Perbedaan generasi antara orangtua dan anak sering menimbulkan gap antara keduanya. Akibatnnya, hubungan antar orangtua dengan anak sering renggang. Terlebih pada era “Kampung Global” ini perbedaan akan semakin renggang jika orangtua tak bisa memilih pola asuh yang tepat.
Untuk membicarakan pola asuh yang tepat ini, Lutfi Effendi dari Suara Muhammadiyah mewawancarai Guru Besar Psikologi Sosial dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta Prof Dr Faturochman, MA. Berikut ini gambaran pola asuh yang disarankan oleh mantan Dekan Fakultas Psikologi UGM ini:
Saat ini muncul pembedaan generasi, ada generasi X, Y dan Z serta yang lainnya. Orangtua saat ini umumnya ada di generasi X, sedang generasi sekarang ada di generasi Y atau Z. Sebetulnya bagaimana kehidupan generasi muda atau remaja pada saat ini?
Jadi kalau generasi dulu itu hidup dalam 3 lingkungan, lingkungan keluarga, lingkungan tempat tinggal, lingkungan sekolah atau kampus, nah sekarang ini lingkungan sudah berubah total. Pertama, lebih luas, karena lingkungan itu tidak terbatas lingkungan tempat tinggal dan sekolah. Ada mall, ada coffee shop dan seterusnya. Sekolah juga makin luas, tidak hanya sekolah sendiri tetapi sekolah orang lain. Yang terakhir yang menjebol lingkungan itu adalah apa yang dinamakan “Kampung Global”, karena adanya internet.
Adanya internet itu, menyebabkan orang bisa bergaul dengan semua orang di seluruh pelosok dunia. Jadi kehidupan remaja sekarang tidak bisa dilihat secara mikro (kecil) atau messo (pertengahan), tetapi juga eksternal (meluas) dan makro (besar). Dan itu bentuknya sistem.
Jadi kalau anak suka yang messo saja dari sekolah hingga mall yang dibeli itu kan makanan yang sistemik. Sehingga anak-anak sekarang suka burger atau kopi dengan branded (merk) internasional. Itukan sistemik.
Yang makro lebih lagi, anak-anak sekarang lebih tahu apa yang terjadi di dunia luar yang dia minati. Yang tidak diminati, tidak. Itu yang meluas. Di sisi lain terjadi penyempitan, karena memang kapasitas orang memang terbatas. Dalam hal remaja, maka konsentrasi dia kan tidak pada ketiga lingkungan itu. Akibatnya, lingkungan keluarga, tempat tinggal, dan sekolah sedikit banyak ditinggalkan. Nah penyempitannya di sini. Satu meluas, satu menyempit.
Ketika melihat remaja yang demikian, apa umumnya reaksi orangtua?
Oleh karena itu jangan heran jika orangtua mengomplin, orangtua mengeluh. Ini karena fokus remaja itu sudah meluas. Fokus remaja kan tidak hanya keluarga, lingkungan dan sekolah atau kampus. Dulu kan ada karang taruna, remaja masjid . pemuda kampung dan yang sejenis. Sekarang tidak hanya itu, tetapi mengglobal. Sehingga perhatian di keluarga, perhatian di lingkungan tempat tinggal, perhatian di sekolah menjadi berkurang atau menyempit.
Jadi jangan heran jika ada anak yang tidak suka sekolah tetapi suka game online. Itu kan meluas di IT tetapi menyempit di sekolah. Itu dinamika yang sebagian orangtua rasakan, nampaknya menjadi semacam problem.
Apa akibat dari kondisi remaja yang demikian?
Akibatnya ada dua hal. Pertama yang positip, anak sekarang eksposernya (upaya menunjukkan kemampuannya) tidak seperti anak-anak dulu. Kalau dulu pertandingan antar kampung dan paling ke kecamatan. Anak-anak sekarang kompetisi tingkat internasional.
