UU Zakat dan Reposisi LAZISMU
Oleh: Hilman Latief
Lembaga amil zakat nasional saat ini dihadapkan pada tantangan yang lebih berat seiring dengan perkembangan regulasi perzakatan di Indonesia. Pasca revisi terhadap UU No 38 Tahun 1999, dan lahirnya UU No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama telah mengeluarkan beberapa kebijakan yang mengatur keberadaan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) maupun lembaga amil zakat (LAZ). Dari serentetan peraturan yang telah dikeluarkan pemerintah, salah satu yang erat bertali temali dengan keberadaan lembaga amil zakat, termasuk LAZISMU, adalah Keputusan Menteri Agama Nomor 333 tentang Pedoman Pemberian Izin Pembentukan Lembaga Amil Zakat.
Sejak disahkannya UUD No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, memang masih terjadi tarik menarik antara BAZNAS, sebagai lembaga amil zakat yang didirikan oleh pemerintah dan LAZ lembaga amil yang didirikan oleh masyarakat sipil, baik terkait masalah otoritas kelembagaan, pemberian sanksi, perijinan pendirian lembaga, dll. Keputusan Menteri Agama Nomor 333 lebih tegas menyatakan tentang persyaratan pendirian LAZ. Untuk dapat dikategorikan sebagai LAZNAS, maka sebuah lembaga amil sekurang-kurangnya harus dapat mengumpulkan Rp 50 milyar/tahun. Sementara untuk LAZ provinsi Rp 20 milyar, dan Rp 3 milyar untuk LAZ kota/kabupaten. Regulasi tentang LAZ tersebut akan mulai diberlakukan tahun ini, tepatnya 26 November 2016.
Reposisi Kelembagaan
Sebagai lembaga yang secara resmi mewakili ormas Islam Muhammadiyah dalam pengelolaan dana-dana zakat, infak dan sedekah, LAZISMU perlu melakukan reposisi dengan melakukan langkah-langkah strategis untuk menyesuaikan dengan perkembangan regulasi zakat di Indonesia. LAZISMU sendiri berdiri dan dikukuhkan sebagai LAZ Nasional sejak tahun 2002. Lembaga ini telah menjadi ikon zakat Muhammadiyah. Sejak berdirinya LAZISMU, beberapa lembaga amil zakat yang dikelola warga Muhammadiyah baik yang bernaung di bawah Pimpinan Daerah maupun Pimpinan Cabang mulai ‘hijrah’ dan menggunakan nama LAZISMU sebagai ‘brand’ baru mereka.
14 tahun sudah LAZISMU beroperasi dan menjadi mitra banyak kalangan, mulai dari individu (donatur dan penerima manfaat), lembaga pemerintah, lembaga swasta (perusahaan), organisasi masyarakat sipil, dan juga jejaring yang terdapat dalam organisasi Muhammadiyah sendiri sebagai organisasi induknya. Banyak hal sudah dilakukan LAZISMU bersama mitranya, mulai dari menjalankan program pengentasan kemiskinan, membantu korban bencana, pemberdayaan ekonomi, mendukung kegiatan dakwah, dan sebagainya.
Meski demikian, tantangan kelembagaan juga harus dihadapi oleh LAZISMU. Toh tidak semua warga Muhammadiyah menyalurkan dana zakat, infak dan sedekah mereka kepada LAZISMU, dan bahkan tidak sedikit yang melihat LAZISMU bukan sebagai representasi persyarikatan Muhammadiyah yang seharusnya mendapatkan dukungan sepenuhnya. Selain itu, meski LAZISMU saat ini telah memiliki lebih dari 170 jejaring di berbagai daerah, baik di tingkat provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan, bentuk strukturnya belum terlihat jelas.
Selama hampir satu dasawarsa setengah, LAZISMU menggunakan konsep ‘jejaring’. Artinya, LAZISMU yang didirikan Pimpinan Pusat Muhammadiyah berperan sebagai ‘payung’ bagi LAZISMU di daerah. Bentuk jejaring tersebut memiliki ciri sebagai berikut:
Hubungan antar LAZISMU ‘Pusat’ dengan jejaringnya sangat terbuka, tidak terstruktur dan lebih berfungsi koordinatif. Pasalnya Lazismu di daerah didirikan oleh Pimpinan Muhammadiyah Daerah ataupun Cabang. Sehingga pertanggung jawaban mereka adalah kepada pimpinan yang mendirikannya, bukan kepada LAZISMU ‘pusat’.
