Suatu kali seorang tokoh berat Muhammadiyah menyatakan pada saya, bahwa dia sudah tidak punya anak lagi. Ternyata yang dia maksudkan adalah sekalipun ia punya 5 orang anak dan semuanya jadi sarjana, tetapi tidak satu pun yang kenal Muhammadiyah. Apalagi mau menjadi aktivis Muhammadiyah.
Padahal sang tokoh Muhammadiyah itu siang malam seolah kekurangan waktu mengurusi dan memimpin Muhammadiyah di daerah dan wilayahnya. Ini mungkin agak mirip dengan sikap sebagian kiai pimpinan pesantren yang siang malam memikirkan pesantrennya tetapi tidak ada satu anak pun yang dapat meneruskan pesantrennya karena tidak punya ilmu untuk itu.
Tidak satupun anak sang kiai yang mampu membaca kitab, sementara pengetahuan bahasa Arabnya nol dan tidak mampu membaca Al-Qur’an dengan benar. Ini karena tidak satupun anak kiai tersebut yang belajar di pesantrennya maupun belajar di pesantren lain. Sang kiai menyekolahkan semua anaknya di sekolah umum.
Ini mirip sebagian tokoh dan kader Muhammadiyah kita. Mereka memilih menyekolahkan anak-anaknya di sekolah non Muhammadiyah. Malah acapkali kita saksikan sebagian tokoh dan kader Muhammadiyah baru menyekolahkan anaknya di sekolah Muhammadiyah setelah ditolak ke sana ke mari. Jadi sekolah Muhammadiyah hanya tempat pelipur lara sehingga sikap seperti ini sebenarnya merupakan peremehan terhadap diri sendiri.
Seringkali kita lihat fenomena seperti ini. Apakah mereka yakin dengan apa yang diperjuangkan. Apakah mereka cinta dengan apa yang diperjuangkan. Jangan-jangan sang kiai dan sang tokoh Muhammadiyah itu sesungguhnya tidak yakin dengan apa yang mereka perjuangkan. Tidak yakin atau kurang yakin dengan misi agung yang ada di pundaknya.
Ini mungkin juga karena sebagian pimpinan Muhammadiyah menderita penyakit rendah diri atau inferiority complex. Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk bersikap rendah diri (kompleks inferioritas) maupun bersikap jumawa dan percaya diri berlebihan (kompleks superioritas). Sehingga tidak mau menyekolahkan anaknya di sekolah Muhammadiyah dan tidak mampu melahirkan kader-kader penerus.
Padahal ada ratusan ribu murid dan mahasiswa yang tidak tertampung di sekolah dan universitas negeri, ditampung dan dididik di ribuan SD, SMP dan SLTA serta ratusan perguruan tinggi Muhammadiyah. Ini harusnya tidak membuat kita rendah diri untuk menyekolahkan dan mengkader generasi penerus pada pendidikan Muhammadiyah.
Bukan hanya itu, setiap hari ada ribuan anggota masyarakat yang sakit yang datang ke rumah sakit atau klinik Muhammadiyah yang jumlahnya ratusan dan mendapat layanan kesehatan yang cukup memadai. Dan ada ribuan anak yatim-piatu yang diasuh di ratusan panti asuh yatim Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah Ini mestinya menambah keyakinan agungnya perjuangan dan semangat untuk melahirkan kader-kader baru Muhammadiyah.• (e)