Imam Syafi’i, Sang Pembenci Taklid dan Bid’ah
Al-Syafi’i, adalah orang yang bersikap keras terhadap ahlu al-ilhad (orang-orang yang menyimpang dalam agama) dan ahlu al-bid’ah. Beliau tampakkan kebencian dan pemboikotan (hajr) tersebut kepada mereka.” Imam al-Baihaqi (dalam Manaqib al-Syafi’i, 1/469)
Belum genap sembilan bulan usia kandungan sang istri (Fatimah al-Azdiyyah), Idris bin Abbas memboyongnya dari Makkah ke Gaza, Palestina. Agaknya, Idris kelelahan menempuh perjalanan 1.500 km. Harus menjaga barang bawaan dan istri yang sedang mengandung. Setibanya di Gaza, dia jatuh sakit. Dan tidak berapa lama, Idris pun menghadap Allah SwT. Selang beberapa hari setelah itu, Fatimah al-Azdiyyah melahirkan buah hati Abu Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i pada tahun 150 Hijriah (767 M). Inilah Imam Syafi’i, salah satu Imam besar dalam pemikiran hukum Islam. Salah satu dari empat madzhab fiqih.
Semasa kecil, keluarga, kerabat, dan sekeliling memanggilnya Abdullah. Abdullah diasuh dan dibesarkan ibunya dengan kondisi sangat prihatin dan serba kekurangan. Hingga usia 2 tahun. Tidak tahan dengan keprihatinan, Abdullah dibawa ibunya menempuh perjalanan jauh ke kampung halaman ibunya, Makkah. Di sinilah, Abdullah Muhammad bin Idris memeroleh pengasuhan yang layak dari ibu dan keluarganya.
Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i sudah terlihat istimewa sejak masih kecil. Tumbuh sebagai anak yang cerdas dan kuat hafalannya. Usia sembilan tahun sudah hafal Al-Qur’an. Setahun kemudian giliran kitab al-Muwatha’ karya Imam Malik yang berhasil dihafalkannya. Berbekal kecerdasannya, Abdullah belajar berbagai ilmu ke banyak guru. Semua guru takjub menyaksikan kecerdasannya. Tak heran, dalam usia 15 tahun, Abdullah telah duduk di kursi mufti Kota Makkah. Sebuah kedudukan yang memiliki wewenang memberikan fatwa hukum.
Abdullah Muhammad bin Idris menguasai banyak ilmu. Gurunya sebanyak muridnya yang berjumlah puluhan. Namun, dia lebih dikenal sebagai ahli Hadits dan hukum. Guru yang paling dihormatinya adalah Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi) tinggal di Madinah. Ketika Imam Hanafi meninggal, dia sedang berada di Madinah. Dia pun akhirnya melanjutkan pengajaran gurunya. Kecemerlangannya mulai didengar sejagat Arab. Murid-murid berduyun-duyun datang ke Madinah.
Dari sinilah, mulai dikenal istilah Madzhab Syafi’i. Dia mengajarkan ilmu hukum kepada murid-muridnya. Karya monumentalnya masih menjadi rujukan hingga kini. Kitab al-Risalah (Ushul Fiqih) dan Kitab al-Umm (Fiqih). Kitab pertama sebagai peletak dasar teori-teori istinbath hukum Islam. Kitab kedua lebih berisi tentang praktik hukum Islam. Karya lainnya adalah kitab al-Hujjah, Ikhtilaf al-Hadits, al-Musnad, dan lain-lain. Semua karyanya itu ditulis ketika menetap di Mesir.
Bagi Imam Syafi’i, Sunnah Nabi mempunyai kedudukan yang sangat tinggi. Beberapa ulama bahkan menyatakan, Imam Syafi’i menyetarakan kedudukan Sunnah dengan Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam. Karena itulah, dia diberi gelar Nashir al-Sunnah (pembela Sunnah Nabi). Menurutnya, setiap hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah, hakikatnya adalah hasil pemahaman Nabi terhadap Al-Qur’an. Selain menggunakan dua sumber itu, Imam Syafi’i mengambil ketetapan hukum dengan ijma’, qiyas, dan istidlal (penalaran).
