Yogyakarta– Kajian Malam Sabtu (Kamastu) yang digagas oleh Angkatan Muda Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta (AMM DIY) pada Jumat malam (12/2/2016) mengetengahkan topik Fiqih Perbandingan 4 Mazhab, dengan pembicara utama ustaz Abdul Quddus Zoher, M.Pd.I. Pengajian rutin yang disiarkan secara live streaming di radiomu.web.id itu dihadiri oleh hampir seratusan jamaah kaum muda, bertempat di aula Gedung PWM DIY.
Ustaz Quddus memulai pemaparannya dengan menjelaskan sejarah transformasi ajaran Islam dari masa Nabi Muhammad sampai ke sahabat, kemudian ke tabi’in, tabi’ut-tabi’in, zaman setelahnya hingga hari ini. “Nabi itu diibaratkan sebagai aktor. Para sahabat itu penonton di dalam gedung teater. Para tabiin itu penonton di luar gedung teater. Sementara kita berada jauh di belakang mereka, sehingga sangat wajar jika ada begitu banyak perbedaan pendapat dan pemahaman terhadap perilaku Nabi,” ujarnya menganalogikan.
Dalam menyikapi perbedaan, maka sikap terbaik adalah dengan meyakini kebenaran pendapat yang kita pegang dan tidak menyalahkan pendapat orang lain. Hal ini sesuai dengan salah satu perkataan Imam Syafi’i yang masyhur;“Ra’yuna shawab wa yahtamil al-khata’, wa ra’yu ghairina khata’ wa yahtamil al-shawab.” (Bahwa pandangan yang kita yakini benar, namun bisa jadi mengandung kesalahan. Pandangan orang lain yang kita anggap salah itu bisa jadi mengandung kebenaran). Demikian halnya dengan imam mazhab yang lain, selalu mengatakan bahwa, “Jika ada pendapat yang lain yang lebih shahih dan rajih, maka itulah mazhabku.”
Kepala sekolah SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta mengatakan bahwa semua mazhab itu sebagai upaya untuk mensistematisasi dan mencoba mendekati kebenaran sesuai dengan petunjuk Nabi. “Silahkan memegang kebenaran yang kita yakini, tapi tidak merasa paling benar. Silahkan berbuat baik, tapi tidak merasa paling baik. Ibnu Athaillah pernah menyatakan bahwa orang yang menganggap dirinya paling tawadhu berarti ia termasuk orang yang sombong,” katanya mewanti-wanti supaya umat bijak dalam menyikapi perbedaan yang ada.
Di bagian lain, beliau menjelaskan bahwa Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah merupakan lembaga yang menghimpun, memilah-milah, mengkonstektualisasikan, serta mempertimbangkan ulang semua produk mazhab yang ada dengan sangat hati-hati. Hasilnya dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan suatu putusan dan fatwa, atau dikenal dengan nama Himpunan Putusan Tarjih (HPT). Dikatakannya, “Forum Majelis Tarjih merupakah ijma’ dari Muhammadiyah. Sama dengan forum bahsul masail merupakan ijma’ dari ulama NU.”
Beliau juga menyatakan bahwa dalam kesehariannya, Muhammadiyah sebenarnya cenderung dekat dengan mazhab Hanafi dalam beberapa hal. Di antara alasan mengapa Muhammadiyah dekat dengan Hanafi, pertama, karena Abu Hanifah merupakan imam mazhab yang usianya paling dekat dengan masa Nabi, sehingga lebih banyak bertemu dengan para sahabat yang semasa dengan Nabi. “Imam Hanafi lahir pada tahun 80 Hijriyah.” Kedua, Imam Abi Hanifah tinggal di kota, hampir sama dengan Muhamamdiyah yang mayoritas jamaahnya berada di kota. Sehingga ada kemiripan. Misalnya Abu Hanifah membolehkan membayar zakat fitrah dengan uang, dikarenakan pada saat itu di kota tempat hidupnya Abu Hanifah, tidak banyak dari masyarakat yang memiliki kebun. Pendapat ini juga digunakan oleh Muhammadiyah. (M. Ridha Basri)