Setelah Laskar Pelangi dan Sebelum Cahaya

Laskar Pelangi

Laskar Pelangi

Setelah Laskar Pelangi dan Sebelum Cahaya

Optimis. Begitulah hendaknya sikap yang dipilih umat Islam dalam memandang budaya anak muda, yang makin cenderung mendunia. Juga amat bermutu. Karya anak muda Indonesia, baik novel, musik, film, fashion yang segar dan bersih makin banyak menghiasi jagad budaya ekspresi kita.

Semula, rasa-rasanya kita diterpa oleh kemungkin­an pesimis. Sebab budaya modern dan pop dari Eropa, Amerika dan Korea seperti begitu mewarnai kehidupan anak muda kita. Akan tetapi justru dengan cara berselancar di atas gelombang budaya global itu para anak muda kreatif dan gesit mampu unjuk karya berbeda.

Mereka mampu menunjukkan bahwa Indonesia yang indah layak dicintai dan dikagumi. Penuh kandungan kekayaan nilai budaya dan sejarah, dan ini menjadi bahan garapan kreatif yang tidak ada habisnya. Keindahan alam Belitung yang muncul dalam film Laskar Pelangi lengkap dengan musik Melayu-nya yang mendayu menyentak perasaan penonton.

Kemudian alam dan budaya Tambora, Papua, Aceh, Sumatera Selatan,Minang, Jawa Barat, Bromo, Jawa Tengah, Sumba, dan lebih banyak lagi pun digarap secara hampir beruntun oleh sutradara muda dalam film-film mereka yang apik Tema olahraga dan petualangan yang inspiratif yang dimunculkan mampu menghapus kesan bahwa para sineas muda hanya bisa menggarap film hantu konyol, kekerasan dan film seks murahan.

Lalu, muncul novel dan film yang bertema budaya kosmopolitan. Novel dan film ini menggebrak kebuntuan budaya ekspresi kita. Ayat-ayat Cinta yang berlatar belakang Kairo dan universiats internasional Al Azhar, 99 Cahaya di Langit Eropa, Negeri Lima Menara, bahkan film tentang Habibi muda berjudul Habibie dan Ainun memberikan pasokan nilai yang bergizi bagi penonton muda di bioskop-bioskop. Novel dan film yang seperti ini menjadi trend setter d Indonesia dan dunia. Novel Laskar Pelangi diterjemahkan ke berbagai bahasa.

Bahkan di tengah suasana dan gairah untuk berkarya dengan nafas baru ini beladiri berlatar etnik muslim, pencak silat pun terangkat ke layar internasional. Keberhasil­an film Merantau yang menampilkan jurus pencak silat Minangkabau menambah deret prestasi budaya ekspresi itu. Popularitas pencak silat mulai bisa menggusur kungfu, karate, taekwondo, aikido, ninja, tinju yang semula merajai film beladiri. Indoneia mulai menjadi trend setter bagi film laga dunia. Sampai-sampai produser film Hollywood pun melirik Indonesia.

Dalam khazanah musik, setelah gelombang nasyid melanda Indonesia dan dunia, maka para musisi muda Indonesia menemukan dirinya sendiri. Kiblat musik Indonesia yang berada di Bandung, Surabaya dan Yogyakarta, dalam hal lirik lagu dan kelembutannya dimenangkan oleh Yogyakarta. Yogyakarta menjadi trend setter bagi musik lembut, berkarakter dan bersih. Misalnya yang dihasilkan oleh kelompok Letto. Karyanya berjudul Sebelum Cahaya cenderung bisa menenggelamkan karya musik asing yang sering mengandalkan sensasi.

Memang luka budaya bangsa karena terkontaminasi budaya Barat masih belum sembuh. Di sana sini malahan makin parah. H Iman G Manik alias El Manik mengatakan, ”Memang dari dulu kita terkontaminasi dengan budaya Barat. Itu yang jadi masalah kita bersama.”
Tokoh perfilman nasional itu menyebutkan, kita tidak bisa memfilter semua. Korbannya, tentu anak muda dan generasi yang akan datang. ”Walau sulit, kita tetap perlu memfilter budaya barat itu,” tambahnya.