Dalam hal istidlal, Imam Syafi’i sangat menekankan kepada murid-muridnya supaya tidak taklid. Dia meminta muridnya agar tidak menerima begitu saja pendapat dan hasil ijtihadnya. Dia tidak senang muridnya bertaklid buta pada pendapat dan ijtihadnya. Dia malah menyuruh bersikap kritis dan berhati-hati dalam menerima suatu pendapat.
Imam Syafi’i menegaskan, “Inilah ijtihadku. Apabila kalian menemukan ijtihad lain yang lebih baik dari ijtihadku, maka ikutilah ijtihad tersebut. Semua perkataanku yang menyelisihi Hadits shahih, maka ambillah Hadits yang shahih. Dan janganlah taklid kepadaku.”
Imam Syafi’i juga dikenal sangat berupaya menjaga kemurnian tauhid. Di sangat keras terhadap segala perbuatan yang dapat mengantarkan kepada syirk al-akbar (syirik besar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam). Seperti, misalnya, mendirikan bangunan di atas kubur dan menjadikannya sebagai tempat ibadah, bersumpah kepada selain Allah, dan sebagainya.
Dia juga sangat membenci ahlu al-bid’ah. Imam al-Baihaqi menyatakan, “Adalah al-Syafi’i, orang yang bersikap keras terhadap ahlu al-ilhad dan ahlu al-bid’ah. Beliau tampakkan kebencian dan pemboikotan (hajr) tersebut kepada mereka.”
Pemikiran Imam Syafi’i lainnya yang menarik adalah tentang qaul qadim (pendapat yang lama) dan qaul jadid (pendapat yang baru). qaul qadim adalah ijtihad-ijtihad Imam Syafi’i yang dicetuskan ketika dia menetap di Baghdad. Ketika pindah ke Mesir, muncul aliran Mu’tazilah yang telah berhasil memengaruhi kekhalifahan. Dia melihat kenyataan dan masalah yang berbeda dengan yang dia ditemui di Baghdad. Ia pun mengeluarkan ijtihad-ijtihad baru yang berbeda. Ijtihad-ijtihad baru ini kemudian disebut qaul jadid.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa tidak semua qaul jadid menghapus Qaul Qadim. “Jika tidak ditegaskan penggantiannya dan terdapat kondisi yang cocok, baik dengan qaul qadim ataupun dengan qaul jadid, maka dapat digunakan salah satunya.”
Imam Syafii dikenal sangat menghormati dan menomorsatukan nasib kerabatnya. Dia juga dikenal berkepribadian hangat. Mudah bergaul dan rendah hati. Pribadi ini terbentuk dari kebiasaannya pergi ke banyak tempat untuk berguru pengetahuan.
Oleh karena itu pula, muridnya semakin banyak dan menghormatinya. Salah satu yang sangat menghormatinya adalah Ahmad bin Hambal. Murid yang menggantikannya mengajarkan pengetahuan hukum Islam setelah dia meninggal. Murid yang kemudian dikenal dengan nama Imam Hambali (Madzhab Hambali).
Mesir adalah kota terakhir tempat Imam Syafi’i menetap. Tempat ia menyebarkan pengetahuan dan fatwa-fatwa hukumnya. Tempat ia mengajar murid-muridnya dan menulis karya-karyanya. Di Mesir pula, ia menutup mata. Setelah sakit beberapa hari, Imam Syafi’i wafat. Pada tahun 204 H (820 M) di usia yang baru sekitar 54 tahun. Usianya sangat pendek. Tapi pemikirannya melampaui usia pendeknya.• (ba; dari berbagai sumber)