Saatnya Membelokkan Arus

Saatnya Membelokkan Arus

Kalau kita mengamati yang ada sosial media baik itu Facebook, Twitter, grup WA, grup BBM, dan yang semacamnya tiap desember dan Februari maka kita seperti memutar kaset lama. Himbauan untuk membetengi akidah dari gerogotan budaya sesat dan gempuran agama lain selalu bertebaran.

Dari ribuan pernyataan yang ada di sosial media itu, seakan-akan menunjukkan Islam sedang dan selalu terancam oleh gerusan budaya lain.
“Ini tidak menunjukkan kalau kita itu anti budaya asing. Tapi kalau budaya asing itu tidak sesuai dengan nilai-nilai keluhuran manusia tentu harus kita tolak,” tegas Muhammad Suranata. Pengamat dan Pelestari Budaya Jawa itu juga menyatakan kalau dia tidak bisa mengerti apa gunanya begadang semalaman hanya untuk meniup terompet di menit-menit pergantian tahun.

Di budaya Jawa memang ada tradisi seperti begadang yaitu tirakat dengan mengurangi tidur. Tapi selama tidak tidur itu waktunya tidak digunakan secara sia-sia. Tapi digunakan untuk merenung. Menghayati apa yang terjadi. Memahami kejadian alam.

“Jadi ketika orang jawa ketemu ajaran Islam tentang keutamaan shalat malam mereka langsung bisa sambung. Shalat malam kan tidak wajib, tapi sangat utama untuk dilakukan. Itu sama dengan tirakat yang tidak wajib dilakukan tapi merupakan laku utama,” terangnya.

Selanjutnya, Suranata juga mene­rangkan kalau laku hura-hura seperti dalam peringatan tahun baru maupun Valentine day a-la anak muda zaman sekarang menjadi digandrungi, karena hasrat dan nafsu anak-anak muda terpenuhi dalam ritual-ritual sesat seperti itu.

Budaya barat yang berpijak pada materialisme memang akrab dengan budaya pesta dan pemuasan hasrat. Budaya ini secara asasi sebenarnya berbeda dengan budaya Nusantara yang cenderung membatasi bahkan mengekang nafsu.

Namun, saat ini karena bangsa barat dapat dikatakan menjadi tengah menjadi pemenang, maka seluruh budayanya juga banyak yang digandrungi oleh seluruh manusia. Oleh karena itu saat ini terompet (tahun baru masehi), coklat dan warna pink (valentine day), labu dan kostum hantu (halloween day) menjadi sesu­atu yang diakrabi oleh anak-anak Nusantara yang secara sejarah, sosiologis apalagi agama tidak mempuyai kaitan dengan semua perayaan itu.

Saat ini tidak hanya kaum muslim yang “resah” dengan arus budaya barat yang materialistik ini. Orang-orang India dan China juga mulai merasakan keresahan yang nyaris sama.

Lebih parah lagi, semua perayaan budaya baru itu sebenarnya sudah menyeleweng dari semua ajaran agama apa pun. Semua sudah ditung­gangi dan dikendalikan oleh kekuatan material yang memuja nafsu.

Sekadar resah memang tidak menjawab masalah. Anak-anak muda yang termakan kemajuan dan kemodernan semu itu harus diberikan alternatif yang lebih baik.

Dr Nur Iswantara memberi contoh kalau pada masa lalu, Islam pernah menjadi penguasa kebudayaan di Nusantara. Salah satu buktinya adalah kelahiran kalender Jawa Islam.

Kalender karya Sultan Agung yang mengintegtrasikan penanggalan jawa (syamsiah) dengan penanggalan Islam (qamariyah), adalah bukti diterimanya budaya Islam sebagai budaya Nusantara.