Karena belum adanya kaidah kelembagaan yang memadai, keberadaan LAZISMU di daerah bersifat sporadis, dan sangat bergantung kepada kreativitas dan visi pimpinan di daerah. Terdapat pimpinan daerah dan cabang yang mendirikan LAZISMU secara formal, dan (lebih) banyak yang tidak.
Pertanyaannya kemudian adalah sudah cukupkah model kelembagaan dalam bentuk jejaring itu untuk masa depan LAZISMU, khususnya dalam merespons UU tentang Pengelolaan Zakat? Model seperti apakah yang cukup ideal untuk LAZISMU di masa yang akan datang? Dalam konteks seperti itulah reposisi LAZISMU menjadi penting. Hemat penulis, perlu reposisi kelembagaan dalam tubuh LAZISMU, yang meliputi beberapa aspek berikut, yaitu:
Struktur kelembagaan. Saat ini perlu modifikasi kelembagaan LAZISMU agar dapat menyesuaikan dengan perkembangan regulasi yang ada saat ini. Pola jejaring yang ada saat ini sudah seharusnya “dipatenkan”. Setidaknya, secara formal bisa ditunjukkan kepada publik dan juga pihak yang berwenang bahwa LAZISMU di daerah memiliki relasi yang utuh dengan LAZISMU Pimpinan Pusat sebagai pemegang ijin kelembagaan dari pemerintah.
Perlu kebijakan kelembagaan yang sistematis dan “seragam” dari Pimpinan Muhammadiyah di tingkat daerah mengenai keberadaan LAZISMU. Mulai tahun 2016 sampai 2020, diharapkan bahwa Pimpinan Daerah dan Cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia mengkonsolidasikan keberadaan LAZISMU dengan memberikan dukungan kelembagaan (memfasilitasi pendirian, memberikan kantor sementara, dan dukungan berupa legalitas formal secara internal).
Standarisasi kapasitas dan tata kelola LAZISMU di seluruh tingkatan adalah agenda yang mendesak dilakukan dalam reposisi kelembagaan LAZISMU, mulai dari standar pelaporan, standar akuntansi zakat, SOP, dan tentu saja pelaporan terintegrasi. Sistem pelaporan yang terintegrasi menjadi prasyarat penting agar LAZISMU tetap menegaskan dirinya sebagai LAZ nasional di Indonesia, sehingga grafik perkembangannya lebih terukur.
Meningkatkan hubungan antara LAZISMU dengan amal-amal usaha Muhammadiyah yang memiliki potensi zakat cukup besar. Setidaknya, LAZISMU dapat dijadikan mitra strategis oleh amal usaha Muhammadiyah seperti rumah sakit maupun lembaga pendidikan tinggi dalam menyalurkan sebagian dana sosial yang mereka miliki.
Dengan beberapa hal di atas, setidaknya otonomi LAZISMU di daerah tetap terjaga, baik dalam melakukan kegiatan penghimpunan dana (raising fund) maupun penyaluran dana dan perumusan program, namun pada saat yang sama sinergi dalam tubuh LAZISMU data terjaga.
Tentu saja, untuk mencapai hal itu perlu kesadaran bersama di kalangan pegiat LAZISMU di seluruh tingkatan bahwa LAZISMU adalah sebuah gerakan bersama warga Muhammadiyah dalam mendorong terciptanya masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan. Lembaga apapun dan di manapun yang menggunakan bendera LAZISMU harus memiliki pemahaman yang sama bahwa mereka terintegrasi satu sama lain, dan memiliki standar yang sama secara teknis dan organisatoris, tanpa harus kehilangan jati dirinya sebagai sebuah inisiatif lokal yang kredibel dan akuntabel. Bila hal itu semua dimiliki oleh pegiat LAZISMU, maka kita masih dapat optimis mengklaim dan mendaftarkan ulang perijinannya sebagai LAZ nasional di tahun ini dan mendapatkan kepercayaan yang lebih besar dari masyarakat di masa yang akan datang.•
_____________________
Dr Hilman Latief, Ketua Dewan Pengurus LAZISMU Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2015-2020.