Mengurus Indonesia dengan jumlah penduduk 247 juta dan wilayah yang luas sungguh tidak mudah. Persoalan datang silih berganti. Dalam hubungan antarumat beragama terjadi konflik Tolikara dan Singkil, ketegangan Sunni dan Syi’i, munculnya gerakan-gerakan yang dikategorikan radikal, dan masalah lain yang tidak jarang menimbulkan opini negatif tentang kehadiran umat beragama. Padahal secara umum posisi dan peran umat beragama sangatlah positif di negeri ini.
Kehidupan politik meski positif dalam perkembangan demokrasi, tetapi selalu muncul kegaduhan dan masalah yang tidak kalah menjengkelkan rakyat dan akal sehat. Politik menjadi liar yang diwarnai perilaku ajimumpung kekuasaan, korupsi, politik uang, dan kompetisi yang sering tidak sehat. Beberapa waktu lalu bahkan heboh soal “papa minta saham”, yang menyebabkan Ketua DPR mengundurkan diri. Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi pun menjadi pertaruhan dengan adanya pelemahan oleh sejumlah pihak.
Kehidupan ekonomi sekilas kelihatan menunjukkan perkembangan positif. Namun di dalamnya terkandung banyak masalah serius. Jumlah APBN kecil, sementara hutang luar negeri sangat besar. Kesenjangan sosial melebar cukup serius, jumlah orang miskin diperkirakan tahun ini bertambah 1,9 juta orang. Sementara pendapatan rata-rata penduduk perorang masih di kisaran 3600 USD, yang tentu saja kecil dibanding negara tetangga, Singapura sudah mencapai 51000 USD. Kekayaan alam banyak dikuras asing.
Gerakan revolusi mental semangatnya positif. Tetapi arahnya hendak menyasar apa? Jika urusan membangun disiplin antri, berlalulintas, dan etika publik sehari-hari sesungguhnya sudah dimulai oleh gerakan sosial masyarakat. Namun urusan mental yang lebih besar mesti menjadi perhatian utama seperti bagaimana agar para pejabat publik tidak korupsi, berperilaku teladan, dan menjalankan amanat dengan benar. Revolusi mental juga harus menghadapi soal erosi sosial yang terjadi di masyarakat luas akibat globalisasi, liberalisasi budaya, dan kehidupan serba menerabas.
Masalah terorisme tidak kalah problematik, menjadi beban berkepanjangan. Terakhir peristiwa pengeboman di kompleks Sarinah Jakarta, yang menghebohkan jagad nasional dan dunia. Kejadian demi kejadian yang disebut terorisme bermunculan secara reguler. Padahal sudah ada lembaga Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Densus 88 sebagai institusi khusus bersama kepolisian, TNI, dan Badan Intelijen Negara (BIN). Orang mulai bertanya, ada apa dengan kasus-kasus terorisme di negeri ini? Adakah murni terorisme atau ada kaitan dengan proxy war pihak lain serta “proyek” deradikalisasi? Publik masih banyak menyimpan rasa penasaran, apa yang terjadi di balik isu dan kasus-kasus terorisme itu?
Beban Indonesia sungguh berat karenanya diperlukan para pihak yang memimpin dan pejabat negeri ini untuk mengurus Indonesia dengan benar, jujur, cerdas, amanah, dan berjiwa negarawan. Dari Presiden hingga ke bawah harus berpikir ekstra keras bagaimana memajukan bangsa dan negara secara benar dan progresif. Jangan pernah menganggap enteng memimpin dan mengurus negara sebesar ini!• (hns)