YOGYAKARTA — Tidak dipungkiri bahwa kemajuan suatu bangsa sangat tergantung pada penguasaan sains dan teknologi. Bagi bangsa yang tidak menguasai dan tidak menaruh perhatian pada ranah ilmu filsafat, sains, dan teknologi, maka bisa dipastikan negara itu akan terpuruk dan tak mampu bersaing di kancah global. Bercermin pada inspirasi al-Quran, seharusnya umat Islam menjadi umat yang paling maju dalam ranah sains dan teknologi. Hal ini dikemukakan oleh Agus Purwanto, D.Sc., penulis buku Nalar Ayat-Ayat Semesta dalam Seminar Pendidikan Nasional Menjadikan Al-Quran sebagai Sumber Sains, bertempat di auditorium kampus 1 Universitas Ahmad Dahlan Yogakarta, pada Minggu (14/02/2016).
Saat ini pemahaman umat islam tereduksi hanya pada masalah fikih dan tasawuf. Padahal menurut penggagas pesantren sains ini, setelah melakukan perhitungan dengan melibatkan dua mahasiswanya, ditemukan fakta yang sangat mencengangkan. Bahwa jumlah ayat al-Quran yang berbicara tentang sains atau ayat kauniyah lebih dari 800 ayat. Sementara ayat-ayat yang membahas tentang fikih hanya sekitar 150 ayat. “Dikarenakan terlalu banyak menghabiskan waktu membahas fikih, kita jarang bahkan tidak pernah berpikir untuk membuat pesawat, kereta api, dan lain-lain. Kita belum berpikir tentang kenderaan di bulan karena masih sibuk memperdebatkan permasalahan awal bulan, sampai berabad-abad,” ujarnya berseloroh.
“Kalau kita mau eksis, maka mau tidak mau harus mempertimbangkan sains. Harus diakui dunia Islam secara umum anti ilmu pengetahuan dan teknologi, bukan karena negara itu miskin, tapi karena problem theologis. Negara kaya tapi tidak diarahkan ke pengembangan sains dan teknologi. Problem dunia Islam tidak ambil bagian karena pemahaman keagamaan, sehingga harus didekati dengan pendekatan theologis,” ujar dosen ITS ini mengawali sesi seminar yang diikuti oleh lebih dri 250 peserta.
Menurutnya, rendahnya perhatian umat Islam pada ranah sains bisa dilihat dari biaya riset dari negara-negara muslim. “Perbandingannya adalah tujuah negara muslim setara dengan satu negara kecil di Eropa,” katanya sambil menyebut data. Indikasi lainnya bahwa pemenang nobel dari dunia Islam hanya berjumlah satu orang, yaitu Abdussalam, itu pun dari warga Ahmadiyah Pakistan. Abdussalam sendiri dibesarkan dan mengembangkan penelitian dan karirnya di negara Inggris, bukan di Pakistan.
Di Indonesia sendiri, perhatian pada ranah sains sedemikian rendah. Dalam hal jumlah publikasi internasional dosen di 127 Universitas di Indonesia setara dengan satu Universitas Kebangsaan Malaysia. “Di Indonesia jumlah doktor dalam bidang fisika teori tidak lebih dari 20 orang, sementara lebih spesifik dalam bidang sains fundamental hanya sekita 3 orang saja,” kata anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ini. (Ridha)