Jadi jangan dilihat negatifnya saja, dua anak Salatiga yang menang lomba penangkal petir mesin GE di pesawat jet itu salah satu hal yang positip. Karena mereka mengikuti program dunia dengan berselancar di dunia maya. Mereka mengalahkan anak-anak Amerika dan Swedia yang nomer dua dan tiga. Itu sisi positipnya dan masih banyak sisi positip lainnya.
Di sisi lain, sisi negatifnya juga banyak. Sekarang tayangan kekerasan, tayangan yang terkait dengan seks, pergaulan bebas, teroris terbuka juga. Kalau bisa mengikuti yang positip dan meninggalkan yang negatif itu lebih baik. Karena orang tidak bisa menghindar dari dunia maya ini, dunia internet ini.
Yang jadi masalah itu, orangtuanya yang jadul yang tidak bisa mengikuti perkembangan saat ini. Tetapi dari dulu sampai sekarang itu yang namanya gap (jurang) antara orangtua dengan anak itu akan selalu ada.
Gap antar generasi akan selalu ada. Bapak saya dengan saya juga ada, wong bapak saya bukan dari universitas tetapi dari pondok dan SD. Tetapi mari kita jembatani, jangan hanya dilihat masalahnya saja. Agar masalahnya dapat diselesaikan atau diminimalisir.
Apa jembatannya?
Pertama, orangtua harus ada kedekatan. Yang kedua, dukungan. Dan ketiga, mutualitas atau timbal balik.
Bagaimana mengupayakan kedekatan orangtua dengan anak?
Caranya, orangtua itu kan sudah jelas takdirnya itu darahnya mengalir pada diri anak. Atau bahasanya sekarang itu entitas. Mulai darahnya, DNA nya itu mengalir dari orangtua dan itu ada pada anak. Dari ibu ditambah dengan pelukan di dalam kandungan, di luar kandungan ditambah lagi dengan menyusui selama dua tahun. Maka orangtua harus memanfaatkan hubungan ini, anak nggak akan bisa lepas begitu saja.
Jadi ada memori-memori di dalam kesadaran kita, di luar kesadaran kita dan bahkan masuk ke darah daging , DNA dan sebagainya. Anak tidak akan bisa meninggalkan orangtua. Itu kan sejarah fisiologis kesadaran dan ketidaksadaran kita. Sosial psikologisnya anak itu, orangtua harus dekati anak jangan dimarahi dan jangan ditinggal. Kuncinya itu kedekatan.
Bentuknya apa kedekatan itu?
Ngomong-ngomong saja. Anak pengin pergi ya disapa. Kita beragama ya diajak jamaah. Anaknya nggak mau, sekarang kan ada istilah gapatar, entar-entar. Orangtua harus sabar. Nggak ada mendidik yang gampang.
Lalu yang dukungan?
Harus itu, satu kedekatan. Yang kedua dukungan. Kalau anak pengin IT, jangan ditolak begitu saja. Didukung dulu karena di dalam kehidupan kita yang ketiga ada mutualitas. Maksud saya begini, orangtua mendukung anak itu gratis, anak membutuhkan dan memang orangtua kewajiban untuk memenuhinya. Kalau anak didukung, mesti anak merasa berhutang budi. Malah jadi ketagihan untuk mendapatkan dukungan orangtua.
Yang menjadi masalah, kalau dukungan orangtua itu over dosis. Kalau dukungan kurang, anak akan mencari. Tetapi kalau kurangnya terlalu banyak memang jadi masalah. Maksud saya begini, dukungan yang pas itu diberi tetapi jangan berlebih. Kalau anak minta hp disesuaikan usianya, jangan langsung yang tinggi. Kalau langsung demikian bisa over. Diberi sesuai kebutuhan saja. Harus ada komunikasi antara orangtua dengan anak tentang kebutuhan ini.
Lalu bagaimana dengan yang ketiga mutualitas atau timbal balik?