Budaya itu bahkan terus berjalan hingga saat ini. Hampir setiap bulan di tahun jawa Islam selalu ada pera­yaan yang bernafaskan Islam. Di antaranya adalah peringatan tahun baru (suran), maulid nabi (muludan)  Isra’ Mi’raj (rejeban), Puasa, (pasa) idhul fitri (bada), idhul adha (besar) dan lain sebagainya.

Walau begitu ada pula yang menganggap sebaliknya. Itu semua sebagai bukti “kekalahan” Islam di hadapan orang jawa.
Orang-orang Jawa dinilai mene­rapkan strategi membelokkan arus secara cerdik. Sultan Agung yang Islam boleh merubah kalender Jawa dari Syamsiyah ke Qomariah yang sesuai dengan ajaran Islam.

Namun orang jawa yang belum Islam tidak asal menolak dan melawan. Mereka tetap menyisipkan ritual jawa di dalam tatanan yang baru. Sistem Kalender boleh berganti berbasis peredaran bulan namun ritual penyambutannya masih sama. Tapa bisu dan tirakatan ala jawa masih dipertahankan.
Demikian pula tradisi-tradisi yang lain semisal memberi makan leluhur yang dipaskan menjelang bulan puasa (ruwahan) tetap dipertahankan, juga ritual-ritual lain yang terkait de­ngan hari besar agama Islam yang lain.

Oleh karena itu dosen Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini memaklumi adanya penolakan refleksi kebudayaan kreasi orang jawa ini. Meskipun refleksi itu tidak terpisahkan dengan momentum hari-hari besar agama Islam. Ini juga perlu dicarikan solusi agara Islam tidak menjadi agama yang anti budaya.

Sementara itu, Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta, Prof Dr Suwardi Edraswara mengusulkan beberapa strategi yang bisa membuat nilai-nilai Islam ini akan lebih mudah diterima oleh generasi sekarang.
Salah satunya melalui industri-industri kreatif. Sebagai contoh film ringan pada bulan ramadlan. Lucu dan jenaka. Namun orang bisa menangkap apa pesan yang diberikan dalam tayangan tersebut.

Selain itu Suwardi juga menyarankan seperti acara-acara hari besar Islam semisal maulid nabi jangan hanya diformat identik dengan ceramah. Minim kemasan. Semua harus dipoles semisal dengan adanya entertainment-entertainment yang mampu menarik perhatian.
“kecenderunagan orang sekarang jika dicekoki dengan ajaran, biasanya sulit untuk menerima. Namun, apabila jika dikolaborasikan dengan kebudaya­an, akan menjadi media pencerahan yang baik,” tandas Suwardi.
Oleh karena itu umat Islam sudah seharusnya melirik budaya populer untuk melebarkan sayap dakwahnya. Melengkapi pola dakwah konvensional yang oleh sebagian kalangan anak muda dinilai menjemukan.

Senada dengan hal itu dosen Fisip Unsoed Dr Hariyadi, dalam suatu seminar di Universitas Padjajaran menyatakan kalau munculnya budaya pop Islam merupakan tantangan bagi budaya populer yang berlaku, budaya pop Islam merongrong dan mengganggu kepekaan modernis sekuler.
Strategi membelokkan arus budaya juga dikemukakan oleh Dr Nina Ratih. Dosen Sastra  UAD ini mengapresiasi munculnya anak-anak muda Muslim yang mau dan mampu menulis novel yang islami. Anak muda zaman sekarang memang suka membaca novel, seperti apapun bentuk novel sekarang. Melarang mereka membaca novel jelas tidak arif.

Maka kita perlu mendukung budaya menulis novel islami. Menurut Nina Ratih, langsung maupun tidak langsung novel-novel Islami akan mampu mengarahkan anak muda (muslim) kepada akhlak Islami.
Pertanyaannya adalah sudah siapkah kita mengislamkan semua budaya modern yang sesat itu. Seperti ketika para wali mengislamkan budaya Nusantara?. • [ies, jar, nis, thari)

Exit mobile version