Assalamu’alaikum wr wb.
Ibu Emmy yth., saya (32 tahun) ibu dari 2 orang putri yang cantik. Yang pertama sudah masuk usia remaja (12 tahun) dan yang kedua masih duduk di kelas 2 SD. Akhir-akhir ini saya sering merasa galau dan khawatir atas maraknya kejadian kekerasan terutama kekerasan seksual pada anak. Agar saya bisa melakukan pencegahan supaya anak saya terhindar menjadi korban kekerasan seksual, apa yang harus saya lakukan? Mengingat pelaku, biasanya adalah orang dekat. Apa saya harus bicara pada mereka tentang hal tersebut? Kapan saya harus mulai membicarakannya dan bagaimana caranya? Maaf bila pertanyaan saya banyak. Atas jawabannya saya ucapkan jazakumullah.
Bu Santi, di Bantul
Wa’alaikumsalam wr wb.
Bu Santi yth., saya salut pada Anda yang sudah mempunyai kesadaran dan kepedulian tentang masalah kekerasan seksual pada anak. Karena perlu dipahami bahwa kekerasan seksual bisa menimpa pada anak laki-laki atau perempuan dari golongan ekonomi, budaya, dan agama apapun. Benar kata Ibu, bahwa banyak kasus kekerasan seksual justru dilakukan oleh orang dekat, seperti orang yang dipekerjakan untuk menjaga anak.
Banyak pakar meyakini bahwa anak yang pernah diajak bicara tentang kekerasan seksual oleh orangtuanya akan berpeluang lebih besar untuk siap mencegah hal ini terjadi kepada dirinya. Oleh karena itu cobalah ibu dan suami meluangkan waktu untuk membicarakannya dengan anak-anak.
Kapan harus mulai membicarakannya? Memang, tidak ada orangtua yang merasa siap membicarakan masalah ini dengan anak. Tapi, semakin dini dibicarakan dengan anak, semakin besar peluang anak terhindar dari kekejian ini. Bahkan, Ibu bisa mulai mengajari sejak usia batita. Tentu, informasi yang diberikan disesuaikan umur anak dan tingkat pemahaman intelektual dan emosionalnya. Dengan bahasa yang sederhana. Tak perlu detail untuk anak usia di bawah 7 tahun. Sebaliknya, semakin matang usia anak, informasi bisa diberikan secara lebih luas dan rinci.
Lakukanlah pembicaraan secara positif. Lakukan pula diskusi yang konstruktif. Jangan menakut-nakuti atau mengancamnya karena bisa menimbulkan sikap paranoid. Selanjutnya pastikan obrolan bisa mencapai 2 sasaran. Pertama, mampu membekali anak informasi tentang perilaku yang dikategorikan sebagai kekerasan seksual. Kedua, mampu memberikan anak panduan spesifik mengenai cara-cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi situasi yang berpotensi menjerumuskannya ke dalam kekerasan seksual.
Pada waktu ibu mengobrol dengan anak di bawah 7 tahun, ibu bisa menggunakan panduan berikut :
Ajari anak bagian-bagian tubuh yang harus dijaga dan tidak boleh dibiarkan dijamah sembarang orang. Untuk laki-laki, bagian penis, buah zakar dan anus, sedang untuk perempuan adalah dada, vagina dan anus.
Biasakan menyebut kelamin anak dengan nama yang benar dan bukan istilah pengganti. Agar ibu dan anak-anak terhindar dari rasa sungkan ketika harus membicarakan masalah seksualitas. Juga bisa menghilangkan kerancuan, seperti saat anak bicara tentang “burung”. Bisa saja ibu mengira burung beneran, padahal ia sedang menjadi korban kekerasan seksual.
Beritahu dan jelaskan secara spesifik siapa saja orang dewasa yang boleh menyentuh bagian pribadinya. Apakah ibu dan mbak pengasuh? Ayah atau nenek? Yang diijinkan membersihkan dan mengganti bajunya. Tanpa penjelasan ini, anak akan bingung dan rancu.
Kekerasan seksual pada anak meliputi perilaku oral. Maka jangan ragu mengajari anak untuk menjaga kesehatan dan keamanan enam lubang terbuka yaitu mata, lubang telinga, hidung, mulut, penis atau vagina dan anus.
Ajari pula anak untuk membedakan beragam sentuhan. Seperti sentuhan baik yaitu perilaku yang dilakukan orang-orang yang menyayangi misalnya membelai. Sentuhan jahat seperti mencubit. Sentuhan penolong seperti yang dilakukan dokter, dan sentuhan seksual yaitu sentuhan yang dilakukan seseorang di bagian pribadi anak atau anak yang diminta menyentuh bagian pribadi orang tersebut.
Semoga hal-hal di atas dapat membantu ibu dan bapak dalam memberi penjelasan pada putri ibu. Amin.•
***) Emmy Wahyuni, Spsi., seorang pakar psikologi.