Yogyakarta- Organisasi sosial-keagamaan terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama diharapkan selalu berjalan beriringan dan bergandengan tangan. Kedua organisasi ini harus berjuang untuk menegakkan Islam secara bersama. Terlebih dalam hal pendidikan, NU dan Muhammadiyah diminta untuk tidak pernah surut dalam membina umat menuju cahaya Islam yang rahmatan lil alamin.
Hal itu dikatakan oleh Rektor Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Dr. Ir. Harsoyo, M.Sc. di hadapan para wartawan dalam konferensi pers setelah acara Seminar Nasional, yang megusung tema “Sinergi NU dan Muhammadiyah Membangun Peradaban Rahmatan Lil Alamin”, pada Sabtu (6/2). Acara yang berlangsung di aula Prof. Kahar Mudzakkir itu diinisiasi oleh Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia.
Menurut rektor, NU dan Muhammadiyah harus bisa merespon isu-isu kekinian. Kasus LGBT dan Gafatar merupakan sebuah pertanda bahwa NU dan Muhammadiyah harus lebih bisa bersatu dalam menyikapi persoalan bangsa. Acara seminar kali ini salah satu tujuannya adalah untuk mempererat silaturahim dan mengokohkan sinergisitas antara NU dan Muhammadiyah.
“UII mempunyai visi mencetak para cendekiawan. UII tidak pernah mengkotak-kotakkan antara NU dan Muhammadiyah. Tidak ada dikotomi di UII. Baik NU maupun Muhammadiyah berjuang bersama-sama dalam menegakkan ajaran Islam dan pendidikan. UII memiliki tujuan untuk melahirkan dan mendidik calon-calon pemimpin umat dan bangsa. Hal ini sebagai landasan. Demikian pula yang dicontohkan oleh leluhur dan para pendahulu kami di UII,” kata Rektor UII periode 2014-2019 ini.
Hal itu dibenarkan oleh dekan Fakultas Ilmu Agama Islam UII Drs. Tamyiz, MA, Ph.D. Dikatakannya, UII telah mengabadikan nama pendiri UII menjadi nama bagunan kampus. Di antaranya ada gedung Prof. KH. Kahar Mudzakkir yang merupakan pendiri UII dari tokoh Muhammadiyah. Selain itu, juga ada gedung KH. Wahid Hasjim, yang dikenang sebagai sosok pendiri UII dari kalangan NU. (Ridha)