCR PP, 2012).
Ada PRM Nitikan dan PRM Warungboto di Yogyakarta: yang pertama sukses memberdayakan warga sekitar, yang kedua sukses membangun Kampung Muhammadiyah. Ada PRM Tamanagung I, Magelang Jateng, yang memiliki AUM dari PAUD hingga Perguruan Tinggi. Ada PRM Sumbersari, Kab. Bandung, yang memiliki jamaah ribuan orang, dan dana infak hingga ratusan juta pertahun. Ada PRM Plompong, Kab. Brebes Jawa Tengah, yang sukses membangun gerakan dakwah di puncak gunung terpencil. Ada PRM Bukit Pariaman, Kab. Kutai Kartanegara yang juga sukses membangun Gerakan dan Dakwah Jamaahh, serta PRM Muhajirin, Banjarmasin, yang sukses mengembangkan Muhammadiyah di lingkungan yang tidak ramah dengan Muhammadiyah. Terakhir ada PRM Gondrong, Kota Tangerang, di mana Ketua PRM rela melepaskan jabatan sebagai Kepala Desa demi mengabdi di Muhammadiyah, sementara ada di Kab. Pemalang ada PRM Kaliprau yang dirintis oleh sejumlah anak muda dan sukses mengantar ketua PRM menjadi Kepala Desa.
Terakhir momen inspiratif juga muncul ketika mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Prof Dr Din Syamsuddin, MA mendeklarasikan sekaligus menjadi Ketua PRM Pondok Labu, Jakarta Selatan. Momen ini memiliki nilai penting dalam mengubah image ketua anting dari jabatan ‘ala kadarnya’ menjadi posisi yang cukup berharga.
TIGA RESEP UTAMA
Upaya memberdayakan dakwah di akar rumput tidak lagi merupakan hutan belantara yang tanpa jalan dan tanpa peta. Dengan adanya basis data yang makin baik, sinkronisasi program Majelis dan Lembaga yang makin sinergis, serta contoh dan inspirasi dari PRM unggulan yang kian hari bertambah banyak, akselerasi pemberdayaan PRM sudah menjadi program yang siap dikebut dengan kecepatan penuh.
Tentu saja program ini masih berjangka panjang, masih memerlukan waktu, membutuhkan dukungan dana yang tidak kecil, dan membutuhkan komitmen dari seluruh jajaran pimpinan dan warga Persyarikatan.
Belajar dari praksis yang ada pada PRM-PRM unggulan, paling tidak ada tiga komponen yang dibutuhkan untuk menjadikan PRM sebagai ujung tombak.
Pertama, pemberdayaan SDM. Memang fakta selama ini menunjukkan bahwa sulit mencari kader di tingkat ranting, baik karena tidak ada kader maupun karena tidak ada yang berminat meski ada kader. Namun sebenanya hal ini lebih menggambarkan ketidakmampuan menggali SDM, ketimbang ketiadaan. Sebab banyak juga ranting yang dapat diaktifkan meskipun tanpa adanya kader, bahkan di tempat yang masyarkatnya tidak kenal atau tidak suka dengan Muhammaidyah.
Kata kunci sebenarnya adalah pada “insentif”, yaitu “sesuatu” yang bisa dibayangkan seseorang akan dia dapat ketika aktif di ranting. Selama sebuah PRM mampu menyediakan “sesuatu” yang bernilai, pasti orang akan tertarik. Sesuatu tersebut bisa berupa pengajian yang mencerahkan, pelatihan kerja dan wirausaha untuk angkatan muda, atau sarana dan prasarana olah raga dan hobby yang bermanfaat untuk remaja dan anak.
Dan untuk melakukan ini PRM bisa meminta bantuan dari Majelis atau Lembaga di PCM/PDM/AUM terdekat. Dalam konteks inilah sangat urgen untuk mendorong generasi muda aktif di PRM. Selama diberi kesempatan dan fasilitas untuk berkreasi—dan bukan sekadar diminta menurut dan mengikut—generasi muda Muhammadiyah biasanya akan mampu menunjukkan kreasi dan prestasi sebagaimana yang sudah banyak terbukti.
Kedua, persoalan dana. Fakta juga menunjukkan bahwa semua PRM unggulan memiliki basis ekonomi yang mapan, untuk menopang program dan kegiatan. Namun sebenarnya istilah “dana” kurang begitu tepat, karena yang dibutuhkan dalam menyelenggarakan aktivitas tidak hanya pada dana tapi “sumber daya”, yang mencakup fasilitas, tenaga ahli, teknologi, jejaring, dsb.
Mengubah cara berfikir dari orientasi “dana” menjadi “sumberdaya” akan mempermudah upaya untuk menjalin kerjasma dan mendapatkan bantuan. Dewasa ini hampir semua AUM sudah menerapkan sistem anggaran yang ketat mengikuti program yang direncanakan. Mencari bantuan dana akan semakin sulit dibanding mencari bantuan sumber daya—karena sudah harus diusulkan pada rencana program tahu sebelumnya. AUM belum tentu setiap saat memiliki dana untuk disumbangkan, namun di AUM banyak potensi sumberdaya yang dapat dimanfaatkan.
Ketiga, fokus kegiatan, terkait bagaimana PRM dapat menyusun program dan kegiatan sesuai kebutuhan umat dan lingkungan. Bagi PRM yang belum berdaya belajar dari kisah sukses PRM unggulan akan memberi banyak wawasan. Namun seringkali hal ini menjebak bagi PRM yang bersangkutan untuk mengembangkan program dan kegiatan sebagaimana yang telah berhasil dijalankan oleh PRM unggulan yang dicontoh. Padahal belum tentu sesuai dengan kebutuhan umat dan masyarakat setempat.
Pimpinan dan aktivis ranting perlu mulai belajar mengidentifikasi kebutuhan masyarakat setempat, dengan bertanya langsung kepada masyarakat apa yang mereka butuhkan. Dewasa ini wawasan masyarakat sudah semakin terbuka, sehingga sudah bukan zamannya lagi bagi pimpinan ranting untuk berasumsi tahu apa yang dibutuhkan masyarakat tanpa perlu konfirmasi.
Sudah saatnya aktivis Ranting menyadari bahwa “mengajar” tidak sama dengan “menggurui”, dan “memimpin” itu bermakna “melayani”. Dengan pendekatan ini maka PRM akan mampu menemukan apa yang dibutuhkan umat dan lingkungan setempat. Ketika PRM mampu menyusun program berdasar kebutuhan, maka PRM pada gilirannya akan dibutuhkan oleh umat dan warga setempat. Insya allah bukan hal yang mustahil kita akan menyaksikan warga berduyun-duyun menjadi anggota PRM dan para tokoh berebut menjadi ketua ranting Muhammadiyah.•
___________________
Ahmad Norma Permata, (Ketua LPCR PP Muhammadiyah 2010-2020)