Banyak karya tulis lahir untuk menanamkan ketauhidan. Satu di antara karya yang lahir berjudul ‘Risalah Tauhid’. Buku tersebut disusun oleh alim kenamaan, Muhammad Abduh, sang pembaru di masanya. Rasyid Ridha, dalam pengantar penerbit menyatakan, bahwa buku ini disusun oleh orang yang memahami seluk-beluk ilmu tauhid.
Murid Abduh ini mengungkap, bahwa gurunya mengikuti betul tulisan-tulisan filosof barat, baik para kritikus Islam atau mereka yang mengagumi agama ini. Tulisannya lahir untuk menerangkan agama Islam dengan metode baru yang berbeda dari sebelumnya yang mampu menarik pemahaman orang secara rasional. Tulisannya mampu mengajak pembacanya untuk ‘mau’ berfikir logis.
Inspirasi Muhammad Abduh muncul ketika mengisi kuliah di salah satu perguruan di Beirut. Ia berpendapat bahwa metode pengajaran tauhid yang digunakan masih terlalu tinggi, susah dimengerti. Baginya, metode ini sudah tidak sesuai dengan masanya. Untuk itulah ia mulai menyusun rangkaian materi yang ia harapkan dapat menjadi alternatif. Sekembali dari Beirut ke Mesir, Abduh mulai menyusun materi yang pernah ia berikan menjadi sebuah buku. Kita kemudian mengenalnya dengan Risalah Tauhid.
Buku Risalah Tauhid ini tidak lepas dari koreksi dan saran dari murid sekaligus sahabatnya, Rasyid Ridha. Rasyid Ridha menyumbang saran terutama dalam beberapa bahasa yang dinilai masih terlalu tinggi.
Dalam buku ini Abduh menekankan bahwa inti dari tauhid adalah menunggalkan Allah tanpa mempersekutukannya. Itu pulalah misi besar diutusnya Muhammad sebagai pembawa risalah ketuhanan.
Pada pengantar tulisannya, Abduh menunjukkan persaudaraan antara akal dengan agama (wahyu). Bahwa sejatinya, pada akal yang salim tidak akan menjumpai pertentangan antara akal dan agama. Berbeda halnya dengan sejarah penolakan akal oleh agama-agama tertentu. Hubungan akrab akal dan agama secara otomatis terjaga, bahkan oleh Allah sendiri. Sebagaimana tegas Ia nyatakan dalam Qs. Al-Hijr: 9. Namun, sejalan dengan sejarah, fitnah-fitnah yang sifatnya teologis mulai muncul. Abduh kemudian merujuk kronologi fitnah ini pasca insiden terbunuhnya Utsman bin Affan, khulafaurrasyidin ketiga. Munculnya Abdullah bin Saba’ yang berlebihan fanatis kepada Ali. Sampai pada pemahaman teologi, Allah bersemayam pada diri Ali. Demikian pula kemunculan faham syiah, khawarij, dan lain sebagainya. Semua kronologi sejarah ini kemudian melahirkan paham teologi yang bermacam-macam. Itulah mengapa menurutnya, Ilmu Kalam (nama lain dari Ilmu Tauhid) turut tercemari fitnah-fitnah tersebut. Mungkin inilah mengapa, melalui Risalah Tauhid, Abduh berusaha untuk memberikan pemahaman dasar. Melakukan reset pemahaman dari inti ketauhidan. Di mana ia berusaha menggunakan bahasa yang mudah dan membumi.
Runtutan kajian pada Risalah Tauhid cukup menarik untuk dibaca sekaligus didalami. Terutama bagi mereka yang menghendaki pemahaman dasar tentang teologi Islam. Pemahaman tentang ke-Esaan Allah dan Daya Cipta-Kreasinya secara mandiri tanpa sekutu. Dengan demikian, catatan materi yang dulu pernah Abduh ajarkan di salah satu perguruan di Beirut, menjadi salah satu khazanah intelektual Islam yang perlu kita apresiasi. Wal’Lâhu A’lam bi Al-Shawâb.• [Fauzan Muhammadi]