Surat Al-Baqarah Ayat 178-179; Beberapa Aspek Hukum Qishas (3)

Surat Al-Baqarah Ayat 178-179; Beberapa Aspek Hukum Qishas (3)

Keterlibatan Penguasa dalam
Pelaksanaan Qishas.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa semestinya pelaksanaan qishas dilakukan oleh penguasa, karena merekalah yang semestinya bertindak dalam pelaksanaan qishas ataupun pelaksanaan sanksi hukum sebagai upaya penegakan hukum di muka bumi ini. Oleh karenanya, tidak boleh qishas dieksekusi kecuali ada ijin dari penguasa. Yang menjadi landasan hukumnya adalah Al-Qur’an berseru kepada semua orang yang beriman untuk melaksanakan sanksi hukum qishas dan tidak mungkin semua orang yang beriman secara bersama melakukan qishas, maka yang berhak untuk menggantikan mereka adalah penguasa. (Amir Abdul Aziz, Fiqh Al-Kitab wa As-Sunnah, Dar As-Salam, I/102-103)

Pertimbangan lain, pelaksanaan qishas membutuhkan perilaku yang profesional agar tidak terjadi kesalahan, penyimpangan atau pun tindakan yang berlebihan. Oleh karena itu, jika pelaksanaan qishas diserahkan sepenuhnya kepada keluarga korban, sementara mereka dalam kondisi berduka dan mempunyai perasaan marah dan benci yang mendalam terhadap pelaku pembunuhan, sangat memungkinkan pelaksanaannya akan dilakukan secara berlebihan atau karenanya terjadi pertumpahan darah seperti apa yang dilakukan pada zaman jahiliyah. (Abdul Kadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinai Al-Islami, I/155). Dengan demikian, pelaksanaan qishas semestinya dilakukan oleh pihak penguasa agar pelaksanaannya tidak melampaui ketentuan yang telah digariskan. Allah SwT melarang seseorang yang melakukan eksekusi qishas berlebihan dalam pelaksanaannya sebagaimana firaman Allah dalam Qs. Al-Isra’ [17]: 33:


… tetapi janganlah berlebihan dalam pelaksanaan hukuman mati

Pelaksanaan hukuman mati hendaknya dilakukan oleh penguasa yang memiliki perangkat hukum dan aparat yang siap melakukan pelaksanaan hukuman mati secara tidak berlebihan. Tentu tidak ada jaminan atas adanya tindakan berlebihan dalam pelaksanaan hukuman mati kalau bukan dilakukan oleh penguasa.
Pada ayat 178 surah Al-Baqarah Allah berfirman:

(Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu). Firman Allah ini merupakan lanjutan dari penjelasan opsi adanya kemungkinan pemaafan yang menunjukkan bahwa sanksi pembunuhan disengaja dengan qishas masih menjadi domain para waliyuddam untuk memilih apakah akan melakukan pemaafan, diyat ataukah akan melakukan tuntutan balas dengan melakukan qishas kepada pelaku pembunuhan. Di sini terlihat bahwa agama tidak memaksakan pemaafan, karena pemaksaan pemaafan akan dapat berdampak buruk, baik kepada keluarga korban atau kepada pihak keluarga pelaku pembunuhan, namun jika keluarga korban menginginkan pemaafan dengan pertimbangan apapun, maka hal itu dapat dibenarkan, bahkan merupakan sikap yang terpuji. Keringanan tersebut disebut sebagai keringanan dari Allah SwT agar pada akhirnya tidak memunculkan rasa dendam atau pembunuhan beruntun karena akibat dari ketidakpuasan terhadap sanksi yang diterima oleh pembunuh, bahkan sikap pemaafan tersebut juga disebut sebagai rahmat bagi keluarga korban dan pembunuh. (Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: I/393).

Oleh karena itu, ayat ini oleh Allah SwT ditutup dengan firman-Nya

(Barang siapa melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih).

Firman Allah ini memberi makna bahwa siapapun yang telah mengambil keputusan dan apapun keputusannya, hendaknya mengikuti tuntunan yang telah digariskan oleh Allah dan tidak boleh melakukan perbuatan yang melampaui batas dari apa yang menjadi ketetapan Allah, karena barangsiapa melamapui batas dengan melakukan penganiayaan terhadap pihak pembunuh setelah memberikan maaf, atau pun terhadap keluarga korban sesudah menerima ketetapan itu, maka baginya siksaan dari Allah yang amat pedih.
Pada ayat 179 surah Al-Baqarah Allah berfirman Allah:

(Dan dalam kisas itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal agar kamu bertakwa).

Ayat ini menegaskan bahwa apa yang ditetapkan oleh Allah SwT mengenai hukum qishas adalah memberikan jaminan hidup kepada semua manusia, karena orang yang mengetahui bahwa jika melakukan penganiayaan yang menyebabkan orang lain terbunuh secara tidak sah, ia terancam untuk mendapatkan tindakan yang sama yaitu dibunuh.
Hal yang menarik untuk diambil dari kelompok ayat ini adalah Al-Qur’an menempuh jalan pendidikan, sehingga di samping penjelasan tentang ketetapan Allah dan tuntunan-Nya dalam Qs. Al-Isra’ [17]: 33 yang memberikan kekuasaan kepada ahli waris pihak korban sebagai waliyuddam untuk memilih alternatif antara memaafkan, menerima ganti rugi atau menuntut balas dengan qishas. Kemudian diberikan batasan agar pihak ahli waris tidak melampui batas dalam melakukan eksekusi (membunuh) karena sesungguhnya ia (dengan ketetapan ini) telah mendapat pembelaan (pertolongan). Ketetapan Allah agar pihak ahli waris pihak korban dapat memilih alternatif yang terbaik dari beberapa alternatif yang ditawarkan, dengan tetap menekankan lebih banyak kepada pemberian pemaafan kepada pihak yang bersalah, karena sikap memaafkan dalam kasus qishas dapat menghapuskan dosa si pemberi maaf dan juga menghapus dosa si pelaku kejahatan, sehingga dapat melahirkan hubungan yang lebih baik dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga hal ini menjadi pendidikan yang sangat baik yang diajarkan oleh Al-Qur’an. (Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, jilid I, hlm. 397).•

Exit mobile version