Remaja masa sekarang pasti berbeda dengan remaja masa lalu. Mereka tidak lagi kenal layar tancap. Mereka lebih kenal internet dan keseluruhan media sosial. Mereka dapat mencari, menikmati, melakukan apa pun via dunia maya tersebut. Kalau sudah demikian, satu sisi, kecerdasan dan kelincahan remaja seperti ini sangat mengagumkan.
Tapi, sisi lain, kerawanan moral juga menyedot perhatian, karena secara tidak sadar moralitas mereka juga tidak dibentuk oleh lingkungan sosialnya, melainkan oleh situs-situs yang mereka kunjungi setiap menitnya. Di sinilah tantangan berat orang tua untuk selalu mengetahui dan mengontrol remaja masa kini, yang digolongkan dalam Generasi Y dan Z.
Tapi, sebelumnya, apa sih Generasi Y (Gen-Y) itu? Secara ringkas, Gen-Y adalah generasi yang lahir antara tahun 1981-1994. Generasi ini juga dikenal dengan sebutan generasi millenial atau milenium. Gen-Y banyak menggunakan teknologi komunikasi instan seperti email, SMS, instan messaging, dan media sosial seperti facebook dan twitter. Mereka juga suka main game online. Generasi ini sekarang akan atau sudah memasuki dunia kerja. Di Indonesia, pada tahun 2010, terdapat lebih dari 80 juta Gen-Y dan akan meningkat menjadi 90 juta pada tahun 2030.
Apa juga Generasi Z (Gen-Z) itu? Generasi ini adalah generasi yang lahir antara tahun 1995-2010. Gen-Z disebut juga iGeneration: generasi net atau generasi internet. Mereka memiliki kesamaan dengan Gen-Y, tapi mereka mampu mengaplikasikan semua kegiatan dalam satu waktu seperti nge-tweet menggunakan ponsel, browsing dengan PC, dan mendengarkan musik menggunakan headset. Apa pun yang dilakukan kebanyakan berhubungan dengan dunia maya. Sejak kecil mereka sudah mengenal teknologi dan akrab dengan gadget canggih, yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap kepribadian mereka.
William Strauss dan Neil Howe, sejarawan yang menekuni tentang generasi di Amerika, menulis beberapa buku yang berkaitan dengan tipe-tipe generasi. Dua di antara karya mereka adalah Generations: The History of America’s Future, 1584 to 2069 (1991), Millennials Rising: The Next Great Generation (2000). Dua buku ini mencoba menjelaskan tentang tipologi generasi di Amerika. Di antara yang dia teliti adalah Gen-Y dan Gen-Z.
Meskipun cakupan riset mereka adalah Amerika, tapi hasil riset mereka menjadi referensi psikologi perkembangan di dunia berkembang, termasuk Indonesia. Tipologi yang mereka buat pun relatif memiliki kesesuaian dengan kondisi generasi di Indonesia. Tentu saja dengan beberapa pengecualian, seperti lingkup pergaulan dan di mana generasi ini tinggal.
Nah, melihat hal demikian, kita setidaknya tahu, seperti apa tantangan yang dihadapi dua generasi ini? Baik untuk dirinya sendiri maupun keterlibatan emosinya pada kehidupan sosial. Kondisi generasi ini tidak dapat ditampik apalagi dihindari. Menurut Drs H Jamaludin Ahmad, MPsi, seorang Psikolog, generasi seperti ini sedikit banyak sedang mengalami “Problem psikologis dan kedekatan emosi.” Mereka cenderung ingin mandiri, ingin merdeka, ingin bebas dari ikatan-ikatan. Lebih dari itu, karena “kedekatan” pada gadget yang demikian kuat, ikatan emosional dengan keluarga (termasuk orangtua) menjadi renggang.
Oleh karena ketergantungan pada dunia maya, pengetahuan dan standar moralitas dan agama mereka seringkali didasarkan pada pencarian sendiri tanpa pendamping. Bahkan tidak tertarik lagi pada pencarian pengetahuan agama dan moral. Mereka lebih asyik dengan dunianya sendiri. Kelincahan dan kecerdasannya akhirnya kurang diimbangi dengan pengetahuan agama. Pada titik inilah, celah rawan Gen-Y dan Gen-Z. Tidak ingin mengatakan semuanya, tapi sebagian besar mereka menjadi kurang perhatian terhadap agama dan moral. Mereka goyah secara spiritual dan moral, tapi kreatif di bidang-bidang lainnya.
Menghadapai hal demikian memang tidak berarti meninggalkan mereka. Bagaimana pun, mereka ini adalah generasi emas. Generasi yang dengan beragam kreativitasnya akan memberi warna pada masa depan. Oleh karena itu, menurut Ro’fah, PhD, Koordinator Program S2, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, menyatakan bahwa orangtua tidak boleh serta merta melarang generasi ini berinternet-ria. “Yang perlu dilakukan adalah membatasi dengan melakukan perjanjian waktu-waktu untuk berinternet,” tegasnya.
Orangtua mesti mencoba memahami makna dan nilai internet bagi anak. Perlu memahami bahwa ketika anak duduk di depan computer, mereka bukannya tidak melakukan apa-apa atau membuang waktu. Tapi mereka sedang belajar, bermain, mengekplorasi atau memenuhi rasa keingintahuan, melakukan kreativitas atau percobaan, berkomunikasi dan bersosialiasi. Yang perlu dilakukan orangtua adalah mengamati lebih dekat dan membatasi penggunaan internet.
Oleh karena itu, ditambahkan oleh Jamaludin Ahmad, model komunikasi orangtua dengan anak mesti diubah. Frekuensi komunikasi perlu ditingkatkan, orangtua mesti “Selalu mendekatkan diri dengan bersedia mendengarkan anak,” tegas Jamaluddin. Ini sangat penting karena di samping boleh jadi banyak sekali pikiran anak yang tidak tersalur ke orangtua, tapi juga seringnya komunikasi akan menambah kedekatan emosi antara anak dan orangtua.
Selain itu, menurut Aiman Hilmi Asadudin, Ketua Unit Kerohanian Islam Al-Uswah SMAN 1, Yogyakarta, anak harus “diberi tanggungjawab.” Remaja perlu sering dilatih bertanggungjawab. Mereka diberi kepercayaan untuk melakukan sesuatu hal. Dengan cara ini akan berkembang sensor motorik dan sosialnya. Ditambahkan oleh Hj Evi Sofia Inayati, bendahara umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, bahwa remaja perlu “Dilibatkan dalam berbagai aktivitas.”
Menjaga dan merawat Gen-Y dan Gen-Z memang menyimpan tantangan dan dilema. Akan tetapi, dengan keterlibatan orangtua yang lebih dalam akan memberi pertimbangan kepada generasi ini untuk tidak lupa pada agama dan moral. Dan melibatkan mereka dalam banyak kegiatan adalah salah satu cara agar mereka lebih selektif dalam penggunaan internet. Apalagi dengan memberikan tanggungjawab dan kepercayaan, mereka akan cenderung memanfaatkan internet hanya untuk hal-hal yang positif dan bermanfaat. Insya Allah.• [bahan: nisa, thari, gsh; tulisan: ba]