Jakarta berduka dengan peristiwa bom di kawasan Sarinah pada 14 Januari 2016. Tidak berskala besar seperti di Paris, tapi menghebohkan jagad nasional dan internasional. Beragam analisis bertebaran dari teori ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) sampai teori konspirasi dan “terorisme buatan”. Sebagian pihak bahkan ada yang menunjukkan sejumlah kejanggalan dalam kasus bom Jakarta itu.
Peristiwa bom Sarinah mendorong pemerintah ingin merevisi Undang-Undang Terorisme, yang memberi kewenangan luas kepada pihak kepolisian. Banyak pihak mendukung revisi itu, meski ada pula yang mengeritisi. Semoga revisi itu tidak mengarah ke sistem otoriter dengan polisi boleh bertindak apa saja, yang berpotensi melanggar hak asasi manusia dan kebebasan warga negara.
Terorisme di Indonesia dan di negeri manapun harus diberantas. Tidak ada agama, umat beragama, dan golongan masyarakat yang menyetujui tindakan teror dan terorisme. Namun soal cara tentu haruslah dilakukan secara menyeluruh, tidak gegabah, dan serba generalisasi. Perang terhadap terorisme tidak boleh merusak kondisi Indonesia yang secara umum sebenarnya aman, damai, dan stabil. Seolah Indonesia itu menjadi negeri para teroris dan subur terorisme.
Maka, jangan sampai kehilangan objektivitas dan nalar sehat dalam menghadapi terorisme di negeri ini. Jika ingin menang dan berani melawan terorisme maka harus tenang, cerdas, dan sistematis dalam menghadapinya. Bukan dengan heboh yang cenderung sporadis dan reaksioner. Begitu terjadi semua bergerak, setelah itu lengah. Kepolisian pun kecolongan lagi, lalu heboh kembali.
Akar terorisme itu multifaktor. Demikian pula paham radikal pun sering tumbuh bersifat “cross-cutting of interest”, saling silang kepentingan banyak hal dalam hukum aksi-reaksi dan dinamika yang kompleks. Di situ terdapat kondisi kesenjangan sosial-ekonomi, ketidakadilan politik, kekacauan budaya, dan benih-benih kekerasan lainnya yang bersifat sosiologis.
Terorisme tidak tumbuh di ruang vakum. Teror, teroris, dan terorisme sifatnya luas. Artinya jenis, pelaku, dan kaitan yang memicu terjadinya tindakan teror beragam. Kelompok-kelompok penggangu keamanan dan yang menimbulkan ketakutan di setiap negara dapat disebut teroris karena menebar ketakutan. Yakuza di Jepang dan Triad di Cina terkenal sebagai mafia yang suka menimbulkan teror sangat luar biasa. Para preman di mana pun termasuk teroris. Institusi-institusi negara ketika melakukan berbagai macam intimidasi terhadap warga negara juga tergolong teroris, disebut state-terorism.
Jangan karena ada Al-Qaida, ISIS, Jamaah Islamiyah, Jihadis, dan sebagainya, lantas dilekatkan bahwa Islam seolah agama dan pelaku terorisme. Golongan agama dan kelompok sosial lain juga melakukan hal yang sama di berbagai negara. Sekte-sekte beraliran keras dari banyak agama dan kelompok sosial lain juga melakukan tindakan teror. Mahatma Gandhi terbunuh oleh orang Hindu radikal. Akhir-akhir ini orang-orang hilang diindikasikan terkait dengan Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara), yang juga menimbulkan keresahan dan ketakutan.
Maka, menjadi niscaya pendekatan menyeluruh yang objektif dan tetap bernalar jernih dalam melawan terorisme di negeri ini. Semestinya ditempuh langkah-langkah yang sistematik dan tidak sporadis. Jangan seperti melempar nyamuk di kaca, apalagi dijadikan suatu proyek bernama deradikalisasi!• hns