Sebuah bangsa yang senantiasa dijajah oleh bangsa lain yang jauh lebih kuat, baik dari segi ekonomi, politik maupun kebudayaan, niscaya menyandang mental inferior. Apalagi ketika bangsa tersebut tak memiliki daya upaya sedikit pun disebabkan karena lemah secara ekonomi, kalah secara politik, dan tersingkir oleh kebudayaan bangsa lain, dalam kondisi mental inferior muncul perasaan frustasi sambil mengkhayalkan bakal datangnya “juru selamat” yang diyakini dapat membebaskan mereka dari penjajahan yang penuh penderitaan. Semakin lama, impian “juru selamat” menjadi semacam semangat untuk terus bertahan hidup sambil menanti-nanti kedatangannya. Dalam kondisi mental semacam inilah sesungguhnya doktrin Mesianisme lahir.
Mesianisme merupakan sebuah doktrin penantian akan kedatangan “sang juru selamat” yang diyakini bakal membebaskan suatu bangsa dari belenggu penjajahan. Secara kharfiah, Mesianisme berasal kata “Mesiah” (Ibrani). Artinya, secara etimologis, sepadan dengan makna kata “al-masih” dalam bahasa Arab (Nurcholis Madjid, 1995, h. 103).
Dalam konteks bahasa Arab, kata “al-masih” berarti “yang diusap.” Akan tetapi, pemaknaan secara literal ini, dalam konteks tradisi Yahudi, hanya sekedar untuk simbol. Dalam tradisi Yahudi, terdapat kebiasaan membasuh kaki dengan minyak zaitun untuk mengangkat seseorang yang dipuja-puja dan dikultuskan. Sosok tersebut dianggap sebagai tokoh spiritual atau sang pemimpin (raja) yang diyakini akan menyelamatkan bangsa ini dari penindasan. Tokoh spiritual atau sang pemimpin tersebut diberi julukan “Sang Mesiah.”
Sesungguhnya, doktrin Mesianisme sudah berusia kurang lebih 3000 tahun. Doktrin ini berasal dari tradisi bangsa Yahudi keturunan Nabi Ibrahim. Mereka adalah bangsa yang selalu ditindas oleh bangsa-bangsa lain. Beberapa pembahasan sebelumnya telah menjelaskan bagaimana bangsa ini harus hidup terlunta-lunta akibat kalah secara politik dengan bangsa-bangsa lain.
Kita bisa mengambil beberapa pelajaran dari peristiwa sejarah bangsa ini. Setiap situasi penindasan senantiasa berpotensi melahirkan sosok pahlawan. Misalnya sewaktu bangsa Yahudi ditindas oleh Fir’aun (Ramses II), kehadiran Nabi Musa ‘alaihis-salam yang berhasil menyelamatkan bangsanya kemudian dianggap sebagai “Sang Mesiah.” Nabi Musa adalah tokoh spiritual dan pemimpin umat Yahudi pasca kehidupan di Mesir.
Pasca Nabi Musa, kehadiran sosok Yusa’ bin Nun yang berhasil memimpin bangsa Yahudi menaklukkan Palestina juga telah dianggap sebagai “Sang Mesiah.” Karakteristik Yusa’ bin Nun lain dengan pendahulunya, Nabi Musa. Jika Nabi Musa adalah seorang tokoh spiritual dan pemimpin umat, maka Yusa’ bin Nun adalah pemimpin yang militeristik. Sekalipun demikian, dalam pandangan kaum Yahudi, julukan “Sang Mesiah” tetap layak disandang oleh penerus Nabi Musa ini.
Pada abad Ketujuh Sebelum Masehi (SM), ketika bangsa Yahudi ditindas oleh Assyurbanipal (Assyur) dan Nebukednezar (Babilonia), kehadiran sosok Ezra (‘Uzair) dan Jeremiah juga dianggap sebagai “Sang Mesiah.” Penghormatan kaum Yahudi kepada sosok Ezra sangat keterlaluan, karena mereka menganggap sosoknya melampaui sifat-sifat manusia. Adapun sosok Jeremiah, sekalipun oleh kalangan sejarawan Muslim dianggap sebagai “nabi palsu,” tetapi perannya cukup signifikan dalam konteks pembaruan spiritual kaum Yahudi pasca pembuangan dari Babilonia.
