Hari kasih sayang sudah dianggap menjadi budaya mainstream yang semarak dirayakan setiap tahunnya. Menyadari budaya ini bukanlah yang bersumber dari tradisi Islam, mudharat yang muncul berujung kepada free sex dan angka kehamilan di luar nikah yang semakin meningkat pasca momentum tersebut. Beberapa upaya pengalihan dengan kegiatan-kegiatan positif pun dilakukan sebagai alternatif agar generasi kita memiliki pemahaman yang lebih baik dan tidak ikut-ikutan melakukan kegiatan tersebut.
Prof Dr H Yunahar Ilyas, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah menganggap masuknya pengaruh tersebut adalah berasal dari upaya kampanye atau marketing tradisi agama lain seperti Agama Katolik atau Nasrani yang massif dilakukan.
Dalam tradisi Islam sendiri, momentum kasih sayang tidak hanya harus dirayakan dalam setahun sekali yaitu pada tanggal 14 Februari. Melainkan, Islam menyerukan untuk saling mengasihi sepanjang masa. Seperti mengasihi keluarga dan orang tua, saling mengasihi dan tolong-menolong sesama umat manusia. Namun, praktiknya Islam telah jelas mengatakan bahwa kasih sayang memiliki batasan dan aturan tersendiri. “Islam mengajarkan kita tentang saling mengasihi sesama manusia, namun tentu ada batasannya. Seperti kasih sayang antar lawan jenis dalam ikatan pernikahan yang sah,” ungkapnya.
Ketika semarak perayaan hari kasih sayang ini berlangsung, pola-pola pengadaan kegiatan positif keagamaan dianggap mampu menjadi alternatif yang bisa mengajak remaja untuk mengisi waktu mereka. Yunahar pun mengakui, bahwa selain memberikan pemahaman secara perlahan dan terus-menerus akan tradisi ini, kegiatan alternatif juga bisa membantu untuk membendung pengaruh yang bisa diterima oleh generasi muda kita.
“Selain memberikan pengertian, cukup ketika orang-orang sedang merayakan momentum tersebut, beberapa masjid, kelompok-kelompok Islam, mungkin bisa mengagendakan acara seperti pengajian, bedah buku, dan lainnya,” paparnya.
Yunahar pun menandaskan bahwa dengan adanya alternatif kegiatan lain yang bisa dimodifikasi untuk mengalihkan perhatian remaja. Namun, janganlah mengatasnamakan ‘Valentine Syar’I’ atau Valentine Islami untuk membungkus acara-acara tersebut. “Jangan juga mengatakan kegiatan itu sebagai Valentine Syar’I atau Valentine Islami karena sama saja dengan menggabungkan dua hal yang bertentangan. Jadikan saja alternatif ini sebagai kegiatan positif yang bisa rutin dilakukan,” tandas Yunahar. (Thari)