Seringkali kita mendengar peribahasa, membaca itu membuka cakrawala. Karena buku merupakan jendela dunia. Hanya saja, minat membaca itu tidak datang dengan sendirinya. Ada 2 faktor yang mempengaruhi. Yang pertama, bersumber pada kemauan diri. Kedua adalah faktor lingkungan. Namun, Ustadz Yunahar Ilyas, menyayangkan minat membaca orang Indonesia yang menurutnya masih rendah. Hal tersebut dikarenakan perguruan tinggi maupun sekolah yang ada di Indonesia, baru menjadikan membaca sebagai sistem pembelajaran. “Belum menjadi budaya,” kata beliau dalam acara Kajian Malam Sabtu, yang bertempat di aula Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Yogyakarta.
Ketua PP Muhammadiyah ini mengatakan bahwa di Amerika, membaca itu menjadi kebutuhan, karena ketika kuliah per 1 sks itu diwajibkan membaca sekitar 100 hingga 200 halaman. Sehingga kuliah di Amerika mengambil 7 sks saja sudah membaca buku kurang lebih 1400 halaman. Berbeda halnya dengan di Indonesia, dimana mahasiswa ambil kuliah 24 sks, tapi malam harinya masih leluasa gitaran atau pergi ke mall.
“Di Amerika, membaca banyak halaman pun, belum jaminan lulus. Sedangkan di Indonesia, bisa memperoleh nilai A. Bahkan ada yang kuliah double, sejumlah 48 sks pun, dapat A,” ujarnya disambut tawa hadirin.
Acara Kajian Malam Sabtu (Kamastu) sendiri merupakan agenda pengajian rutin, yang diselenggarakan oleh Angkatan Muda Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta. Mengingat pembicara yang hadir pada kesempatan ini adalah Ketua PP Muhammadiyah, maka ruangan aula gedung PWM terlihat penuh. Bahkan hadirin nampak antusias mendengarkan kiat gemar membaca yang disampaikan oleh ustadz Yunahar Ilyas.
Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini memberi pesan, mulailah baca dari yang ringan-ringan dahulu, seperti halnya cerpen, novel, atau komik. “Pengalaman saya, membaca novel buya Hamka sama komik silat itu, sampai jam 3 pagi, karena membaca dari yang ringan itu untuk pembiasaan diri. Nanti kalau udah terbiasa, baru baca buku yang berat,” tambah beliau. (GR-Ed. Nisa)