Pada tahun 135 M, ketika bangsa Yahudi ditindas oleh Romawi di bawah pimpinan Titus, mereka sedang menanti-nanti kedatangan “Sang Mesiah” seperti yang dikabarkan oleh Nabi Musa. Pada masa-masa menjelang penaklukan Jerusalem oleh panglima Titus dari Romawi, di kalangan bangsa Yahudi telah hadir seorang nabi Tuhan yang diabaikan oleh para rahib. Oleh sebagian kalangan Yahudi, kehadiran sosok Nabi Isa ‘alaihis-salam juga dianggap sebagai “Sang Mesiah.” Tampaknya, tradisi memberikan gelar “Sang Mesiah” menjadi fenomena umum bagi bangsa ini untuk menghormati dan mengagungkan seorang tokoh atau pemimpin.
Jika ditilik secara psikologis dan sosiologis, doktrin Mesianisme merupakan luapan ekspresi keterputusasaan sebuah bangsa dalam menghadapi kehidupan yang selalu ditindas oleh bangsa-bangsa lain. Dalam keterputusasaan, terselip sebuah pengharapan akan datangnya “juru selamat” yang akan membawa mereka kepada kehidupan bebas dan merdeka. Walaupun pada mulanya paham Mesianisme merupakan sebuah luapan ekspresi psikologis dalam konteks sosiologis yang cukup luas, pada akhirnya keyakinan semacam ini menjadi doktrin teologis yang hingga saat ini masih tetap kokoh bertahan.
Mesianisme merupakan bagian pokok dalam ajaran Yahudi dan Nasrani. Sementara dalam konteks ajaran Islam, karena sesungguhnya risalah Islamiyah merupakan matarantai dari estafet kenabian sebelumnya, sudah barang tentu Mesianisme menjadi bagian dari doktrin agama ini, sekalipun tidak sekental dua agama Smitik sebelumnya.
Dalam doktrin Islam memang dikenal konsep “al-masih” dan “imam al-mahdi.” Kedua konsep ini memang masih menjadi perdebatan di kalangan ulama, khususnya tentang imam al-mahdi. Adapun konsep al-masih, menurut keyakinan umat Islam, hanya ditujukan kepada sosok Nabi Isa ‘alaihis-salam. Dalam Al-Qur’an, setiap kali menyebut nama Nabi Isa selalu diikuti dengan penyebutan julukan ini, al-masih. Tentu saja keyakinan semacam ini cukup berbeda dengan tradisi Yahudi yang lebih luas cakupan pemahaman tentang “sang Mesiah.”
Adapun mengenai sosok imam al-mahdi, yang konon bakal datang bersamaan dengan kebangkitan kembali Nabi Isa Al-Masih pada detik-detik akhir zaman, memiliki subtansi yang hampir mirip dengan doktrin Mesianisme. Dalam beberapa aspek, konsep imam al-mahdi memang menyerupai konsep Mesianisme. Mungkin yang sedikit membedakan keduanya dalam konteks teologis. Jika kedatangan “sang Mesiah,” dalam tradisi Yahudi, mengandung makna psikologis dan sosiologis, maka konsep imam al-mahdi, dalam tradisi Islam, lebih mengarah pada konteks teologis.
Dalam catatan perjalanan sejarah umat Islam, doktrin tentang imam al-mahdi sempat diusung dan dipropagandakan secara sistematis oleh kaum Syi’ah, sebuah sekte dalam Islam yang mengikatkan diri sebagai pengikut Imam Ali bin Abi Thalib. Berbeda dengan kaum Sunni, bagi kelompok Syi’i, doktrin mahdiisme (kedatangan imam al-mahdi) merupakan bagian dari pilar-pilar keimanan mereka. Dari sinilah titik awal perselisihan teologis antara kaum sunni dan syi’i hingga saat ini. Perbedaan pendapat dalam memahami konsep imam al-mahdi ini tidak pernah mencapai titik temu di antara dua kelompok umat Islam ini.