Orangtua harus berbicara dari hati ke hati. Itulah dukungan. Dekati jangan ditinggal. Yang ketiga tadi, bagaimana orangtua dan anak itu bisa saling menghormati dan memahami dan sebagainya. Ini kita sebut dengan istilah mutualitas. Jadi ada timbali balik.
Maksud saya begini, jadi kalau orangtua dimintai oleh anak, jangan ditolak tetapi juga jangan diterima dulu. Ditanya, butuhnya untuk apa? Kemudian setelah setuju dengan apa yang dibeli, ditanya lagi jika ini jadi dibeli lalu diapakan? Apakah jika disapa orangtua akan menyapa orangtua atau akan lebih asyik dengan barangmu itu
Kan sering ketika anak sedang asyik dengan barangnya itu, tidak menjawab ketika disapa orangtua. Malah kalau menjawab berkata entar. Sehingga ada joke, saat ini anak-anak ikut gapatar (gerakan berkata entar). Ini karena ketika memberi sesuatu tidak memberi pesan, tentang penggunaan barang itu.
Cobalah komunikasi yang baik tentang barang tersebut. Misalnya, minta diajari tentang penggunaan alat tersebut meski orangtua sudah bisa menggunakannya. Jadi kalau menyelidik nggak kentara. Di samping itu, komunikasi demikian akan mengakrabkan. Dan terasa ada timbal balik. Kalau orangtua melepaskan itu semua, akan lepas. Hasil penelitian saya ketiga hal ini menunjukkan hal yang penting antara anak dengan orangtua.
Bagaimana pula dengan pola asuh orangtua kepada remaja. Nah secara keseluruhan itu (kedekatan, dukungan dan mutualitas), ini kan pola asuh. Orangtua jangan khawatir kalau anaknya lepas. Kalau khawatir lepas akan lepas betul. Takdirnya itu tidak lepas kok, agama Islam tidak mengajarkan lepas. Orangtua dan anak tidak lepas sampai akhirat. Tinggal kita mampu nggak.
Memang caranya berat. Kita harus cerdas, kalau nggak cerdas ya bijaklah.
Kalau dulu orangtua mengajari agama, diajari bagaimana membaca al-Fatihah, bagaimana caranya shalat. Sekarang orangtua mengajarkan agama bisa menyuruh mencarikan sesuatu pengetahuan agama di internet. Misalkan ketika orangtua mau menengok orang sakit, anak diminta mencarikan doanya di internet. Meski sebetulnya orangtua masih ingat tentang doa itu.
Untuk melaksanakan pola asuh yang terdiri kedekatan, dukungan serta mutualitas (timbal balik) kadang orangtua tidak punya waktu karena pekerjaan mereka. Bagaimana dengan hal ini?
Waktu kan bisa kita manage. Rumusnya, waktu itu 24 jam. Kalau kita tidak memanage jelas tidak akan bisa menggunakan waktu dengan baik, termasuk waktu berhubungan antara orangtua dan anak. Orangtua harus mengusahakan ada waktu dengan anak. Kalau orangtua membiarkan, anak akan meninggalkan orangtua, anak akan lepas. Kalau hal ini terjadi, orangtua tersebut yang menyalahi takdir. Karena orangtua diberi kewajiban Allah untuk memelihara anak-anaknya.
Hubungan orangtua dengan anak, tidak akan lepas meski anak sudah menikah. Bahkan ketika orangtua sudah meninggalpun sebetulnya masih ada, anak masih berkewajiban mendoakan orangtuanya. Orangtua harus mengajarinya, kalau tidak mengajarinya ya tidak tahu.
Termasuk bagaimana orangtua mengajar agar anak bisa bekerja. Ketika Shubuh dibangunkan untuk bersama-sama shalat shubuh. Kemudian setelah shalat jangan tidur lagi, tetapi bekerja. Bisa diminta untuk bersih-bersih lantai halaman atau piring. Tetapi juga bisa diajak bersama-sama untuk membersihkan motor atau mobil. Intinya membiasakan anak untuk bekerja.• (eff)