Secara prinsip agama dan budaya merupakan dua hal yang sama sekali berbeda. Agama adalah ciptaan Allah SwT untuk memandu hidup manusia agar tidak tersesat. Sedang budaya merupakan karya manusia untuk mewarnai kehidupannya.
Keduanya tidak layak untuk diperbandingkan apalagi dipertandingkan. Keduanya selalu bersandingan dalam hidup kemanusiaan. Karena itu, agama seringkali merasuk ke dalam budaya suatu masyarakat yang menciptakannya. Sedangkan budaya juga tidak jarang merusak agama.
Saat ini, bangsa barat dapat dikatakan sedang menjadi pemenang peradaban manusia modern. Dalam ukuran tertentu budaya bangsa barat nyaris tidak terpisahkan dengan ruh agama Nasrani yang memang telah menjadi urat nadi kehidupan mereka.
Kebudayan mereka yang sebenarnya tidak mempunyai akar di Indonesia banyak yang ditelan mentah-mentah oleh anak muda kita.
Atas dasar biar terlihat modern dan tidak ketinggalan mode atau trend banyak anak muda kita yang asal meniru saja. Kentang dan kimpul sudah terlanjur menyatu, demikianlah orang jawa masa dulu sering berkata. Ikut tepuk tangan ketika teman di sebelah tepuk tangan. Padahal walau sang pejabat yang lagi sambutan lagi berkata “Saya prihatin”.
Mayoritas anak-anak muda kita pasti tidak tahu, mengapa setiap menjelang 14 Pebruari pusat-pusat perbelanjaan modern selalu berhias dengan warna pink dan menawarkan coklat? Mereka hanya akan tahu bahwa hari itu adalah hari Valentine. Hari kasih sayang. Mayoritas dari mereka tidak tahu asbabul wurud Valentine Day. Apalagi kalau dikaitkan ada dengan warna pink dan coklat? Pengetahuan mereka tentang itu hampir sama dengan ketidaktahuan kita tentang kaitan natal dan topi Santa Clause. Atau mengapa kita harus begadang di malam pergantian tahun dan meniup terompet.
Kebanyakan dari kita memang akan larut tanpa sadar dalam arus besar kebudayaan penguasa peradaban modern yang entah mengabdi untuk apa.
Namun, kebanyakan dari kita juga terlampau reaktif. Asal melarang tanpa alasan apalagi solusi alternatif.
Anak muda Islam dilarang ikut meniup terompet di tahun baru masehi atau ikut beli coklat di hari valentine. Hanya itu, tanpa kata mengapa.
Kalaupun ada alasannya kadang juga tidak masuk akal, misalnya mengkaitkan terompet tahun baru dengan teriakan perang orang Yahudi, atau mengaitkan pesta tahun baru dengan pesta akhir tahun yang biasa dilakukan kaum penyembah berhala. Tentu saja penjelasan itu tidak cukup.
Semua alasan seperti orang tua masa lalu yang melarang anak-anak duduk di depan pintu. Hanya satu alasan. Tidak elok. Satu alasan yang tidak akan bisa dipahami. Alasan yang mungkin dipatuhi anak-anak muda masa lalu namun akan dicemooh anak muda generasi sekarang yang cenderung kritis dan cerdas.
Walau begitu, didalam kegelapan budaya sekarang tumbuh juga pijar cahaya pencerahan dari kalangan anak muda Islam. Saat ini mereka sudah hampir berhasil menciptakan tren baru dalam arus budaya modern.
Saat bioskop dipenuhi film impor yang tidak jelas nilai dan keberpihakannya. Ketika film nasional yang bertahan hanyalah film mengeksploitasi syahwat, mulai ada film-film bernuansa agama yang luar biasa.
Di antara Film semisal Tali Pocong Perawan tiba-tiba film 99 Cahaya di langit Eropa, atau yang terbaru Film Assalamualaikum Beijing.
Di antara Belantara Novel setengah cabul dan promosi cinta kaum sejenis masih ada novel Ayat-Ayat Cinta, Lasykar Pelangi, ataupun Sang Penakluk Ombak yang menawarkan ketulusan cinta yang tidak menabrak syariat Islam.
Islam memang harus bisa memberi warna pada budaya. Dan itu adalah tugas kita semua.• [isma]