Mesianisme lahir sepanjang sejarah, sebagai gerakan yang mempercayai akan datangnya “imam mahdi” atau “ratu adil” yang menyelamatkan dunia. Mesianisme klasik sudah banyak dikenal orang. Agama-agama besar pun memiliki cabang ajaran yang mewartakan akan datangnya juru selamat.
Di masa lampau, kehadiran mesianisme sering tidak membuat heboh. Masyarakat kala itu alam pikirannya juga banyak yang menganut mesianisme. Apalagi jika terkait dengan paham agama.
Akan tetapi mesianisme kontemporer, yang muncul di hari-hari ini berbeda. Mesianisme ini berkamuflase disertai gerakan sosial ekonomi. Namun demikian, terkuak pula sebagai gerakan semacam “agama baru” buatan manusia yang berwajah mesianistik. Di antara gerakan ini bahkan diketahui memiliki tujuan politik ekstrim, mendirikan negara di dalam negara. Ini yang membedakan mesianisme klasik yang dianggap biasa dengan mesianisme kontemporer yang berbahaya karena bermaksud mendirikan “negara mesianis”. Gafatar misalnya, menurut info yang berkembang, ingin mendirikan “Negara Karunia Tuan Alam Semesta”.
Masyarakat Indonesia dibikin heboh. Mula-mula muncul berita ada satu dua orang hilang. Bersambung dengan berita menghilangnya banyak orang-orang secara luas. Orang pun bertanya-tanya, ada apa? Misterius. Lalu muncul berita lain. Ada pemukiman ratusan petani yang datang secara masif dan mencurigakan di Kalimantan Barat, yang kemudian dibakar massa. Petaninya diusir dari Kalimantan Barat.
Terkuaklah rahasia gerakan yang semula gerakan sosial kemasyarakatan, belakangan dikaitkan dengan gerakan agama berwajah mesianisme. Gerakan yang mengandalkan pada ajaran juru selamat. Orang-orang yang hilang dan menghilang ternyata tertampung dalam gerakan itu. Nama gerakan itu ialah Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara).
Gerakan yang menyatakan diri telah bubar tetapi pengikutnya masih melakukan aktivitas di berbagai daerah. Masih saling berkomunikasi dan melakukan pemufakatan. Bubar tetapi tidak bubar. Gerakan kemasyarakatan tetapi cenderung mesianis. Dari permukaan tampak ”normal”, tetapi meresahkan dan membahayakan. Di dunia maya pun masih teraba aktivitas mereka.
Lantas, mengapa mereka bisa muncul? Antara lain situasi kehidupan yang sarat ketidakpastian. Kehidupan dianggap banyak penyimpangan dan kegalauan, sehingga masa depan buram. Di tengah ketidakpastian itu muncul rasa cemas, takut, dan terancam oleh berbagai hal. Banyak masalah terjadi dan tak kunjung selesai. Keresahan sosial meluas. Sebab hidup di hari sekarang banyak yang merasakan bagai hidup tanpa peta, tanpa rute dan tanpa trayek. Tidak tahu dirinya itu dari mana dan akan kemana.
Bagi sebagain besar orang saat ini yang terpampang setiap hari hanyalah potret buram moral dan kemanusiaan. Berbagai bencana tak pernah jeda menimpa. Mulai dari becana alam karena rusaknya lingkungan karena ulah manusia. Bencana sosial, bencana ekonomi, bencana politik, bencana hukum, dan juga bencana budaya seperti semakin kaburnya nilai baik dan buruk. Seperti kehendak untuk melegalkan LGBT.
Fakta dan keadaan seperti ini mempermudah siapa pun untuk mendramatisasi keadaan dengan menghubungkannya dengan dongeng, mitos lama, dan ramalan purba umat manusia. Seolah-olah sudah tidak ada lagi tangan-tangan kebajikan. Orang Jawa menyebutnya sebagai Zaman Kala Bendu (atau zaman penuh bencana). Sebuah zaman yang memproses sungsang bawono walik yang melahirkan anomali dan paradoks di hampir semua sisi kehidupan.
Kondisi buruk sampai mendekati titik nadir peradaban ini di Indonesia seperti ini sering dimanfaatkan dan dimanipulasi oleh tokoh dan gerakan Mesianisme atau Ratu Adil atau gerakan Juru Selamat untuk menggiring masyarakat agar berada di bawah kendali pengaruhnya.
Mereka mengaku memiliki harapan paling manjur untuk keluar dari zaman gelap ini untuk bergerak menuju zaman terang dan zaman penuh kejayaan. Dengan cara percaya kepada janji mereka dan percaya pada pemimpin atau sang Juru Selamat yang akan memimpin barisan manusia yang telah terbius oleh janji itu keluar dari lorong waktu yang gelap itu.
