Yogyakarta- Jam’iyyah Nahdlatul Ulama dan Persyarikatan Muhammadiyah telah didaulat sebagai dua sayap kekuatan umat Islam di Nusantara. Ajaran Islam rahmatan lil alamin yang diusung oleh kedua organisasi ini telah mewarnai pelosok negeri semenjak zaman sebelum bangsa Indonesia merdeka, dan berlanjut hingga hari ini. Kedua organisasi ini melakukan dakwah dengan bijak, mengajak dengan hikmah dan mau’idlah hasanah.
“Sinergi antara NU dan Muhammadiyah sebenarnya sudah dimulai oleh para pendiri. KH. Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari itu sepantaran. Kemudian keduanya belajar di Hijaz bersama-sama, kepada guru yang sama, yaitu Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabaui, ulama dari Padang,” demikian dikatakan KH. Mustafa Bisri atau kerap disapa Gus Mus dalam acara Seminar Nasional di Aula Prof. KH. Abdul Kahar Muzakkir, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, pada Sabtu (6/2).
Menurut pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang itu, setidaknya ada tiga modal utama sebagai alasan mengapa sinergisitas antara NU dan Muhammadiyah merupakan suatu kemutlakan. Modal pertama, baik NU maupun Muhammadiyah memiliki tradisi pendalaman ilmu-ilmu keislaman yang otentik. “Baik Kyai Hasyim Asya’ri dan KH Ahmad Dahlan memilki jalur sanad keilmuan yang sama. Memiliki ilmu yang menyamudera. Adanya tradisi keilmuan seperti ini berimbas pada perilaku keagamaan di kalangan NU dan Muhammadiyah yang tidak mudah kagetan. Tahu bahwasanya perbedaan adalah suatu fitrah,” ujar Kyai sekaligus sastrawan yang dilahirkan di Rembang, pada 10 Agustus 1944 itu.
Modal kedua adalah bahwa keduanya memiliki gelora hubb al-watan. Tokoh-tokoh dari dua ormas ini banyak yang menjadi pemimpin dan terlibat semenjak awal perjuangan kemerdekaan. Dikatakan Gus Mus, “Kedua organisasi ini sama-sama mencintai Indonesia. Tanah Indonesia menjadi rumah bersama bagi NU dan Muhammadiyah. Seorang pengamat pernah mengatakan kalau saja tidak ada NU dan Muhammadiyah maka tidak ada NKRI”.
Adapun modal ketiga yaitu kedua organisasi ini memiliki ruh al-dakwah yang sama. Menurut mantan Rais ‘Am PBNU ini, NU dan Muhammadiyah berdakwah dengan semangat mengajak, bukan menghakimi. Dakwah dengan cara-cara bijaksana seperti ini membuat penduduk Nusantara tempo dulu mau menerima ajaran Islam secara lapang dan damai.
Di bagian lain, Gus Mus sempat mengingatkan peserta seminar tentang event serupa yang pernah digelar di UII pada tahun 1990. Ketika itu yang menjadi pembicara adalah KH. Abdurrahman Wahid sebagai ketua PBNU dan KH. Ahmad Azhar Basyir, ketum PP Muhammadiyah. Menurut Gus Mus, event yang mendekatkan antara NU dan Muhammadiyah seperti ini harus lebih sering digelar.
Seminar yang mengangkat tema “Sinergi NU dan Muhammadiyah Membangun Peradaban Rahmatan Lil Alamin” kali ini menghadirkan dua pembicara utama, yaitu KH. Mustafa Bisri dari NU dan Prof. Dr. Syafiq A. Mughni selaku ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Turut hadir dalam acara yang mendapat antusiasme yang sangat luar biasa itu, rektor Universitas Islam Indonesia Dr. Ir. Harsoyo, M.Sc., Dekan Fakultas Ilmu Agama Islam UII Drs. Tamyiz, MA, Ph.D., dan para tamu undangan lainnya. (M. Ridha Basri)