Hadits Menghadiri Undangan Pernikahan
Kata وليمة berasal dari akar kata اولم yang berarti “mengadakan jamuan”. Sebelum kehadiran Islam, kata ini telah populer di kalangan masyarakat Arab. Segala bentuk jamuan dinamai walimah. Sedang kata ‘urs (bukan ‘ursy) berasal dari akar kata يعرَس – عرِسyang maknanya bervariatif sesuai konteks kata yang menyertainya.
Beberapa makna yang dimaksud adalah suka, kuat, kekal, takut, dan tercengang. Kata ini kemudian berkembang menjadi al-‘urs, yaitu tha’amul walimah. Hal ini dapat dimengerti karena jamuan pernikahan memang dimaksudkan untuk menunjukkan kegembiraan, memperkuat komitmen, mengharapkan doa agar pernikahan menjadi langgeng, dan menghindari fitnah yang mungkin disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat mengenai adanya ikatan pernikahan.
Walimatul ‘Urs
Pernikahan merupakan karunia Allah kepada hamba-Nya. Islam memberi tuntunan agar nikmat pernikahan dipublikasikan kepada tetangga, sanak kerabat, teman, dan kaum Muslimin secara umum dengan mengadakan walimatul ‘urs.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صلعم رَأَى عَلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَثَرَ صُفْرَةٍ فَقَالَ مَا هَذَا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي تَزَوَّجْتُ امْرَأَةً عَلَى وَزْنِ نَوَاةٍ مِنْ ذَهَبٍ قَالَ فَبَارَكَ اللَّهُ لَكَ أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
Dari Anas bin Malik bahwasannya Nabi saw melihat bekas kuning pada Abdurrahman bin Auf, maka beliau bersabda: “Apa ini?” Dia menjawab; “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya baru menikahi wanita dengan maskawin emas seberat biji kurma.” Lalu beliau bersabda: “Semoga Allah memberkati perkawinanmu, adakanlah walimah walaupun hanya dengan seekor kambing.” (Muslim 2556)
Pada saat yang sama, Islam juga memerintahkan untuk menghadiri undangan pernikahan (walimatul ‘urs). Banyak riwayat terkait kewajiban tersebut, di antaranya ;
أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلعم يَقُولُ حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ رَدُّ السَّلَامِ وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ
Bahwa Abu Huraira berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Hak muslim atas muslim lainnya ada lima, yaitu; menjawab salam, menjenguk yang sakit, mengiringi jenazah, memenuhi undangan dan mendoakan orang yang bersin”. (HR. Muttafaq ‘Alaih)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلعم قَالَ إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْوَلِيمَةِ فَلْيَأْتِهَا
Dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Jika salah seorang dari kalian diundang ke acara walimahan, hendaklah ia datang.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Kalau mencermati kedua teks hadits di atas, riwayat Abu Hurairah menggunakan redaksi al-dakwah sedang riwayat Ibn Umar menggunakan redaksi al-walimah. Kedua kata ini pada dasarnya merujuk pada satu kegiatan yang sama. Huruf alif lam pada kata al-dakwah dan alif lam pada kata al-walimah memberi isyarat bahwa undangan yang dimaksud tentulah merujuk pada satu jenis undangan, yaitu walimatul ‘urs.
Sedemikian penting menghadiri undangan pernikahan (walimah), sehingga terhadap orang yang berpuasa sekalipun tetap diwajibkan menghadirinya (lih. Muslim 2584). Walaupun demikian, sesuai dengan prinsipnya, Islam adalah agama yang memudahkan. Bersamaan datangnya kewajiban, turut menyertainya kemudahan dalam menjalankannya. Terdapat beberapa kondisi yang dapat dianggap udzur syar’i untuk tidak menghadiri undangan pernikahan (walimah), yaitu sakit, sulit menempuh perjalanan, terdapat maksiat dalam acara tersebut.