Semua ciri dan bentuk dari gerakan ini ada pada ormas Gafatar. Kalau dicermati dari dasar gerakan dan pemikiran Gafatar. Terasa kelekatan mereka dengan ajaran dan mitos masa lalu. Mulai dari Jangka Jayabaya dalam Kitab Musarar, ramalan Sabda Palon-Nayagenggong, Serat Darmogandul, juga wangsit Siliwangi, hingga ramalan Ronggowarsito tentang Satrio Piningit, semua dielaborasi untuk menobatkan kehadiran Gafatar sebagai berita gembira tentang akan datangnya saat kejayaan Bumi Nusantara sebagai Mercusuar Dunia.
Walau Ketua umum Gafatar, Mahful M Tumanurung membantah kaitan langsung organisasinya dengan “ajaran” Ahmad Mosadeq, tapi dia juga mengakui kalau Nabi palsu dari Gunug Bunder Bogor sebagai guru dari organisasinya. Oleh karena itu, kenyataan Gafatar sebagai gerakan mahdiisme terasa semakin sulit dibantah.
Apalagi kemudian terungkap dalam Gafatar juga ada tradisi baiat yang oleh kepala Magister Ilmu Hubungan International Program Pascasarjana UMY, Dr Surwandono, disebut sebagai upaya dari memunculkan militanisme. Sehingga yang tidak patuh atau membelot dari titah pemimpinnya akan dianggap murtad dari aliran itu.
Buku Tradisi Memahami dan Menyikapi Tradisi Tuhan juga menyebutkan, untuk menjadi anggota Gafatar, mereka harus melakukan ritual awal, yakni Sumpah Gafatar. Sumpah Gafatar yang terdapat dalam buku tersebut adalah mendudukkan Ahmad Mosadeq sebagai mesias atau juru selamat. Ini mirip baiat anggota jemaah kepada imam.
Di titik inilah gerakan semacam Gafatar ini harus diwaspadai karena ada kecenderungan memasukkan anggotanya dalam perangkap komunitas eksklusif, kelompok tertutup. Gerakan ini mengontrol ketat anggotanya, dengan sumpah atau baiat untuk setia pada perkumpulannya. Hal itu terbukti dengan banyaknya warga yang melaporkan kehilangan anggota keluarganya. Anak meninggalkan orangtua, adik meninggalkan kakak, bahkan Istri meninggalkan suami.
Peneliti gerakan mesianis dari UIN Sunan Kalijaga, Dr Ahmad Muttaqin menilai Gafatar bukan sekadar sebagai New Religious Movement atau sekadar gerakan mesianisme konvensional. Tapi bisa lebih berbahaya bagi banyak pihak. Sangat mungkin ada kepentingan lain dibalik Gafatar.
Misalnya kepentingan ekonomi. Ketika anggota gafatar itu sudah bisa diyakinkan untuk eksodus dan bertani di daerah baru, siapa nanti yang akan menguasai perniagaan hasil pertanian itu?
“Bisa saja, anggota Gafatar yang ke Mempawah itu nantinya hanya akan menjadi buruh-buruh murah yang dimanfaatkan para elitnya saja,” tegas Ahmad Muttaqin.
Trend gerakan New Religious Movement yang kemudian berujung pada gerakan bisnis para elite seperti ini menurut pengamatan Muttaqin sudah banyak contohnya. Ada yang menjual paket-paket pelatihan yoga, paket meditasi, menjual buku-buku ajaran dan keperluan lain pada para penganutnya bahkan ada juga yang menjual kapling kuburan yang diklaim suci yang dijamin bebas siksa kubur dan neraka bagi siapapun yang dikubur di tanah itu.
Melihat dari catatan sejarah yang ada, gerakan mesianis abal-abal seperti Gafatar ini akan terus bermunculan di kemudian hari. Bahkan tidak menutup kemungkinan, kalau keadaan bangsa semakin penuh kesenjangan dan ketidak pastian seperti sekarang ini, semakin banyak pula orang yang akan terpengaruh gerakan semacam Gafatar ini.
Oleh sebab itu, negara ini harus berubah. Kesenjangan harus segera ditipiskan. Keadilan juga harus segera ditegakkan. Namun menurut Prof Syafii Maarif, itu semua tidak bisa diwujudkan dalam waktu dekat. “Kita sudah puluhan tahun berteriak-teriak menyuarakan hal itu, namun keadaan ya masih seperti ini saja,” ujar Buya Maarif.
Inilah problem yang mesti dicarikan jalan keluar oleh semua pihak. Ormas-ormas Islam harus segera berbenah untuk lebih mengefektifkan dakwahnya agar gerakan-gerakan seperti ini bisa dibendung dari upaya Gafatar memperdaya umat.• (tof, tar, gsh, nisa)