Ilmu falak sebagai sains eksak klasik memiliki peran signifikan dalam kehidupan manusia, baik di era modern maupun di era klasik. Oleh karena perannya yang signifikan ini menjadikan disiplin ilmu ini memiliki ragam istilah atau terminologi.
Terminologi ilmu falak sendiri senantiasa mengalami pergeseran makna dan perspektif sesuai cara pandang yang berbeda oleh para pengkajinya dari sejak zaman dahulu sampai hari ini. Pergeseran makna dan atau pengertian ini tidak lain disebabkan perbedaan kelengkapan alat-alat observasi yang digunakan, dan tentu juga karena perbedaan tujuan yang ingin dicapai. Beberapa terminologi yang berkembang dan menghiasi sumber-sumber klasik turtas diantaranya adalah: ‘ilm an-nujum, shina’ah an-nujum, shina’ah at-tanjim, ‘ilm at-tanjim, ‘ilm al-ahkam, ‘ilm hai’ah al-‘alam, ‘ilm hai’ah al-aflak, ‘ilm al-aflak wa an-nujum, ‘ilm al-falak, ‘ilm al-hai’ah, al-asthrunumiya, al-anwa’, dan ar-rashd. Lima terminologi pertama (‘ilm an-nujum, shina’ah an-nujum, shina’ah at-tanjim, ‘ilm at-tanjim, ‘ilm al-ahkam) dalam konteks keislaman hari ini masing-masing terhitung sebagai disiplin ilmu terlarang (haram, batil) oleh karena bertentangan dengan agama (Islam), namun di era abad pertengahan lima terminologi ini–beserta terminologi lainnya–merupakan nomenklatur dari ilmu astronomi.
Seperti dimaklumi, dalam konteks kehidupan zaman lampau, pemahaman dan pemaknaan alam (benda-benda langit di cakrawala) tidak semata persoalan keingintahuan atau keilmuan, namun juga terkait dengan prediksi atau ramalan kemanusiaan yang dikenal dengan nujum atau astrologi. Bahkan fenomena yang disebutkan terakhir ini tampak paling dominan berkembang. Oleh karena itu pula, percampuran dua fungsi (ilmu dan ramalan) ini tidak dapat dihindari, bahkan dalam konteks zaman itu merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Namun demikian, dari sejumlah terminologi yang ada, falak dan hai’ah beserta istilah yang mengiringinya adalah terminologi adalah istilah yang paling banyak digunakan dalam sumber-sumber klasik abad pertengahan, istilah-istilah ini merujuk pada makna ilmu astronomi yang tidak berbias astrologi. Falak (al-falak atau al-aflak) sendiri berasal dari kata fa-la-ka yang bermakna orbit atau edar benda-benda langit. Menurut al-Biruni (w 440/1048), ‘falak’ adalah benda bulat yang bergerak di tempatnya, yang mana dinamakan ‘al-falak’ oleh karena ia berputar dan bergerak menyerupai gulungan benang (falakiyyah al-maghzal). Sedangkan astronom al-‘Urdhi (w 664/1265) mengatakan, ‘falak’ sebagai nama yang diperuntukkan kepada sebuah benda yang berputar di atas sebuah permukaan bola (lingkaran) dan di sekelilingnya.
Sedangkan definisi ilmu falak di kalangan ulama-ulama abad pertengahan adalah suatu cabang pengetahuan yang mengkaji keadaan benda-benda langit dari segi bentuk, kadar, kualitas, posisi dan gerak benda-benda langit. Kata ‘falak’ sendiri antara lain disitir dalam Qs. Yasin [36] ayat 40 di mana pada ayat ini dijelaskan mengenai peredaran Matahari dan Bulan yang mana keduanya tidak dapat saling mengejar dan atau mendahului, semuanya beredar pada garis edarnya masing-masing. Menurut Nillino, kata ‘falak’ seperti tertera dalam ayat ini sejatinya bukan berasal dari bahasa Arab namun teradopsi dari bahasa Babilonia yaitu ‘pulukku’. An-Nadim (w 388/998) dalam al-Fihrist (Katalog) telah menyebut ‘falak’ sebagai satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Sementara itu orbit-orbit (al-aflak) benda langit adalah kajian dalam ilmu falak. Orbit-orbit yang menjadi kajian para astronom dan filsuf Muslim ini pada kenyataannya ada beragam pandangan tentang jumlahnya. Al-Biruni (w 440/1048) mengemukakan ada delapan lapisan (lingkaran, orbit) yang seluruhnya saling melingkari bagaikan lapisan kulit bawang. Delapan lingkaran (lapisan) itu secara berurutan adalah: Bulan (qamar), Merkurius (‘utharid), Venus (zuhrah), Matahari (syams), Mars (marikh), Jupiter (musytrai), Saturnus (zuhal, najm tsaqib), dan planet diam (kurrah tsabitah).