Selanjutnya, doktrin teologi kaum Syi’ah yang meyakini kehadiran imam al-mahdi sebagai salah satu bagian dari pilar keimanan menjadi identitas politik kelompok ini. Sekalipun pada mulanya doktrin ini murni berawal dari persoalan teologis, tetapi pada akhirnya merambah ke wilayah politik. Setelah kaum Syi’ah memegang kekuasaan di Iran, maka konsep imamah merambah ke wilayah politik karena cukup strategis untuk melegitimasi kekuasaan.
Doktrin Mesianisme ala Islam ini memang masih terus menjadi perdebatan sengit yang hingga kini tidak pernah mencapai kata sepakat. Bahkan, ulama kaum Sunni tidak banyak membahas persoalan ini. Sementara para ulama dari kaum syi’i telah melegitimasi doktrin ini menjadi bagian dari pilar-pilar keimanan dalam Islam. Pada akhirnya, konsep mahdiisme tidak hanya sekedar menjadi doktrin teologis, tetapi juga bernuansa politis.
Tampaknya, doktrin Mesianisme tidak hanya dikenal dalam tradisi Yahudi saja. Latarbelakang psikologis dan sosiologis kelahiran doktrin ini memang berlaku dalam konteks umum. Artinya, siapapun orangnya dan di manapun tempat tinggalnya, jika dalam kondisi lemah dan terjajah sementara tidak ada daya upaya untuk melakukan perlawanan, maka pada saat itulah muncul “khayalan” tentang “sang penyelamat” yang bakal membebaskannya dari penjajahan.
Dalam konteks sejarah bangsa Indonesia, khususnya dalam ruang lingkup budaya Jawa, kita mendapati konsep yang sejenis dengan Mesianisme. Dalam literature Jawa dikenal konsep “Ratu Adil” atau “Satria Piningit.” Layaknya bangsa Yahudi yang berkali-kali ditindas oleh bangsa lain, bangsa Indonesia yang pernah dijajah oleh bangsa lain selama berabad-abad mengenal konsep ini.
Dalam situasi terjajah memang sangat menyengsarakan. Kehidupan yang serba sengsara membawa kepada psikologi keterputusasaan. Di tengah-tengah rasa putus asa, orang-orang Jawa mengandaikan datangannya “Sang Pemimpin” yang bakal membebaskan mereka dari penjajahan. Lewat bumbu-bumbu mistik, kepercayaan terhadap “Ratu Adil” atau “Satria Piningit” menjadi mitos yang mengakar dalam khazanah kebudayaan Indonesia.
Dengan demikian, sekalipun menggunakan terminilogi yang berbeda-beda, konsep “Al-Masih”, “Imam Al-Mahdi,” “Ratu Adil,” ataupun “Satria Piningit” memiliki kesamaan visi dan konteks. Visinya menghendaki “penyelamatan.” Konteksnya berupa situasi tertindas yang dialami oleh suatu kelompok atau bangsa.
Namun satu hal yang patut dicarmati, memberikan penghormatan kepada seorang tokoh secara berlebih-lebihan, seperti dalam tradisi Yahudi, sangat berpotensi melahirkan budaya kultus. Adapun budaya kultus berpotensi besar melahirkan berhalaisme. Dalam tradisi Yahudi dan Nasrani, budaya kultus tidak terlalu dipersoalkan. Tetapi setelah kenabian terakhir lewat risalah yang disampaikan oleh Muhammad saw, budaya kultus dilarang keras. Bahkan, Muhammad saw melarang umatnya mengkultuskan dirinya. Hari kelahirannya pun dilarang untuk dirayakan. Inilah salah satu metode untuk mengantisipasi agar umat akhir zaman tidak terjebak dalam budaya pengkultusan seperti halnya dalam tradisi Yahudi dan Nasrani. Sebab pengkultusan terhadap seseorang berpotensi besar melahirkan berhalaisme baru.
Mu’arif, Anggota Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah