“Mereka itu harus kita rangkul. Kalau dipukul mereka akan semakin tumpul.”
Itulah kata kunci yang dijadikan pegangan seorang Ibu Guru yang nama dan sekolahnya minta dirahasiakan. Yang jelas, sekolah itu merupakan sekolah swasta kecil dan terkenal penuh masalah.
Kata merangkul, yang diucapkan oleh Ibu guru ini kadang diajukan dalam arti yang sesungguhnya. Ia sadar betul beban hidup pelajar yang masih remaja yang menjadi muridnya itu sering demikian beratnya.
Sering ia menjumpai murid bermasalah dengan temannya, bahkan dengan gurunya, murid itu meledak-ledak nyaris tidak terkendali. Setiap kali menangani murid seperti ini, bu guru ini merangkul yang bersangkutan lalu bertanya dengan nada berbisik. Disuruhnya bercerita tentang masalah yang ada. Murid pun akan luluh, menangis dan bercerita tentang apa yang menjadi beban hidupnya.
Maklum sekolah swasta di bilangan kota ini mirip bengkel. Dari jumlah murid di dalam kelas yang dia asuh, tiga perempat murid tidak memiliki orangtua utuh. Seperempat sisanya, meski tercatat masih mempunyai orangtua utuh namun mayoritasnya jauh dari kategori sakinah.
Dengan data seperti itu, terbayang sudah betapa rumit dan kompleksnya beban psikologis para murid yang menapak usia remaja itu. Mereka hampir selalu gaduh di kelas. Ribut dengan sesama murid atau dengan guru telah menjadi keseharian. Kalau ada guru yang kurang pas dalam bersikap atau berkata kasar terhadap murid yang hidupnya penuh masalah seperti ini, hampir dipastikan sang murid akan melawan, menantang guru berkelai. Cara menantangnya juga dengan kata-kata yang sangat kasar.
”Saya harus cepat bertindak sebagai pemadam kebakaran kalau sudah begitu,” tuturnya.
Sebagai wali kelas dan sekaligus guru bahasa dan sastra. Ibu guru ini selalu mengarahkan muridnya agar mau menulis. Menulis untuk mencurahkan perasaannya. Usaha itu diakui lumayan berhasil.
Tidak hanya di kota, di desa para remaja juga mendapat problem sejenis. Banyak remaja di desa-desa yang saat ini juga lebih asyik dengan gadgetnya (HP) canggihnya. Banyak dari mereka yang terasing dari dunia nyata dan asyik dalam dunia maya dengan segala problematikanya.
Menurut budayawan senior Iman Budhi Santosa, problem remaja yang sebenarnya dan yang paling berat adalah problem mencari dan menemukan diri mereka sediri.
Dalam upaya mencari dan menemukan diri itulah seringkali mereka melakukan semacam pemberontakan-pemberontakan. Kegalauan khas remaja ini seperti sebenarnya bersifat umum, juga dialami oleh para santri yang tinggal di sebuah pesantren. Apabila upaya mereka itu mendapat penyaluran yang tidak tepat maka mereka akan tersesat.
Mengingat zaman sekarang dunia menyajikan pilihan yang tidak terbatas, prosentase ketersesatan itu dapat dikatakan meningkat daripada ketika zaman orangtua masih remaja. Kenyataan ini kadang tidak disadari oleh sebagian orangtua era sekarang.
Tuntutan untuk menerima perbedaan tantangan di tiap zaman juga dikemukakan oleh Muhammad Rashid Kurniawan, Ketua IPM SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta. Menurutnya apa yang dahulu dianggap baik dan disenangi oleh para remaja (zaman itu) ada yang sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan di zaman sekarang.
Oleh karena itu sebagai remaja masa sekarang, yang menjadi ketua IPM di sekolahnya Rashid Kurniawan mecoba mengemas semua hal baik dengan kemasan era sekarang. Misalnya pengajian. Pengajian dilakukan oleh IPM SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta tidak hanya sebatas verbal atau ceramah. Melainkan juga menggunakan media digital seperti pemutaran video. Juga dikemas dalam aplikasi game yang mengandung materi-materi pendidikan.
Apa yang dilakukan Rashid Kurniawan dengan IPM di sekolahnya juga dilakukan oleh Muhammad Yusuf Ridwan dengan Rohis Al-Khawarizmi SMAN 3 Yogyakarta.
Dengan memanfaatkan media online dan media sosial yang sudah menjadi kebutuhan remaja sekarang. Rohis Al-Khawarizmi berhasil mewarnai kehidupan siswa SMAN 3 Yogyakarta yang siswa sangat heterogen baik secara sosial maupun agama.
Walau begitu, para remaja yang baik, cerdas, dan relatif sudah tahu jalan yang benar tersebut secara tidak langsung juga sedikit mengeluhkan sikap orang tua terhadap mereka. Banyak orangtua masa sekarang yang membatasi aktivitas anaknya.
Anak boleh aktif di IPM, Rohis, atau organisasi yang lain dengan sejumlah syarat. Misalnya tidak boleh nilai akademiknya turun, kalau nilai turun harus keluar dari organisasi siswa.
Masih banyak orang tua yang menganggap nilai akademik sebagai segala-galanya.Tuntutan-tuntutan seperti ini kadang banyak mengganggu psikologi remaja. Membuat mereka semakin tertekan dan semakin galau dalam menapak kehidupan.
Padahal menurut Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Rita Pranawati, MA, kehidupan sosial anak dan tumbuh kembang anak remaja itu lebih kompleks dari urusan akademik. Orangtua harus memahami dunia remaja dengan segala dinamikanya.
”Anak lahir dan tumbuh pada zamannya masing-masing. Sementara orangtua lahir dan tumbuh pada era yang berbeda dengan anaknya. Sudah seharusnya orangtua memahami kondisi anak zaman sekarang dengan segala tantangannya.“ Pesan Rita Pranawati, MA kepada pembaca Suara Muhammadiyah.
Riset KPAI menemukan bahwa sebelum menikah hanya 27,9% ayah dan 36,9% ibu yang mencari informasi tentang pengasuhan. Setelah menikah, sebanyak 38,9% ayah dan 56,2% ibu yang mencari informasi tentang pangasuhan.
Artinya ada banyak anak yang diasuh tanpa pengetahuan yang cukup. Selain itu, sebanyak 66,4% Ayah dan 71% ibu Ayah menyatakan menerapkan pola pengasuhan yang sama dengan pola pengasuhan yang dulu dilakukan oleh kedua orangtuanya.
Memang, pola pengasuhan orang tua dulu tidak selalu buruk. Tetapi pola asuh itu seharusnya disesuaikan dengan kondisi anak dan tantangannya.
“Jadi orangtua harus memperbaiki pengetahuannya,“ tegas Rita
Selain itu, aktivis PP NA ini juga menyarankan kepada orangtua untuk memperbaiki pola komunikasi orangtua dengan anak.
Pola komunikasi sebagian besar orang tua masih mengandalkan pertanyaan tertutup yang berdampak anak tidak terbiasa bercerita tentang apa yang dialaminya dan jika ada masalah anak akan mendapat masukan dari orangtuanya. Kalau begini anak akan cenderung lebih banyak mendapat sumber informasi dari para temannya, yang akurasinya dipertanyakan.
Rita juga mengingatkan perlunya mendengarkan pendapat anak. Menurutnya itu adalah salah satu prinsip perlindungan anak yang harus diterapkan pada pengasuhan remaja. Dengan mendengarkan pendapat anak, orangtua akan bisa memahami bagaimana kebiasaan dan relasi remaja dengan teman-temannya. Dengan begitu, orangtua bisa memberi masukan kepada remaja. Begitu juga dunia digital anak, orangtua bisa menyelami sambil melakukan pengawasan.
Satu hal lain yang patut dicamkan orangtua adalah tetap tenang dalam merespon kondisi anak. Apapun kondisi anak itu. Sebagian besar respon orangtua kepada anak khususnya ketika anak melakukan kesalahan adalah marah.
“Ketika anak dimarahi, menjadi pelajaran yang anak ambil adalah dia tidak akan menceritakan kembali apa yang dialaminya kepada orangtua,“ tegas Rita.
Ketika anak tidak mau bercerita masalah yang dihadapinya kepada orangtua, maka orangtua akan semakin sulit mengerti apalagi memahami problem yang dihadapi anak. Anak juga akan semakin sulit mendapat petunjuk yang tepat.
Sementara itu Dra Dwi Susilowati, memiliki catatan tersendiri dalam melihat dinamika kepangasuhan remaja era sekarang. Dalam pengamatannya, Koordinator Bimbingan Konseling SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta ini menemukan banyak orangtua yang merasa memiliki uang lalu menyerahkan si anak kepada sekolah yang terkenal bagus. Dengan begitu dia sudah merasa berhak untuk meninggalkan kewajiban membina si anak atau si remaja tadi.
Banyak orangtua yang lupa kalau sekolah itu sendiri hanya bersifat sebagai pelengkap dan penyempurna pendidikan yang seharusnya dilakukan di dalam keluarga.
“Mungkin sebenarnya orangtua itu tahu akan hal itu. Namun, karena tuntutan serta situasi dan kondisi tertentu sehingga tidak mampu mendidik anak dengan maksimal. Misalnya karena harus mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga.” Tuturnya mencoba memaklumi perubahan tuntutan kebutuhan yang memang semakin berbeda di tiap zaman.
Walau zaman selalu berubah, remaja tetaplah sama. Mereka harus terus dipeluk supaya tidak lapuk dan diarahkan secara cerdas dan bijak agar tidak tersesat.• [tof, ies, njar, nis, thar]