Tujuan Menghadiri Undangan Pernikahan (Walimah)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلعم إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ
Dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika salah seorang dari kalian diundang, hendaknya ia penuhi undangan tersebut, jika ia sedang berpuasa, maka hendaklah ia mendo’akannya, dan jika ia sendang tidak berpuasa, hendaknya ia memakannya.” (Muslim 2584)
Berdasarkan hadits di atas, diperintahkannya menghadiri undangan pernikahan karena dua tujuan; pertama, memberi doa restu. Memberi doa merupakan tujuan pokok. Sebagai shahibul hajat harus mempertimbangkan banyak aspek agar para tamunya benar-benar memberikan doa yang tulus. Jangan menyuguhi undangan dengan hiburan yang mengandung unsur pornoaksi, tentu doanya tidak akan punya kekuatan. Jangan pula besarnya isi amplop mempengaruhi ketulusan hati mereka. Pada dasarnya, orang menghadiri undangan pernikahan itu disertai dengan perasaan senang ria. Kalau ada yang sedih walau berusaha menampakkan kegembiraan, berarti ada yang salah dalam undangan pernikahan tersebut.
Kedua, menikmati hidangan walimah. Menikmati hidangan walimah merupakan tujuan berikutnya. Saat menikmati jamuan, adab makan dan minum tetap harus dijaga, makanlah secukupnya, dan tidak semua jenis makanan harus anda dirasakan. Jika dalam keadaan terpaksa, standing party dibolehkan. Tetapi keliru jika hal itu menjadi bagian dari setting acara. Shahibul hajat pun harus menyesuaikan antara jumlah tamu yang diundang, kapasitas tempat, dan waktu penerimaan undangan pernikahan. Jangan sampai antara jumlah tamu tidak sesuai dengan kapasitas tempat dan waktu yang disediakan.
Pergeseran Walimah
Islam hanya memperkenalkan dua macam walimah yaitu walimatul ‘urs dan walimah aqiqah. Hanya saja hukum menghadiri kedua jenis undangan ini berbeda. Walimah ‘urs tidak memiliki batasan kemeriahan, yang jelas unsur kesederhanaan harus dikedepankan. Walimah ‘urs bisa lebih meriah dari walimah aqiqah dan bisa juga sebaliknya.
Di tanah air, walimah tumbuh dengan sangat subur. Hampir setiap momen yang dianggap bersejarah selalu disertai dengan adanya walimah. Contoh walimah lahir (‘aqiqah), walimah khitan (a’dzar), walimah kematian (wadhimah) dan tasyakuran (pelepasan dan penyambutan haji, memasuki rumah baru, dan lain-lain). Banyaknya jenis walimah di Indonesia tidak lepas dari kultur masyarakatnya yang simbolistis dan ritualistis.
Masyarakat dengan tipe seperti ini rentan mengalami disorientasi peribadatan. Berikutnya, juga cenderung tidak bisa memilah antara wilayah ritual dan sosial, kadang-kadang sosial dijadikan ritual dan sebaliknya. Itulah sebabnya, tidak sedikit orang yang meninggalkan ibadah karena takut tersisih dari pergaulan sosial. Sebaliknya, tidak sedikit pula orang yang memaksakan diri pada wilayah sosial karena menyamakannya dengan ritual.
Masalah yang timbul saat ini adalah persoalan sumbangan. Penulis begitu terharu ketika mendapati orang yang mengadakan jamuan walimah sesuai kemampuan. Orang-orang yang diundang pun tidak dibebani dengan besarnya sumbangan yang mereka bawa. Berbeda dengan orang yang mengundang semua orang baik dikenal atau tidak, dan mempersiapkan jamuan melebihi kebutuhan. Bahkan, mencari pinjaman dalam jumlah yang besar. Hal itu dilakukan mengingat sudah dapat diperkirakan bahwa utang tersebut dapat segera dilunasi dengan besarnya sumbangan yang akan diterima.
Maka solusinya sebenarnya ada pada masing-masing pihak. Shahibul hajat jangan menumpukan harapan pada besarnya sumbangan dari orang-orang yang diundang. Sebaliknya, saat keadaan ekonomi tidak membaik, orang yang diundang untuk menghdadiri undangan pernikahan jangan memaksakan diri untuk memberi sumbangan yang besar.
Akan tetapi, masalah baru muncul ketika besarnya sumbangan dari masing-masing orang dicatat dan dipublikasikan. Ini urf shahih atau urf fasid? Yang jelas menghadiri undangan pernikahan adalah perintah agama, perintah agama selalu menyesuaikan kemampuan manusia. Jika ada perintah agama yang menyesakkan dada, jangan-jangan ada yang salah dalam cara melaksanakan perintah agama. Wallahu A’lam bisshawab!
Asrul Jamaluddin, MHum, Alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah