YOGYAKARTA — Di antara lembaga negara yang masih mendapatkan kepercayaan dan simpati yang luar biasa dari publik adalah KPK. Sebagai anak kandung dari rahim reformasi, KPK tidak boleh dilemahkan oleh siapapun, termasuk para pejuang reformasi. Pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK menjadi modalitas kesejahteraan rakyat dari Sabang sampai Merauke. Namun tak dipungkiri adanya berbagai upaya yang dilakukan untuk melemahkan KPK, terutama dari kelompok yang pro status quo atau kepentingan koruptif.
Pikiran itu mengemuka dalam acara Jogja Gumregah Tolak Revisi UU KPK, di gedung PP Muhammadiyah Jln. Cik Ditiro Yogyakarta, pada Minggu (14/02/2016). Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi beserta para tokoh, ulama, akademisi, budayawan, advokat, penyandang disabilitas, perempuan anti korupsi, jurnalis, LSM, mahasiswa, dan praktisi di Yogyakarta berkumpul di markas Muhammadiyah dalam rangka menolak pembahasan revisi UU KPK.
“Mereka yang berambisi untuk memangkas wewenang KPK datang dari berbagai kalangan, di antaranya politisi DPR, pengusaha, elit, penegak hukum, pengacara, maupun elit partai politik. Sejumlah partai politik di Senayan, melalui wewenang legislasi saat ini aktif mendorong adanya revisi UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Usaha ini telah cukup berhasil dengan masuknya agenda revisi UU KPK dalam prolegnas 2016 dan disetujuinya agenda ini dalam rapat Badan Legislasi DPR,” demikian di antara isi pernyataan sikap Jogja Gumregah Tolak Revisi UU KPK yang dibacakan oleh Alisa Wahid.
Namun publik justru menilai bahwa usulan revisi UU KPK itu sebagai ajang konsolidasi kelompok status quo, yang memiliki irisan kepentingan untuk membubarkan KPK, dengan berbagai alasan dan latar belakang kepentingan. Di antaranya karena merasa sebagai pesakitan KPK, broker politik dan ekonomi yang tidak leluasa bergerak akibat radar KPK, dan petualang politik serta elit penegak hukum yang merasa bahwa KPK adalah ancaman besar bagi otoritas hukum pro koruptif yang selama ini berlaku.
Anggota forum yang hadir mempermasalahkan empat poin krusial draft revisi UU KPK yang dikhawatirkan dapat melumpuhkan KPK. Pertama, dibentuknya dewan pengawas yang memiliki sejumlah kewenangan yang dapat menghambat kinerja KPK. Kedua, terkait dengan penyadapan. Selain harus seizin Dewan Pengawas, penyadapan hanya dapat dilakukan pada tahap penyidikan. Ketiga, terkait dengan penyidik dan penyelidik KPK, yang tidak dapat diangkat secara mandiri. Keempat, KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara korupsi (SP3). “Padahal penangkapan di KPK harus memiliki dua alat bukti yang sudah lengkap dan kuat. Sehingga wajar jika tidak ada SP3. Berbeda dengan Polri dan Kejaksaan,” ujar Zainal Arifin Mochtar dari PUKAT UGM.
Tampak hadir dan memberikan testimoni singkat, adalah mewakili PP Muhammadiyah dan sebagai mantan Ketua KPK Bapak Busyro Muqoddas, Zainal Arifin Mochtar, Iwan Setiawan dari akademisi UMY, mewakili UIN Bapak Ahmad Thohir, Sosiolog UGM Prof. Setiawan, dari YAKKUM Arsinta, Alimatul Qibtiyah mewakili gerakan SPAK dan PP Aisyiyah, Ketua AJI Yogyakarta, Beni Susanto dari LSM, penyandang disabilitas, dan unsur mahasiswa. (Ridha)