Sural Al-Baqarah Ayat 178-179; Beberapa Aspek Hukum Qishas (2)

Sural Al-Baqarah Ayat 178-179; Beberapa Aspek Hukum Qishas (2)

Dalam kaitan dengan ini terdapat juga hadits riwayat al-Nasa`i dan Abu Daud, dari Ibn Abbas dalam bentuk marfu’ kepada Rasulullah saw, beliau berkata:


Beliau berkata: barangsiapa dibunuh secara sengaja, maka hukuman bagi pelakunya adalah qishas, dan barangsiapa menjadi penghalang dari pelaksanaan qishas, maka baginya laknat  Allah, malaikat-Nya dan manusia semuanya. Tidak diterima darinya taubat dan tidak pula tebusan. (HR al-Nasa`i dan Abu Daud)

Hal-Hal yang Dapat Menggugurkan Qishas   
Setidaknya ada dua hal yang dapat menggugurkan hukuman qishas, yaitu:
a.     Pelaku meninggal dunia (objek qishas sudah tidak ada), dalam hal ini qishas menjadi gugur karena jiwa terpidana yang menjadi objek qishas sudah tidak ada. Pelaku yang meninggal dunia tidak dapat digantikan oleh orang lain yang tidak bersalah, sebagaimana firman Allah dalam Qs Al-Isra’ [17]: 15:

Seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain.

b.     Pemaafan: melakukan pemaafan dari qishas berarti menggugurkan qishas secara cuma-cuma atau mengganti dengan diyat. Korban yang menggugurkan qishas secara cuma-cuma disebut mengampuni, sedang yang menggugurkan diyat juga disebut mengampuni, karena keduanya menggugurkan hak tanpa imbalan dari orang lain. Hal ini didasarkan pada Qs Al-Baqarah [2]: 178 di atas, juga Qs  Al-Maidah [5]: 45:

  (barang siapa yang melepaskan (hak qishas)nya, maka pelepasan itu menjadi penebus dosa baginya). Sedang dalil dari Hadits, antara lain Hadits riwayat Ahmad, Abu Daud, Ibn Majah dan Al-Nasa`i dari Anas bin Malik:

Tidaklah ada sesuatu yang di dalamnya ada ketentuan qishas yang dilaporkan kepada Rasulullah saw kecuali beliau memerintahkan untuk memberikan maaf di dalamnya.

Hukuman Pengganti dari Hukuman Pokok (Qishas)
a.    Diyat: Diyat adalah harta yang wajib karena suatu kejahatan terhadap jiwa, (Al-Jurjani, At-Ta’rifat, Dar-Al-Kitab Al-Arabi, hlm 142), atau dapat juga dimaksud sebagai sesuatu yang dihukumi sama seperti jiwa. (Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam, (terj.) VII/630). Dasar hukumnya adalah Hadits yang cukup panjang yang diriwayatkan oleh al-Nasa`i:

Bahwasanya Rasulullah saw menulis surat kepada penduduk Yaman …. Isi surat itu menyebutkan: barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan tanpa sebab dan alasan yang benar, maka orang itu diqishas (qawad) kecuali bila ia membuat para wali korban rela (meminta maaf dan mereka memaafkannya), dan sesungguhnya diyat jiwa (pembunuhan) adalah seratus ekor unta (HR al-Nasa`i)

b. Takzir. Takzir adalah hukuman pengganti, jika hukuman qishas gugur dalam kasus pidana pembunuhan sengaja, hukuman takzir ini menurut sebahagian besar ulama tidak wajib, (Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam, (terj.) VII/645; (Takzir secara bahasa berarti al-ma’u wa ar-da’ (larangan dan pencegahan). Secara istilah adalah hukuman yang tidak ditentukan bentuk dan jumlahnya, yang harus dilaksanakan terhadap segala bentuk tindak pidana yang tidak termasuk hudud (Mahmud Abdurrahman Abdul mun’im. Mu’jam Al-Mushthalahat wa Al-Alfazh Al-fiqhiyyah, I/471-472), akan tetapi diserahkan kepada kebijakan hakim untuk mengambil langkah yang menurutnya sesuai dengan kemaslahatan, sehingga ia bisa menghukum, mendisiplinkan, mendidik, memperbaiki dan meluruskan orang-orang yang berperilaku tidak baik dengan dipenjara, didera, dikecam, ditegur keras dan lain sebagainya. (Wahbah, Fiqih Islam, (terj.) VII/645)

Yang Berhak Menentukan Sanksi Qishas atau Pemaafan
Para ulama sepakat bahwa ahli waris (waliyuddam) dari korban pembunuhanlah yang berhak menentukan apakah pelaku pembunuhan akan dikenai qishas atau diberi pemaafan. Dasarnya adalah firman Allah:

Tapi barang siapa memperoleh maaf dari saudaranya hendaklah dia mengikutinya dengan baik, dan membayar diyat (tebusan) kepadanya dengan baik (pula)).

Pada Qs Al-Isra’ [17]: 33 dijelaskan:

Barangsiapa dibunuh secara dzalim, maka sungguh Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya, tetapi janganlah berlebihan dalam pelaksanaan hukuman mati.
Berdasarkan ayat-ayat di atas, pihak keluarga korban (waliyuddam) memiliki kewenangan untuk menetapkan bentuk sanksi yang akan dituntutkan kepada pihak pelaku pembunuhan; apakah dengan qishas ataukah cukup memberikan pemaaf­an terhadap pelaku pembunuhan dan menggugurkan sanksi qishas dengan menggantinya dengan diyat (tebusan). Dalam hal ini para ulama berpendapat bahwa yang menentukan bentuk sanksi tersebut merupakan kewenangan ahli waris (waliuddam) sebagaimana Hadits riwayat al-Turmudzi dari Abu Hurairah:

Abu Hurairah berkata: ketika kota Makkah dibuka oleh Allah kepada Rasul-Nya, lalu beliau berdiri dan mengucapkan tahmid dan pujian kepada Allah dan bersabda: barangsiapa dijadikan korban pembunuhan maka dapat memilih dua hal, yaitu apakah akan melakukan pemaafan atau akan melakukan tuntutan pembunuhan serupa (HR al-Turmudzi).

Hal yang sama juga tercantum pada Hadits riwayat al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, Al-Nasa`i, dari Abu Hurairah:

Rasulullah saw bersabda: barang siapa dijadikan korban pembunuhan maka dapat memilih dua hal yaitu apakah akan melakukan pemaafan atau akan melakukan tuntutan pembunuhan serupa. (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Al-Nasa`i).

Selain itu, ketentuan tersebut dapat dibaca pada Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Syuraih al-Khuza’i:

Dari Abi Syuraih Al-Khuzai menjelaskan bahwa Rasulullah saw bersabda: barangsiapa dibunuh atau dicederai secara fisik, maka dapat memilih salah satu dari tiga hal yaitu: akan melakukan qishas (perlakuan serupa); pemaafan; atau pembayaran diyat (tebusan). Jika menginginkan yang ke empat (melebihi ke tiga opsi yang ada) maka cegahlah dan barangsiapa yang melampaui batas setelah itu, maka baginya siksaan yang pedih. (HR Abu Daud).• Bersambung

 

***) Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dengan naskah awal disusun oleh Prof Dr Muhammad Zuhri, MA.

Exit mobile version