Yang menggembirakan, menurut El Manik, di film dan sinetron ada perubahan. Kalau pada tahun 70-an tidak ada adegan perempuan berjilbab dan nikah di masjid, sekarang adegan itu sudah biasa bermunculan di film dan sinetron. Artinya, suasana Islami dan budaya Islam makin ditampilkan.
Dr Pradana Boy Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang dan Penulis Novel Sang Penakluk Ombak mengajak umat Islam tetap bersikap kritis terhadap budaya Barat. Tetapi ini harus diimbangi dengan pengetahuan yang mendalam dan adil. ”Banyak hal yang ditampilkan di film mereka memang ada dalam kenyataan sehari-hari. Tetapi, banyak pula hal lain yang penting, tidak muncul dalam film mereka,” katanya.

Pradana Boy yang lama tinggal di Australia melihat hal-hal yang paradoks dalam kehidupan masyarakat Australia. Ini menyangkut etika publik dan privat. Selama tidak mengganggu orang lain, maka berciuman mesra dan bernafsu, antara laki-laki perempuan di pinggir jalan tidak menjadi masalah.
”Sebenarnya Islam mampu menjadi trend setter kebudayaan dunia. Islam potensial untuk menjadi sumber inspirasi dan kiblat nilai dan perilaku. Sebab ajaran Islam utuh, konsisten, tidak mengandung paradoks seperti dalam budaya Barat,” tambahnya.

Dr Nur Sahid, Wakil Ketua LSBO PP Muhammadiyah juga menyoroti pengaruh budaya Barat itu, ”Kenapa budaya Barat begitu mudah meresap ke masyarakat kita? Karena, pemerintah kita sendiri tidak mempunyai strategi yang jelas. Kita terlalu permisif terhadap hal-hal berbau barat, modern misalnya,” katanya.

Nur Sahid menyebutkan, dulu kita negara bekas menjadi bangsa terjajah. Sebagai bekas terjajah itu kita mesra underdog. Kita selalu silau dengan segala hal yang berbau asing. Akibatnya kita kurang percaya terhadap segala hal yang kita miliki. Milik sendiri malah kurang diakui. Padahal kita memiliki kekayaan ekspresi budaya yang luar biasa, mulai dari Aceh sampai Papua. Budaya, tidak hanya dalam pengertian kesenian. Tetapi juga tata nilai, sikap hidup, cara berfikir yang khas. Kita memiliki kearifan lokal berbasis budaya yang luar biasa. ”Tetapi kita lupakan hal itu,” ujarnya.

Untuk membentengi hal itu, ungkap Nur Sahid, dibutuhkan pendidikan dan latar agama yang memadai. Ini merupakan faktor penting untuk dijadikan filter terhadap meresapnya unsur-unsur budaya Barat. Dengan tingkat intelektualitas yang memadai maka kita bisa lebih rasional menyikapi hal yang datang dari Barat. Ditambah bekal agama yang kuat.

”Kita ingin masyarakat kita tidak ikut-ikutan dengan budaya ekspresi dari Barat. Misalnya, tahun baru atau hari valentine. Tentu saja organisasi-organisasi kemasyarakatan dan keagamaan di negeri ini harus punya alternatif,” usulnya.

Misalnya, pada bulan Desember. Pada momentum ini adakanlah kegiatan yang bisa menjadi tandingan tahun baru atau hari valentine. Misalnya, kegiatan kesenian, kegiatan intelektualitas apa yang dibarengkan, paling tidak mendekati itu.

Nur Sahid menyebutkan, LSBO selalu mengadakan Festival Muharram untuk merayakan tahun Baru Islam. Ini salah satu strategi untuk menghidupkan Tahun Baru Islam. Persoalannya sekarang, gaung Tahun Baru Islam masih kalah dengan tahun baru Masehi.
”Jadi intinya, harus ada acara-acara tandingan yang menarik tanpa meninggalkan kaidah Islami kita,” harapnya. • (Bahan nisa, tof. Tulisan: tof)

Exit mobile version