Budaya adalah hasil kreativitas manusia, oleh sebab itu dia tidak statis, tapi dinamis, elastis dan fleksibel. Perubahan budaya dapat dipengaruhi oleh waktu, tempat, alam, lingkungan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Budaya berpakaian masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan yang dingin tentu berbeda dengan masyarakat yang tinggal di daerah pantai yang panas. Budaya berpakaian masyarakat dari negara tropis berbeda dengan budaya berpakaian masyarakat yang tinggal di negara yang mengenal tiga atau empat musim. Pakaian musim panas tentu berbeda dengan pakaian musim dingin.
Jika budaya ingin ditempatkan dalam kategori ibadah, maka dia masuk kategori ibadah ‘amah bukan ibadah khashah. Dalam ibadah khashah atau ibadah mahdhah segala sesuatunya sudah diatur secara ketat oleh nash baik Al-Qur’an maupun as-Sunnnah atau kedua-duanya sekaligus. Tidak boleh ditambah dan tidak boleh dikurangi. Dikurangi jadi batal, tidak sah. Jika ditambah menjadi bid’ah. Semua harus dilakukan sesuai tuntutan, harus yuwâfiqu as-sunnah. Rumus hukum yang berlaku dalam ibadah khashah adalah segala sesuatu terlarang kecuali apabila ada dalil yang memerintahkannya.
Sebaliknya dalam ibadah ‘amah, rumusnya adalah segala sesuatu boleh kecuali yang dilarang. Apakah larangan itu sampai ketingkat haram atau hanya sampai makruh, nanti para ulama ahli fiqih dan ushulnya lah yang menyimpulkannya. Tidak semua budaya harus sesuai dengan sunnah, tetapi semuanya tidak boleh bertentangan dengan sunnah. Kalau dalam ibadah khashah, harus yuwâfiqu as-sunnah, maka dalam ibadah ‘amah di mana budaya masuk kedalamnya yang berlaku adalah lâ yukhâlifu as-sunnnah.
Dalam pelaksanaan ibadah mahdhah seperti wudhu’, shalat, zakat, puasa dan haji selalu ada aspek budayanya. Kita ambil contoh wudhu’. Yang tidak boleh berubah dari pelaksanaan wudhu’ adalah rukun-rukunnya. Sejak zaman Nabi Muhammad saw, zaman sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in kaifiyat wudhu’, tetap, tidak akan dan memang tidak boleh berubah. Tetapi budaya wudhu’ sudah berkembang sedemikian rupa sesuai zaman dan segala aspek yang dibawanya. Di desa-desa yang banyak kolam ikannya, masyarakat berwudhu’ di kolam itu, dengan mengambil air langsung dengan kedua belah telapak tangannya sambil jongkok. Di masjid-masjid yang ada pancurannya, masyarakat berwudhu’ di pancuran sambil berdiri menampung air dengan kedua tangannya. Apabila di masjid sudah ada tempat berwudhu’ dengan kran, maka masyarakat pun berwudhu’ melalui kran air tersebut. Ada yang sambil berdiri saja seperti di negara kita, tetapi ada juga yang sambil duduk dan dibuatkan tempat duduknya seperti di Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan masjid-masjid lain umumnya di negeri Arab sana. Semuanya itu adalah budaya. Dinamis, elastis dan fleksibel.
Mendirikan shalat juga demikian. Tata cara atau kaifiyat shalat bersifat tetap, tsâbit, tidak boleh berubah-rubah harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW. Tapi budaya berpakaian dalam mendirikan shalat berbeda-beda, tidak sama antara satu bangsa dengan bangsa yang lain sesuai dengan budaya mereka masing-masing. Kaum muslimin di Indonesia mengenal sarung, baju koko atau baju taqwa dan pecis hitam atau putih, kadang kala ditambah dengan sorban yang dililitkan di leher atau ditutupkan ke punggung atau malah dikatkan di kepala. Kaum muslimatnya mengenal rukuh atau mukena. Model sarung, baju koko dan pecis juga berkembang dan berbeda-beda, begitu juga model mukena, semuanya itu adalah budaya.
Hukumnya adalah semua boleh kecuali yang dilarang. Jadi tugas kita adalah mencari tahu pakaian apa saja yang dilarang. Misalnya untuk shalat berjamaah jangan memakai t-shirt yang dipunggungnya ada tulisan macam-macam, apakah jargon partai politik, iklan komersial, atau kata-kata lucu seperti yang menjadi trend anak-anak muda. Kenapa tidak dibolehkan, karena akan mengganggu kekhusyukan jamaah yang shalat di belakangnya.
Jika dipastikan tidak ada yang dilarang, tinggal dipertimbangkan mashalahah dan manfaatnya, apabila bermanfaat kita lakukan, tetapi apabila tidak bermaenfaat apalagi mendatangkan mudharat tentu harus ditinggalkan. •
Oleh ; Prof Dr H Yunahar Ilyas, LC, MA