Sementara itu Ibn Sina (w 428/1037) menyatakan ada sembilan orbit di mana tujuh di antaranya merupakan tujuh lapis langit (as-samawat as-sab’). Orbit-orbit itu secara berurutan yaitu Bulan, Merkurius, Venus, Matahari, Mars, Jupiter, Saturnus, falak al-kawakib ats-tsabitah al-wasi’ al-muhith, dan al-‘arsy al-‘azhim. Tiap-tiap orbit ini adalah langit bagi orbit yang terletak di bawahnya dan Bumi bagi orbit yang terletak di atasnya. Orbit Bulan adalah langit bagi Bumi, Bumi adalah orbit bagi Venus, demikian seterusnya hingga sampai kepada orbit Saturnus yang merupakan langit ke tujuh. Falak al-kawakib ats-tsabitah al-wasi’ al-muhith (orbit planet-planet tetap yang maha luas) adalah orbit penyebab terjadinya peredaran Matahari selamanya di sekitar Bumi, penyebab pergantian siang dan malam, pergantian musim, dan penyebab terjadinya fenomena yang berhubungan dengan Bumi. Sedangkan al-‘arsy al-‘azhim adalah singgasana besar, perhatikan Qs. Al-Haqqah [69] ayat 17.
Sedangkan hai’ah adalah terminologi yang diperuntukkan kepada ilmu falak yang juga cukup populer di abad peretengahan peradaban Islam. Bahkan, terminologi hai’ah memang muncul dan populer hanya di peradaban Islam. Hai’ah (Arab: al-hai’ah, jamak: al-hai’at dan al-haya’at) secara etimologi bermakna keadaan sesuatu baik bersifat nyata (mahsus) maupun logis (ma’qul). Keadaan nyata maupun logis ini antara lain disitir dalam Qs. al-Ma’idah [05] ayat 110. Keadaan (hai’ah) dalam pengertian astronomi bermakna susunan alam semesta (bunyah al-kawn). Dalam khazanah intelektual Islam klasik, hai’ah adalah disiplin ilmu yang mengkaji benda-benda langit yang berkaitan dengan tata susun dan urutan orbit-orbit benda langit, kuantitas planet-planet dan konfigurasi rasi-rasi bintang dalam jarak, kadar, gerak, dan lain-lain. Secara historis, hai’ah terhitung sebagai terminologi orisinal yang muncul di peradaban Islam. Terminologi ini muncul sebagai hasil olah observasi dan pengkajian benda-benda langit secara ilmiah yang tidak terpengaruh oleh tradisi astrologi. Disiplin ilmu ini muncul di peradaban Islam sejak pertengahan abad 3/9.
Selain falak dan hai’ah, dikenal pula satu istilah yang betapapun tidak secara langsung berkaitan dengan astronomi namun memiliki kesamaan bahasan, yaitu al-anwā’ atau an-nau’. Secara etimologis anwa’ (nau’) adalah suatu bintang di langit tatkala cenderung akan hilang (terbenam) pada waktu fajar dan pada saat yang sama bintang lainnya akan terbit di belahan timur. Al-anwa’ juga dimaknai hujan dan tiupan angin di arah barat dan munculnya bintang yang mengiringinya di bagian timur. Adakalanya pula, an-nau’ diperuntukkan untuk terbitnya bintang-bintang di timur dan pada saat yang sama kebalikannya yaitu terbenamnya bintang-bintang di barat yang disebut bintang jatuh. Bintang jatuh dalam dugaan orang-orang Arab tidak memiliki kekuatan dan pengaruh.
Secara sintaksis, kata al-anwa’ menunjukkan suatu pengetahuan mengenai bintang. Dalam praktiknya, orang-orang Arab melakukan pengamatan terhadap gerak dan perpindahan bintang-bintang di posisinya, selain melakukan pengamatan terhadap perubahan posisi matahari dan bulan pada konstelasinya. Dalam hal ini bulan memiliki 28 manzilah yang merupakan jumlah satu putaran sinodis bulan. Dalam peredarannya, bulan akan turun dalam setiap manzilah satu kali dalam sehari, berbeda dengan matahari yang turun pada manzilahnya satu kali dalam setahun. Keseluruhan manzilah matahari ada 365 yang merupakan jumlah dalam setahun. Manzilah-manzilah dan bintang-bintang ini populer di kalangan Arab yang mana dinisbahkan terhadapnya fenomena hujan, angin dan cuaca, yang mana dinamakan ilmu al-anwa’.
Morlan mendefiniskan al-anwa’ sebagai sekumpulan hasil perhitungan yang dipersiapkan untuk suatu kegiatan sosial dan keagamaan yang dihubungkan dengan terbit dan tenggelam benda-benda langit tertentu dengan memanfaatkan bilangan tahun matahari dan membaginya dalam periode-periode tertentu. Dalam terminologi modern, al-anwa’ yang populer di kalangan Arab padang pasir sejatinya dapat diterjemahkan sebagai ilmu meteorologi, klimatologi dan geofisika (BMKG).
Dalam sejarahnya, terdapat ulama yang mendalami disiplin ilmu ini dan dituangkan dalam karya tulis. Beberapa karya mengenai hal ini antara lain: “Kitab al-Anwa’ fi Mawasim al-‘Arab” (Buku Meteorologi tentang Musim-Musim Arab) karya Ibn Qutaibah ad-Dinawari (w. 276/889), “Kitāb al-Anwa’” (Buku Meteorologi) karya az-Zajjaj (w 316/928), “al-Azminah wa al-Anwa’” (Zaman dan Meteorologi) karya al-Ajdabi (w ± 650/1252).•
_______________________
Dr Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, MA, Kepala Observatorium Ilmu Falak UMSU